Dirjen PHL Agus Justianto, Pencabutan Ijin Koreksi Ketimpang Agar Ada Pemerataan.

Dirjen PHL, Agus Justianto, saat tatap muka dengan pengurus APHI 2021 -2026, sempat dialog dengan Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo , dan Ketua Dewan Pengawas APHI Amin Sunarko. Agus mengharapkan dukungan APHI dalam proses menuju tranformasi ekonomi hijau.

TROPIS.CO, JAKARTA –  Pencabutan  ijin terhadap  perusahaan pemegang konsesi kehutanan merupakan koreksi kebijakan, dalam upaya  pemerintah memperbaiki tata kelola sumberdaya alam agar ada  pemerataan, transparan dan adil.

Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari,  Agus Justianto mengatakan hal itu saat bertatap muka dengan   sejumlah  pengurus Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia – APHI, priode 2021 – 2026, di Manggala Wanabakti, Jakarta, Jumat, akhir pekan kemarin.

Kata Agus Justianto,  bahwa kebijakan yang telah disampaikan  Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Kamis pekan lalu, yang salah satunya mencabut sebanyak 192 ijin perusahaan yang mengelola dan memanfaatkan areal seluas  3.126.439 hektar, itu  merupakan pembenahan  dan penertiban ijin yang merupakan bagian integral  dari perbaikan tata kelola pemberian ijin pada sektor kehutanan, dan  juga perijinan lainnya.

“Pemerintah terus melakukan  pembenahan  dengan memberikan kemudahan ijin usaha yang transparan dan akuntabel, namun ijin ijin  yang disalahgunakan pasti akan dicabut,”tandasnya, seraya menambahkan,  kebijakan ini merupakan koreksi ketimpangan,  ketidak adilan dan kerusakan alam.

Kendati demikian,  terhadap perusahaan yang terdampak  dari kebijakan ini, pemerintah masih memberikan  kesempatan untuk melakukan klarifikasi melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tentu dilampirkan dengan bukti bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. “ Dalam kebijakan inipun kita tetap merujuk  pada Undang Undang No 30 tahun 2014, tentang administrasi pemerintahan,”kata Agus Justianto lagi.

Adapun pemahaman  ijin ijin yang disalahgunakan yang dimaksud Agus Justianto, mengutip apa yang disampaikan Presiden  Joko Widodo,  mencakup  ijin ijin yang tidak dijalankan , tidak produktif, dialihkan  ke pihak lain,  serta tidak sesuai dengan peruntukannya dan peraturan.

“Pemerintah harus memegang amanat konstitusi, bahwa bumi, air dan  kekayan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai negara, dipergunakan  untuk sebesar besarya kemakmuran rakyat,”kata Agus Justianus lagi.

Karenanya, terhadap kawasan hutan yang dicabut ijin pengelolaan dan pemanfaatannya ini,  pemerintah memberikan kesempatan pemerataan  pemanfaatan asset, terutama bagi kelompok kelompok masyarakat dan organisasi sosial yang produktif, termasuk kelompok tani dan  pesantren.

Berbagai kelompok masyarakat ini, diharapkan  Agus Justianus, dapat menjadi mitra bagi  perusahaan yang kredibel dan berpengalaman dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi kawasan  hutan.

Seperti  yang disampaikan Presiden, kata Dirjen PHL itu, Indonesia terbuka  bagi investor yang kredibel, memiliki rekan jejak dan reputasi yang baik. Dan memiliki komitmen untuk ikut mensejahterakan rakyat dan  menjaga kelestarian alam.

Perubahan Signifikan.

Agus Justianto  menjelaskan,  kegiatan pengelolaan  hutan, khususnya pemanfaatn  hutan, secara filosofis mengalami  perubahan yang cukup signifikan.  Ijin pemanfaatan hutan produksi yang sebelumnya berbasis produksi, saat ini berubah berbasis kegiatan dan bersifat multiusaha.  Artinya, dalam satu Perijinan Berusaha Pemanfaatan  Hutan Produksi atau  PBPHP, dapat memanfaatkan  seluruh potensi yang ada.  Tidak terbatas kayu, tapi juga  hasil hutan bukan kayu, maupun  jasa lingkungan termasuk karbon dengan pendekatan landscape.

“Proses binsis pemanfaatan hutan juga telah berbasis digital,”ujar Agus Justianto.  Dan ini berarti, lanjutnya, dalam proses  pelayanan pemanfaatan  hutan mulai  dari perencanaan, perijinan, pemanfaatan, peredaran dan pemasaran hasil, dilakukan secara  digital.

Perubahan ini dimaksudkan,  agar tercapainya efisiensi dan efektivitas pelayanan pemanfaatan  hutan oleh  Kementerian LHK.  Selain untuk mengurangi atau menghindari potensi ekonomi biaya tinggi untuk mewujudkan wilayah bebas korupsi. Dan juga, ada kemudahan di dalam  proses pengawasan dan pengendalian  pemanfaatan  hutan.

“ Namun bagi kami dari Kementerian LHK yang tak kalah penting dari perubahan ini, terwujudnya keterbukaan  informasi public,”tandas mantan Kepala Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK  ini.

Pada saat ini salah satu kebijakan yang diambil Kementerian LHK,  khususnya  Ditjen PHL,  pengelolaan  hutan lestari  menuju  transformasi ekonomi hijau. Karenanya, dengan pendekatan  multiusaha kehutanan, diharapkan, akan mampu meningkatkan nilai ekonomi hutan melalui optimalisasi  pemanfaatan sumberdaya hutan.

Tidak sebatas itu, dalam pengelolaan  hutan lestari, tentu Kementerian LHK, berusaha seoptimal mungkin, mendukung program ketahanan pangan atau food estate, dan kemandirian  energy baru terbarukan.  Membangun kluster usaha kehutanan terintegrasi antara hulu, hilir dan pasar, dan ini, tak terbatas pada kawasan ekonomi khusus, melainkan juga, di kawasan ekonomi potensial lainnya, agar tercapainya  efisiensi  yang mampu meningkatkan daya saing produk.

Pemerintahpun, kata Agus Justianus,  berupaya memberikan fasilitas dan dukungan permodalan bagi perijinan berusaha yang melaksanakan prinsip pengelolaan  hutan lestari melalui pengelolaan  keuangan Badan  Pengelola Dana Lingkungan Hidup, BPDLH, dan juga melalui mekanisme ekonomi hijau melalui OJK.

“Pada saat inipun, pemerintah telah memberikan insentif dengan tidak mengenakan DR dan jangka waktu perijinan berusaha yang maksimal bagi  PBPH yang menerapkan teknik SILIN dan RIL atau RIL-C dalam pengelolaan dan pemanfaatan konsesi hutannya,”tegas Agus.

Dengan perubahan dalam pemanfaatan  hutan ini, Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari,dikatakan Agus Justianto, kini tengah mengembangkan konfigurasi bisnis baru kehutanan dengan  mengedepankan peran masyarakat dan UMKM, antara lain melalui  fasilitas sertifikasi VLK dan dokumen ekspor produk industri kehutanan.  Selain melakukan percepatan kinerja persetujuan pengelolaan  perhutanan sosial dan  menyusun langkah langkah usaha perdagangan karbon pasca terbitnya  Perpres 98/2021.

Seiring dengan perubahan itu sebagai bentuk antisipasi agar target bisa dicapai optimal, dan implementasi  reformasi birokrasi,  Menteri  LHK, Siti Nurbaya, melalui  Peraturan Menteri No 15/2021 tentang  Organisasi  dan Tata Kerja Kementerian LHK, telah  mempertajam peran yang menjadi tanggungajawab  Ditjen Pengeloaan Hutan lestari,PHL  – yang sebelumnya,  Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, PHPL, dengan memasukan hutan lindung menjadi tanggungjawab  Agus Justianto.

Implikasi  perubahan ini, maka nomenklatur di tingkat eselon II-nya mengalami perubahan.  Ada Direktorat Bina Usaha Pemanfaatan Hutan yang dijabat  Ir Drasospolino M.Sc, dan Direktorat Bina Usaha Pemanfaatan Hutan yang dijabat Ir Istianto M.Sc.

Mengakui bahwa untuk mewujudkan apa yang akan dimainkan Ditjen PHL, Agus Justianto, sangat mengharapkan peran APHI- yang memang selama ini, telah menjadi mitra langsung Ditjen PHL. Dan karena peran APHI itu pulalah,  kendati dalam masa pandemi, kinerja sub sektor kehutanan, di  tahun 2021,  mengalami peningkatan yang sangat signifikan.

Produksi kayu bulat bertumbuh hingga 5,98% menjadi  51,81 juta m3. Produksi kayu olahan pun demikian, mencapai 43,8 juta m3 atau naik 3,9%.  Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu, mencapai  651 ton, tumbuh sangat sigifikan ketimbang tahun sebelumnya, 2020,  yakni menjadi 30,31%.

Nilai ekspor produk kehutanan – yang didominasi  produk paper dan pulp, serta panel, furniture dan wood working, diungkap Agus Justianto, dalam 2 kuartal terakhir, bertumbuh tinggi, masing masing  20,55%dan  25,37%, hingga pada akhir tahun kemarin, nilainya mencapai  US 13,85 miliar dolar.

Dalam meningkatkan  Nilai Penerimaan  Negara Bukan Pajak – PNBP, diakui juga oleh  Agus Justianto, peran  dunia usaha kehutanan yang tergabung dalam  APHI, telah memberikan kontribusi nyata yang cukup besar.  Pada kuartal ketiga tahun kemarin,  nilai PNBP mencapai  19,75% dan meningkat sekitar 7,76% pada kuartal keempat, sehingga perolehan PNBP dari sub sektor kehutanan, mencapai sekitar Rp 2,54 triliun.