HKm Seberang Bersatu Bangkit dari Pengalaman Pahit

TROPIS.CO, JAKARTA – Berlatar nelayan pesisir dari berbagai etnis (rumpon) serta perpaduan nelayan dan pekebun, masyarakat Desa Juru Seberang di Kabupaten Belitung memiliki pengalaman pahit, saat mangrove (yang dikenal sebagai bakau) tidak lagi mampu menjadi tempat sandaran mata pencaharian karena rusaknya ekosistem mangrove di sekitar kawasan desa akibat aktivitas tambang timah.

Kepulauan Bangka Belitung memang sudah lama terkenal sebagai ‘penghasil’ timah. Kegiatan ini membawa keuntungan ekonomi, juga mendatangkan efek buruk.

Sejak zaman kolonial dahulu, pikatan tambang timah bak pisau bermata dua. Ini juga yang kemudian menjerat masyarakat umum.

Menurut informasi Marwandi, seorang tokoh di desa, yang kemudian menjadi ketua Hutan Kemasyarakatan (HKm) Seberang Bersatu di desanya, masyarakat setempat mulai terlibat penambangan lepas pantai tahun 1948.

Aktivitas tambang rakyat di Juru Seberang ini berlangsung sampai 1979-1980. Tambang lepas pantai ini membabat rimbunan bakau dan menggantikannya dengan lubang-lubang galian tambang, yang dalam istilah setempat dinamai kolong.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, di satu sisi, mengeruk timah mendatangkan manfaat ekonomi sesaat bagi sebagian masyarakat.

Namun pada sisi lain, kegiatan tersebut juga mendatangkan petaka ekologis dan ekonomi.


Apakah contoh petaka ekologisnya? Tambang timah lepas pantai mengakibatkan kerusakan ekosistem mangrove.

Marwandi, sang ketua kelompok HKm menjelaskan mangrove yang menjadi tempat berpijah kepiting dan kerang bakau serta jenis ikan tertentu tidak lagi bisa menjadi tempat bernaung dan berkembang biak yang baik bagi biota laut ini. Hasil laut pun menurun.