Membaiknya ekonomi dan berkurangnya angka pengangguran di Provinsi Bangka Belitung dalam beberapa waktu terakhir, adalah gambaran suram bagi keberlangsungan ekonomi Bangka Belitung. Pondamen ekonomi yang rapuh, mengakibatkan pertumbuhan ini bersifat sesaat dan sangat semu. Ingaaatt, biasanya sudah bertumbuh tinggi lalu terjun dalam.
Ditulis : Usmandie A Andeska . Wartawan di Jakarta, Ketua Forum Pejuang Pembentukan Prov. Kep. Bangka Belitung.
TROPIS.CO – JAKARTA. Kabar gembira telah dihembuskan Badan Pusat Statistik untuk sekelompok masyarakat Bangka Belitung. Mengapa untuk sekelompok, karena kabar tentang membaiknya ekonomi hingga kian mengecilnya angka pengangguran, belum memberikan kegembiraan masyarakat Bangka Belitung pada umumnya. Justru sebaliknya bagi masyarakat yang sangat memahami kondisi nyata akan gerak ekonomi Bangka Belitung dalam kurun 2 tahun terakhir, pertumbuhan itu adalah awal suramnya ekonomi Bangka Belitung untuk masa berkelanjutan.
Saya harus berani mengatakan itu. Sungguh saya, tak akan terbuai dengan angka yang disajikan BPS. Pun, saya pikir, sejumlah tokoh masyarakat yang kritis, dan memiliki pedulian tinggi, tentu punya penilaian yang sama. Bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi kepulau Bangka Belitung, dalam triwulan III 2021, hingga disebutkan 6,11%, yang berbanding terbalik dengan daerah lain, adalah indikasi “makan anjong”, diangkat tinggi kemudian dijerembabkan.
Tentu bukan BPS yang memgangkat dengan manipulasi data. Apa yang disampaikan BPS saya sangat yakin adalah benar. Fakta lapangan memang demikian. Tidak ada pentingnya bagi BPS untuk mempermainkan angka angka itu. Sebab yang dilakukan BPS, bukanlah survey politik yang harus memenuhi pesanan.
Yang mengangkat tinggi pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung adalah keadaan lokal yang ditopang kondisi global. Namun sifatnya sesaat, emosional, yang kemudian terkoreksi. Bila pondamen ekonomi Bangka Belitung kuat, tentu tingkat terkoreksinya, mungkin hanya pada posisi awal. Kemudian, ekonomi regional berjalan normal kembali, seperti sebelumnya.
Namun tidak, bila pondamennya rapuh, ini bakal terjun bebas. Dan saya yakin sangat berat untuk mengangkat kembali. Setelah ini, posisi minus dalam pertumbuhan ekonomi bakal semakin dalam.
Nah, yang menjadi pertanyaan, besok, 21 Nopember, genap 21 tahun usia provinsi Bangka Belitung. Dalam usia yang mendekati 5 kali pergantian pimpinan daerah, apakah struktur ekonomi Bangka Belitung sudah kokoh dengan pondamen yang kuat. Dan saya harus berani mengatakan, struktur dan pondamen ekonomi regional masih sangat rapuh, karena hanya ditopang oleh satu komoditas andalan, yaitu timah – yang pasarnya lebih banyak ditentukan oleh pembeli ketimbang produsen.
Penentu kebijakan di Bangka Belitung, tak mampu keluar dari dominasi timah dan mengangkat komoditas lainnya, dalam mempercepat gerak pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung. Padahal, mengurangi peran timah dan memperbesar peran komoditas tradisional lainnya, atau menumbuhkan komoditas baru, telah menjadi komitmen bersama para “pejuang” pembentukan Provinsi Kep. Bangka Belitung – saat menyakinkan pemerintah pusat, bahwa perlunya Bangjka Belitung menjadi daerah otonom sendiri, pisah dari daratan. Hanya sayang. Para penentu kebijakan terlena dan terbuai, bahkan mungkin, ada yang mnenempatkan dirinya bagian dari pemburu rente mafia timah. Sungguh sedih kita.
Komoditas timah merupakan salah satu yang memberikan kontribusi dominan terhadap pertumhuhan ekonomi Bangka Belitung yang disebutkan BPS, pada Triwulan III, 2021 meningkat 6,11% ketimbang kurun yang sama di tahun sebelum, dan 1,82% terhadap triwulan II tahun sama. Dan secara kumulatif, triwulan III 2021 terhadap triwulan III 2020, bertumbuh 4,64%.
Disebutkan BPS, industri pengolahan berkontribusi 21,49% dari 3 kontributor terbesar yang menyumbang menumbuhkan erkonomi regional Bangka Belitung, pada triwulan III. Dua lainnya, pertanian, kehutanan dan perikanan, 20,13%, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor: 14,54%.
Membaca data yang disajikan BPS, bertumbuh tingginya ekonomi regional Bangka Belitung, lebih dipengaruhi tingginya harga produk yang dihasilkan masyarakat di pasar global. Karena memang, mulai bergeraknya ekonomi global setelah terjerembab dalam karena dibantai pandemic covid. Sejumlah negara konsumen utama, produk yang dihasilkan masyarakat Bangka Belitung, mulai memanaskan mesin untuk segera berselancar, bangkit dari keterburukan.
Hingga tak usah aneh bila kemudian, melihat kontribusi industri pengolahan – yang yakin seyakinnya saya, itu bersumber dari barang tambang berupa timah olahan, karena memang permintaan terhadap timah sebagai bahan baku industri IT global, lagi tingginya. Terlebih adanya berseteruan dagang sejumlah negara super power, seperti RRCina dengan Amerika – yang sempat saling baikot.
Harga timah memang lagi gila –gilanya. Terakhir di tingkat penambang, sempat tembus di angka Rp 300.000/kg. Padahal, waktu waktu sebelumnya, hanya dalam kisaran, Rp 105000 – Rp 150.000/kg untuk kadar timah 68- 71%.
Nah melambung tingginya harga timah ini pula yang mengakibatkan berkurangnya angka pengangguran di Bangka Belitung. Justru sebaliknya, Bangka Belitung, seperti kekurangan tenaga kerja. Sungguh ini dirasakan, saat dilangsungkan program Pemulihan Ekonomi Nasional – PEN mangrove di Bangka Belitung. Dari 2300 hektar alokasi Bangka, terpaksa 1100 hektar diantaranya, harus ditransfer ke Belitung, karena tidak ketiadaan tenaga kerja di Bangka.
Membaiknya harga timah tentu sangat berkolerasi dengan berkurangnya pengangguran. Sebagian masyarakat lokal, dan juga pendapatang, akan memilih menjadi pekerja tambang yang pendapatan perhari ada yang sampai Rp 3 juta- hingga Rp 5 juta, ketimbang menjadi pekerja lainnya. Dan mereka yang tadinya, malas kerja, jadi ikut kerja lantaran didorong pendapatan yang tinggi.
Memang tidak menampik adanya peran dari sektor lainnya, seperti pertanian, kehutanan dan perikanan. Tapi saya sangat menyakini, dari 3 subsektor ini, lebih diperankan produk pertanian, yakni kelapa sawit dan lada. Dan peran yang dimainkan kelapa sawit dan lada, tentu sawit sangat dominan.
Kembali, ini juga bukan karena pondamen ekonomi sawit kuat, walau lada merupakan tanaman tradisonil Bangka Belitung. Lagi lagi karena harga minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil , CPO, dan harga lada yang naik signifikan. Dan dalam perdagangan komoditas, tentu berlaku fluktuasi harga, terkadang datar datar saja, namun tak jarang terjun tajam.
Sejatihnya kalangan penentu kebijakan di Bangka Belitung, tidak merasa ge er, hingga berkesimpulan, bahwa kebijakan yang dirumuskan sudah tepat. Terlampau pagi untuk memvonis keberhasilan itu. Justru sebaliknya, inilah momentum tepat bagi penentui kebijakan di Bangka Belitung dengan melibatkan stakholders lainnya, menata kembali strategi pembangunan ekonomi Bangka Belitung. Dan membuat rancangan pendek sebagai antisipasi, bulan madu harga timah, sawit, dan lada ini, tidak akan berlangsung lama, agar ekonomi Babel tidak stagnan seusai “gawai gede laok terong.”