Cofiring Biomassa Hutan di PLTU Bisa Kendalikan Perubahan Iklim

Cofiring biomassa dalam proses pembangkitan listri di PLTU dapat mengurangi konsumsi batu bara dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Foto: Global Wood Markets Info
Cofiring biomassa dalam proses pembangkitan listri di PLTU dapat mengurangi konsumsi batu bara dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Foto: Global Wood Markets Info

TROPIS.CO, JAKARTA – Implementasi penambahan biomassa hutan untuk pecampuran sumber energi (cofiring) pada pembangkitan listrik pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bisa berdampak positif pada pengelolaan hutan lestari dan penurunan emisi gas rumah kaca untuk pengendalian perubahan iklim.

Kebijakan pemerintah untuk secara bertahap menuju energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi pendorong implementasi cofiring.

Dukungan juga diperlukan agar harga biomassa hutan bisa kompetitif di tingkat produsen dan PLTU.

Demikian terungkap pada Diskusi Pojok Iklim yang diselenggarakan secara virtual oleh Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Rabu (9/6/2021).

Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menyatakan Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan sumber daya hutan sebagai sumber energi baru dan terbarukan (EBT).

Untuk itu sejumlah kebijakan telah dibuat yang bertujuan mendorong tumbuhnya hutan energi.

“Dengan Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya ada kemudahan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk menerapkan multiusaha kehutanan termasuk mengembangkan hutan energi,” kata Bambang yang juga pelaksana tugas Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) KLHK.

Sementara Direktur Usaha Hutan Produksi KLHK Istanto mengungkapkan, saat ini ada 567 izin usaha pemanfaatan hutan dengan luas 30,5 juta hektare dan tidak semua izin tersebut aktif beroperasi.

Istanto menyatakan, kebijakan multiusaha kehutanan bisa menjadi insentif bagi pemegang izin untuk mengoperasikan konsesinya.

Mereka bisa menanam berbagai jenis tanaman yang potensial sebagai penghasil energi berbasis biomassa.

“Jenis tanaman itu misalnya kaliandra, gamal, akasia, dan lamtoro,” katanya.

KLHK sebenarnya sudah mengalokasikan 142.172 hektare untuk hutan energi yang melibatkan 31 unit hutan tanaman industri (HTI) dan Perum Perhutani.

Menurut Istanto, pengembangan hutan energi bisa semakin dipercepat karena kebijakan Indonesia saat ini adalah beralih ke EBT.

“Co-firing biomassa dalam proses pembangkitan listri di PLTU dapat mengurangi konsumsi batubara dan menurunkan emisi gas rumah kaca,” ujarnya.