Menuju Glasgow

Foto: One Young World
Foto: One Young World

TROPIS.CO, JAKARTA – Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah orang Indonesia disibukan mengurus visa untuk keberangkatan ke Glasgow, Inggris. Mereka konon sebagian besar adalah calon anggota delegasi Indonesia pada The 2021 United Nations Climate Change Conference atau COP26 yang sempat tertunda lantaran serangan pandemi Covid-19.

Kabarnya, tak kurang  dari 300 orang, sangat ramai, dan mereka  dari berbagai kelompok dan lapisan, tentu sebagian besar berasal  dari  pegawai negara.

COP perubahan iklim, memang agenda rutin tahunan masyarakat global.  Sehingga oleh sebagian orang, agenda ini memang sangat ditunggu. Sebab inilah momentum gratis untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan uang negara. T

Tentu bagi mereka yang memang selama ini sudah memfungsikan dirinya sebagai abdi negara, termasuk anggota DPR RI yang terhormat.

Keberangkatan ke Glosgow memang bukan otak kosong. Sejumlah misi telah terpatri di benak mereka. Salah satunya, bagaimana dunia asing, terutama negara industri maju yang telah menjadi biang kerok, menipisnya rumah kaca karena tekanan polusi industri, tahu diri, bahwa terjadinya perubahan iklim yang telah membuat masyarakat dunia “ketakutan” adalah ulah mereka.

Sungguh ini menjadi tanggungjawab bagi delegasi Indonesia yang datang menggunakan uang negara. Kedatangan ke Glasgow, hendaknya menjadi negosiator yang handal.  “Hujatan dan tekanan” terhadap masyarakat industri maju, hendaknya tak sebatas pada forum resmi COP. Melainkan juga dapat dilakukan sembari minum kopi di luar gelanggang resmi.

Ajang COP26 bukan untuk jalan jalan berwisata dan shoping.  Atau berfoto bersama dengan berlatar COP26 plus tampilan jas berdasi rapi. Kehadiran di COP26 adalah bagian tanggung jawab moral atas kelangsungan anak cucu. Karenanya, kehadiran pada COP26 harus benar benar bermanfaat, efektif dan berdaya guna.

Ingat! Banyak suara nyinyir atas keberangkatan ratusan delegasi Indonesia ke Glasgow. Berangkat hanya untuk jalan jalan menghabiskan uang rakyat dengan dalih konperensi perubahan iklim.

Sementara janji-janji pihak asing untuk membayar karbon atas upaya pelestarian hutan Indonesia, seakan hanya tergiang sesaat pada forum COP26. Pulang ke Indonesia tanpa membawa hasil kecuali seperangkat hasil shopping.

Kasus gagal bayarnya  Norwegia atas janjinya, adalah pengalaman pahit bagi delegasi Indonesia pada COP26 perubahan iklim.

Dan COP26 adalah kesempatan bagi delegasi Indonesia untuk menghujat dan menekan negara industri maju atas perlakuan terhadap Indonesia dan negara lain. Bagi Indonesia, bukan saatnya lagi untuk berbasi basi, pengorbanan rakyat Indonesia atas isu perubahan iklim sudah sangat besar.

Kebijakan Indonesia memoratorium pengembangan kelapa sawit adalah contoh pengorbanan yang sangat tinggi. Dengan kebijakan ini, peluang kerja bagi jutaan rakyat Indonesia tertutup. Miliaran dolar devisa dari ekspor minyak sawit gagal diraup.

Padahal devisa minyak sawit telah memberikan kontribusi nyata dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi bangsa di saat pandemic ini. Ekonomi bergerak signifikan dengan daya beli masyarakat pedesaan mengguat.

Sungguh ini hendaknya menjadi catatan penting bagi semua delegasi Indonesia. Dan bukan suatu yang berlebihan,  bahwa biaya keberangkatan dan akomodasi yang hampir 3 pekan di Glasgow berasal dari pajak minyak sawit.  Jadi suatu yang sangat keterlaluan, bila kehadiran di COP 26 itu, hanya untuk shopping dan berfoto, celengak celenguk di balik  bule bule berpakaian necis.

Dan suatu catatan, jangan sampai biaya yang dijkeluarkan untuk kepentingan COP 26, tak berkontribusi nyata dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Justru sebaliknya, dana yang dikeluarkan untuk bepergian dengan pesawat udara, bukan untuk mengurangi  polusi dunia, melainkan mendukung percepatan kerusakan lingkungan global, lantaran tambahan polusi dari avtur.

Andeska

Wartawan Senior