TROPIS.CO – JAKARTA, Berbagai peluang bisnis baru di sektor kehutanan kini kian terbuka lebar dengan adanya kebijakan pemerintah mengembangkan multiusaha kehutanan yang telah dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.
Karenanya pemerintah mengajak dunia usaha untuk mengembangkan berbagai potensi ini seoptimal mungkin, hingga mampu memberikan kontribusi nyata dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi nasional, walau tetap berbasiskan pada lingkungan lestari.
“ Kita berharap kalangan dunia usaha, tak lagi focus pada hasil hutan kayu, tapi juga lebih berorientasi pada pemanfaatan potensi hutan bukan kayu,”kata Bambang Hendroyono.
Dalam paparannya saat Rapat Kerja Asosiasi Perusahaan Hutan Indonesia – APHI ‘2021 di Jakarta, belum lama ini, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini, menjelaskan pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan dalam kegiatan berinvestasi, setelah diundangkannya, Undang undang No 11/2020 tentang cipta kerja.
Kebijakan ini telah dijabarkan pemerintah ke dalam sejumlah Peraturan pemerintah atau PP, salah satunya yakni PP 23/202 – yang kemudian diterjemahkan lagi ke dalam Peraturan menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan, No 8/2021 tentang tata hutan dan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan di hutan produksi.
Potensi sumberdaya hutan tidak sebatas kayu, namun menurut Bambang Hendroyono sangat variatif dan prospektif untuk dikembangkan dalam skala bisnis. Karenanya, dengan pengembangan berusaha berbasis resiko, pemerintah berupaya menawarkan strategi “multiusaha” dalam pemanfaatan sumberdaya kehutanan, hanya dalam satu persetujuan perijinan. “ Ini merupakan salah satu bentuk kemudahan yang diberikan pemerintah,”ujarnya.
Peluang ini tidak terbatas hanya di dalam kawasan hutan produksi, melainkan juga di kawasan hutan lindung, yakni melalui pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Dan ini diantaranya mencakup; wisata alam, pemanfaatan sumberdaya air, energy baru terbarukan, tanaman rotan, dan juga silvopasture – yang semuanya diyakini Bambang sangat prospektif dengan pasar yang terbuka luas.
Pendekatan usaha berbasis resiko ini seiring misi pemerintah; mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional, terutama masyarakat di sekitar kawasan hutan, dengan kondisi hutan tetap lestari dalam kerapatan tutupan lahan yang tetap dipertahankan. Sebab di balik misi usaha, pemerintah juga punya misi lain, yakni tercapainya target Forestry Land Use – FoLU Net Sink 2030 sebagai perwujudan komitmen Indonesia dalam Paris Agreament yang sudah dituangkan di dalam Nationality Determined Contribution atau NDC.
Adapun capaian FoLu Net Sink ini , kata Bambang, lebih ditentukan oleh pengurangan emisi dan deforestasi dan lahan gambut; dekomposisi gambut dan kebakaran gambut. Peningkatan kapasitas hutan alam dalam penyerapan karbon, melalui pengurangan degradasi dan meningkatkan regenerasi. Kemudian melalui restorasi dan perbaikan tata air gambut.
Selain juga ditentukan oleh pengelolaan hutan lestari, optimalisasi lahan tidak produktif untuk pembangunan hutan tanaman hutan dan tanaman perkebunan. “ Dan tentu yang tak kalah penting dalam perwujudan capaian FoLu Net Sink 2030 ini, adanya penegakan hukum,”tandasnya.
Dengan pendekatan ini, dan adanya kerjasama atau kolaborasi dengan berbagai pihak multi disiplin ilmu, baik dari dalam maupun dari luar negeri, Bambang sangat optimis pengelolaan dan pemanfaatan potensi hutan dengan pendekatan ekonomi berbasis lingkungan lestari ini, bakal menghasilkan green economy, green energy dan green industry yang memberikan kontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca.
Perlu diketahui, sektor kehutanan memiliki porsi terbesar di dalam target penurunan emisi gas rumah kaca, yakni 59,76%, atau 17,2% dari komitmen Indonesia menurunkan emisi 29% bila dikerjakan sendiri, atau 41% andai ada bantuan dari negara lain. Lainnya, sektor energy 11%, pertanian 0,32% sampah 0,38%, dan IPPU atau industri 0,10%.
Ada konsekuensi.
Dijelaskan Bambang Hendroyono, pada saat ini ada sebanyak 571 unit izin usaha pemanfaatan hutan dengan areal seluas 30,609 juta hektar. Dan ini terdiri dari 298 unit usaha Hutan Tanaman Industri – HTI, seluas 11,201 juta hektar, 257 unit usaha hutan alam, seluas 18,785 juta hektar, dan Restorasi Ekosistem atau RE sebanyak 16 unit usaha dengan areal kurang lebih seluas 622.862 hektar.
Selama ini, di dalam pengelolaan hutan produksi lestari, mereka diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Tapi dengan dengan pendekatan multiusaha, maka bentuk perizinan yang diberikan berupa “Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan”. Karena perubahan ini, ada konsekuensi yang harus dilakukan bagi unit usaha yang sudah eksis.
Terhadap mereka diharuskan merevisi Rencana Kerja Umum – RKU dan meng- addendum dokumen lingkungan. Dan ini antara lain melalui, perubahan pola perencanaan kegiatan, penyusunan dokumen perencanaan, perubahan pola pelaksanaan kegiatan, dan perubahan pola evaluasi kegiatan serta perubahan pola sertifikasi PHPL, seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri LHK No 8/2021 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.