Tahun 2022, Nilai Ekspor Produk Hilir Kayu Capai Rekor Tertinggi US$14,43 Miliar

Langkah Strategis

Mencermati perkembangan tersebut, Indroyono mengajak untuk segera mengambil langkah langkah strategis untuk dapat mendorong peningkatan nilai ekspor.

Dalam upaya menurunkan  biaya produksi, perlu dilakukan revitalisasi industri.

Selain, diversifikasi memanfaatkan jenis kayu.

Langkah ini perlu dilakukan, untuk meningkatkan produktivitas agar berdaya saing tinggi di pasar domestik dan global.

Indroyono juga mengajak semua pebisnis industri kayu untuk memanfaatkan peluang yang diberikan pemerintah melalui, Permendag Nomor 23/2023, terkait dengan perluasan penampang kayu olahan jenis Merbau dan Meranti; kuning maupun putih, menjadi 15.000 mm yang mulai diberlakukan sejak 1 Agustus 2023 hingga 31 Juli  2024.

“Kebijakan ini perlu ditangkap peluangnya dan dimanfaatkan secara optimal,” katanya.

Sementara  Pelaksana Tugas Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Agus Justianto, yang mewakili Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat membuka Munas ISWA VII tersebut mengatakan bahwa International Tropical Timber Organization (ITTO) memprediksikan konsumsi kayu dunia pada tahun 2050, tertinggi Uni Eropa mencapai  32 persen.

Kemudian  Tiongkok  21 persen, Amerika Utara 20 persen, Amerika Latin dan Karibia 9 persen, Asia Tenggara 6 persen dan Asia Selatan 5 persen.

Sedangkan produksi kayu dunia, seperti yang disebut Agus Justianto, ITTO melaporkan ada sebanyak 4 miliar m3, berupa kayu bulat, terdiri  1,3 miliar m3 kayu daun jarum, dan 2,7 miliar m3, bukan kayu daun berjarum – yang di dalamnya juga terdapat kayu tropis, sebanyak 1,6 miliar m3.

Bukan hanya itu,  Agus Justianto juga mengatakan bahwa ITTO dan Food and Agriculture Organisation (FAO) telah memprediksi  secara umum konsumsi global terhadap sumber daya alam diperkirakan meningkat dua kali lipat dari 92 miliar ton di tahun 2017 menjadi  190 miliar ton di tahun 2060.

Sementara kebutuhan  produk hasil hutan dunia, diperkirakan juga bakal meningkat  tinggi, bahkan menurut Agus Justianto, seperti dilaporkan FAO dan ITTO, bisa meningkat 3 kali lipat, pada tahun 2050.

Dengan adanya peningkatan yang sangat drastis ini maka investasi terhadap industri primer kayu di seluruh dunia meningkat, diperkirakan  mencapai US$25 miliar per tahun hingga tahun 2050.

“Seperti laporan FAO dan ITTO, bahwa sub sektor industri pengolahan hasil hutan yang mengolah kayu solid, pulp dan kertas, serta mebel cenderung lebih mampu meningkatkan nilai ekonomi dan penyerapan tetaga kerja dibanding penyerapan  sub sektor  penguasaan hutan.