Kamuflase Informasi Deforestasi Indonesia

Tren Deforestasi

Dari total kehilangan hutan primer seluas 3,8 juta ha se dunia yang dihitung University of Maryland dalam sajian data GFW ataupun WRI tersebut, Indonesia kehilangan 324.000 ha. Angka ini turun 5 persen dibanding tahun 2018.

Sebenarnya inilah fase terendah deforestasi di Indonesia lebih dari satu dekade, setelah jor-joran izin di dekade yang lalu-lalu.

Penurunan angka ini dimulai dari corrective action atau aksi koreksi sejak masa awal transisi pemerintahan dari Presiden SBY ke Jokowi.(Dapat dilihat dalam grafik tabel).

Upaya korektif pemerintah di sektor kehutanan, salah satunya berhasil menekan laju deforestasi tahunan Indonesia yang berkurang signifikan dari 3,5 juta ha dalam periode 1996-2000, turun tajam menjadi 0,44 juta ha.

Namun ‘good news’ ini sayangnya jarang terpilih sebagai judul, lead pembuka, ataupun bahkan pada paragraf penunjang.

Kamuflase Karhutla

Kamuflase informasi berkaitan dengan deforestasi sangat sering dikaitkan dengan sajian data kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia.

‘Good news’ bahwa Indonesia mampu menekan karhutla pada skala masif pasca kejadian 2015, tetap dinilai kurang menarik untuk diangkat jadi judul utama.

Selama empat tahun yakni periode 2015-2019, karhutla tercatat membakar 5,4 juta ha. Relatif lebih rendah bila dibandingkan luasan area terbakar pada kejadian Karhutla tahun 1997/1998 yang mencapai 11 juta ha, karhutla 2006 yang mencapai 10 ha, atau realitas bahwa pada kurun waktu satu tahun saja di 2015 area terbakar mencapai 2,6 juta ha.

Jarang sekali ada sajian informasi membandingkan kerja keras Indonesia mengendalikan karhutla 2019, dengan karhutla di negara seperti Kanada (1,8 juta ha), Amerika Serikat (1,9 juta ha), Amazon, Brazil (2,2 juta ha), Siberia (6,7 juta ha), dan Australia seluas hampir 12 juta ha.

Padahal pada masa itu Indonesia dengan tantangan geografis, SDM pemadaman, dan lanskap pemilik salah satu gambut terluas di dunia, di 2019 mengalami Karhutla seluas 1,6 juta ha, setelah pada 2016-2018 berhasil menekan Karhutla hingga rata-rata 80-90 persen dari kasus 2015.

Termasuk soal sajian informasi asap lintas batas (Transboundary Haze Pollution). Setelah kejadian 2015, hanya satu kali terjadi asap lintas batas ke negara tetangga Singapura dan Malaysia di tahun 2019, itupun hanya beberapa hari saja.

Saat itu banyak yang mengusung adagium ‘bad news’ secara masif dengan narasi kegagalan Indonesia mengatasi karhutla, daripada mengedepankan upaya-upaya pengendalian yang terus dilakukan tanpa henti. Asap yang melintas hanya beberapa hari itu membuat banyak pihak terlupa bahwa sepanjang tahun 2016-2018, negara tetangga selalu mendapat asupan oksigen lebih dari keberhasilan Indonesia mengendalikan Karhutla.

Padahal bila ”good news” dikedepankan, akan mampu membentuk kepercayaan publik pada kesungguhan dan keberhasilan Indonesia melakukan intervensi kebijakan perlindungan gambut, dan perubahan paradigma kerja dari pemadaman ke pengendalian yang telah membawa Indonesia pada fase baru penanganan Karhutla. Bahkan lebih hebat dari negara lainnya di dunia.