TROPIS.CO, JAKARTA – Ada indikasi kuat, dalam masa yang tidak berapa lama, industri pulp dan kertas nasional bakal mengalami krisis bahan baku kayu dan ini terindikasi kecilnya peningkatan pertumbuhan produksi hutan tanaman, dan kemampuan tanam dalam dua tahun terakhir ini.
Kondisi ini dikhawatirkan bakal meningkatkan volume impor bahan baku, termasuk impor limbah kertas yang diyakini bakal berdampak terhadap program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menekan masuknya limbah impor dalam upaya mengurangi terkontaminasinya lingkungan hidup dari sampah dan limbah impor.
Walau produksi Hutan Tanaman relatif tinggi hingga mendekati 40 juta m3, dalam kurun lima tahun terakhir, namun dalam dua tahun belakangan terindikasi mulai adanya penurunan peningkatan produksi yang sangat signifikan, hingga dikhawatirkan membuat pertumbuhan industri pulp dan paper dan juga woodchip stagnan.
Dari data yang disajikan Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Hutan Indonesia (APHI), Indroyono Soesilo, dalam rapat kerja APHI 2021 di Jakarta, pekan kemarin tersirat kenaikan produksi kayu hutan tanaman hanya sekitar 2,3 persen, jauh di bawah peningkatan produksi kayu hutan alam yang mendekati 20 persen.
Dipaparkan, produksi hutan tanaman dalam 2 tahun terakhir, sebanyak 33,883 juta m3 pada 2020, dan naik menjadi 34,678 juta m3 di 2021.
Sementara produksi kayu hutan alam, naik menjadi 3,975 juta m3 di 2021, dari 3,320 juta m3 di 2020.
Dalam paparan Indro Soesilo memang tidak menjelaskan detil, faktor apa saja yang telah mempengaruhi rendahnya kenaikan produksi kayu hutan tanaman ini.
David, salah seorang Ketua APHI, belum berani memberikan statemen karena belum mempelajari secara seksama atasd data yang dipaparkan ketua umum.
“Saya belum lihat data pak, maaf belum bisa kasih komentar,” jawabnya melalui WA.
Purwadi, Eksekutif APHI, belum memberikan respon atas pertanyaan yang disampaikan Tropis melalui nomor whatsappnya kendati sudah dicontreng dua tanda biru.
Tropis memperkirakan rendahnya tingkat pertumbuhan ini, lebih dikarenakan dampak dari pandemi Covid-19 yang telah memberikan dampak luas terhadap perekonomian global sehingga kalangan produsen hutan tanaman sengaja melakukan tunda tebang, menunggu iklim bisnis yang kondusif dan berkepastian.
Hal ini memang menjadi alasan yang sangat realistis karena pada umumnya ekonomi global terbenam dalam, dan kini ada indikasi untuk bangkit kembali.
Kendati demikian, rendahnya tingkat produksi itu hutan tanaman itu, juga bukan suatu yang mengada-ada, bila disebabkan kian berkurangnya potensi kayu yang layak tebang.
Ini dikarenakan, adanya over cutting pada tahun tahun sebelumnya. Lantaran tergiur meningkatkan volume ekspor yang lebih besar karena dorongan harga yang tinggi.
Sementara kemampuan tanam sangat berfluktuasi dalam jumlah luasan yang sangat terbatas, bahkan realisasi tanamannya, cenderung menurun setiap tahun.
Dalam lima tahun terakhir jumlah luas tanam hanya mencapai 1,07 juta hektar lebih, terluas pada tahun 2016, mencapai 367,12 ribu hektar.
Tahun tahun berikutnya turun, jauh di bawah 300 ribu, walau di tahun 2019, sempat mencapai 330 ribu hektar. Tapi di tahun 2021, hingga September, masih di bawah 200 ribu hektar.
Dengan tidak konsistennya kemampuan tanam ini, dikhawatirkan dalam masa lima hingga enam tahun mendatang bakal terjadi krisis bahan baku bagi industri pulp dan paper yang berkapasitas terpasang tak kurang dari 18,96 juta ton per tahun.
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) beberapa waktu lalu sempat melansir data perkembangan industri pulp dan paper di Indonesia.
Disebutkan, pada 2013, Indonesia memiliki 82 industri pulp dan kertas berkapasitas total 18,96 juta ton dan terbagi atas empat industri pulp, 73 industri kertas, dan lima industri pulp kertas terintegrasi.
Adapun realisasi produksi pulp dan kertas masing masing disebutkan 4,55 juta ton dan 7,98 juta ton.
Dengan kemampuan produksi ini, Indonesia menempati peringkat ke-9 untuk produsen pulp dan keenam produsen kertas di dunia.