Ditulis : Usmandie A Andeska.
TROPIS.CO – JAKARTA, Senin, 29 September kemarin, Komisi IV DPR RI menyelenggarakan rapat kerja dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian LHK, dihadiri langsung Menteri Siti Nurbaya. Dan raker kali ini, tak dipimpin Sudin, Ketua Komisi IV, melainkan Anggia Erma Rini, Wakil Ketua Komisi IV dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.
Raker tersebut membahas soal anggaran Kementerian LHK tahun 2023. Alhasil disepakati sebesar Rp 6,912 triliun. Turun drastis mendekati Rp 400 miliar ketimbang tahun 2022, sebesar Rp 7,3 triliun. Perlu ditelusuri adanya penurunan yang sangat signifikan ini, di tengah Pemerintah Indonesia, berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca melalui pendekatan FOLU Net Sink 2030.
Ada pertanyaan, apakah ini indikasi bahwa DPR RI tak begitu sereg dengan FOLU Net Sink. Padahal, dalam upaya meningkatkan keseimbangan daya serap karbon terhadap emisi yang keluar, dibutuhkan dana yang cukup besar. Sesuai target, di 2030 nanti, paling tidak kemampuan serap karbon, CO2, 140 juta ton CO2 e. Nah, ini di perlukan dana sedikitnya Rp 204 triliun.
Dengan target ini, pemerintah, dalam hal ini Kementerian LHK, berupaya meningkatkan tutupan lahan seoptiomal mungkin. Suatu program yang dilakukan melalui, rehabilitasi lahan kritis yang terdegrasi yang menjadi bagian tanggungjawab pengelolaan Ditjen PDAS RH.
Pada saat ini, lahan rusak yang di kategori lahan kritis dan sangat kritis ini sangat luas. Mungkin, masih di atas `12 jutaan hektar. Ada yang berupa kawasan tandus berupa lahan tak ada tanaman maupun pohon. Juga ada yang berupa semak belukar yang tidak produktif.
Kalau melihat data yang disajikan Kementerian LHK, luasan lahan kritis dan sangat kritis memang sudah sangat jauh menurun. Sekadar tahu saja, di tahun 2011, luas lahan kritis dan sangat kritis, masih di atas 27 juta hektar. Lalu mampu diturunkan hingga menjadi 24,3 juta hektar. Bahkan, lebih tajam lagi, 5 tahun kemudian, di 2018, tinggal 14 jutaan hektar.
Sayang, walau sudah utak atik mba Google, mencari data terakhir, luasan lahan kritis dan sangat kritis, tapi belum ditemukan. Mungkin, belum ada pendataan
baru. Namun sangat diyakini, luasan itu pasti menurun. Karena, mulai tahun 2019, KLHK melakukan sejumlah langkah korektif. Salah satunya, berkaitan dengan program Rehabilitasi hutan dan lahan.
Kementerain LHK, mentargetkan program RHL ini, paling tidak 207.000 pertahun. Dan ini, difokuskan pada 15 DAS prioritas, 15 danau prioritas dan 65 dam dan bendungan, serta lahan lahan kritis yang rawan bencana. Nah, artinya bila tiap tahun, terhitung 2019, luasan yang ditargetkan itu terealisasikan, dalam 3 tahun terakhir, ada penambahan penurunan luasan lahan kritis, sebut saja 650 ribu hektar. Ini tanpa memperhitungkan adanya penambahan areal kritis baru – yang mungkin tidak terlampau signifikan.
Dengan demikian areal kritis yang harus direhabilitasi masih sangat luas. Ini perlu dihijaukan agar menjadi tambahan tutupan lahan baru. Lalu kemudian, memberikan kontribusi nyata dalam menyerap karbon. Sungguh ini, selain membutuhkan partisipasi semua stakeholders, juga yang sangat penting, dibutuhkan politik anggaran. Dan putusan politik anggaran ini, tentu hak penuh DPR-RI.
Karena suatu yang sangat ironis, bila kemudian pagu anggaran kementerian yang men jadi penanggungjawab dari penyelesaian isu global, pengendalian perubahan iklim, tidak mendapat prioritas. Terlepas dari pemahaman, masih lemahnya likuiditas pemerintah karena dampak pandemi covid.
Turunannya pagu anggaran Kementerian LHK, ini otomatis menurunkan pagu anggaran pada masing masing sub sektor. Sebut saja misalnya, Ditjen PDAS RH yang menjadi motor penggerak implementasi FOLU Net Sink di tingkat tapak. Tahun besok, 2023, pagu anggaranmnya, hanya Rp 1,36 triliun, sementara tahun lalu, sekitar Rp 1,85 triliun.
Walau memang pagu anggaran Ditjen PDAS RH, mendapat porsi yang sangat tinggi ketimbang sub sektor lain yang hanya dalam ratusan miliar rupiah. Namun lebih rendah dibanding Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem sebesar Rp1,68 triliun. Kendati urgensi dari KSDAE, dalam FOLU Net Sink, dalam menciptakan tutupan lahan baru masih dipertanyakan, kecuali dalam meningkatkan kualitas kawasan konservasi.
Suatu hal lain yang kurang mendapat perhatian dalam politik anggaran Kementerian LHK, komitmen dalam membangun sumberdaya manusia yang berkualitas, berwawasan luas dan mandiri di tingkat tapak. Ini tercermin dari sangat rendahnya, pagu anggaran Badan Penyuluhan dan Sumberdaya manusia.
Ada kesan kuat, BP2SDM hanya dianggap sebagai pelengkap dari suatu struktur organisasi kementerian LHK. Padahal bila memang visi pembangunan lingkungan dan kehutanan berkelanjutan, sejatinya BPSDM adalah ujung tombak dari kesuksesan dari perwujudan visi pembangunan lingkungan dan Kehutanan.
Bagaimana tidak, peran tenaga penyuluhan di tingkat tapak yang memang sudah snagat membaur dengan masyarakat pedesaan yang sebagian besar di sekitar kawasan hutan, ini akan mampu membentuk karakter masyarakat yang sangat peduli lingkungan. Dengan masyarakat pedesaan yang kuat, mereka akan menjadi penggerak dalam memotivasi masyarakat lainnya.
Pendekatan Kelompok Tani Hutan dalam pembangunan lingkungan dan kehutanan, adalah strategi yang sangat tepat. Hanya memang kelompok ini perlu diperkuat dengan suntikan suntikan yang mampu mengajak mereka berwawasan global. Dan ini peran dari penyuluh kehutanan di tingkat tapak yang harus lebih masif – yang pendekatannya bukan lagi pada kelompok masyarakat penggerak, melainkan kelompok generasi milenial.
Pendekatan pemahaman aktivitas kelompok yang selama ini, hanya sebatas untuk meningkatkan pendapatan agar bisa sejahtera, harus ditambah dengan wawasan baru, berupa pengendalian lingkungan global, agar kesejahteraan yang sudah didapat dari hasil memanfaatkan berbagai potensi linkungan dan kehutanan, itu berkesinambungan.
Dengan demikian, ini akan semakin mengentalkan rasa kepedulian yang tinggi, hingga kemudian, unsur pemerintah cukup mendorong melalui iklim pengelolaan yang jauh lebih kondusif. Dengan hanya memperkuat pagu anggaran BP2SDM, maka peran sub sektor lainnya di tingkat tapakpun akan menjadi ringan.
Hanya sayang, di mata sub sektor lainnya, keberadaan penyuluh jarang dilibatkan. Dalam suatu kegiatan yang dilaksanakan direktorat teknis, penyuluh itu antara ada dan tiada. Kehadirnya dalam suatu pelaksanaan program, hanya untuk menunjukan, bahwa di wilayah itu ada penyuluh kehutanan. Namun, dalam mensukseskan program itu, penyuluh jarang diajak diskusi, bagaimana meningkatkan peran kelompok masyarakat.
Sejatihnya, pola kerja yang cenderung masing masing itu sudah harus ditinggalkan. Dengan kian berkurangnya pagu anggaran di masing masing sub direktorat, strategi gerakan lapangan harus diubah dengan menempatkan penyuluh sebagai motor penggerak, karena pada dasarnya penyuluh sudah memililiki pengetahuan teknis dan sangat mengetahui kondisi sosial masyarakat setempat.
Begitupun dalam implementasi FOLU Net Sink, sebagai penjabaran dari Perjanjian Paris, sekaligus merealisasikan butir butir komitmen Indonesia yang dituangkan di dalam Nationality Determined Contributiton – NDC, peran penyuluh kehutanan jangan diabaikan. Tapi berdayakan mereka untuk merentas jalan dalam membangun komunikasi dengan masyarakat tempatan.
Sangat diyakini, peran penyuluh akan sangat optimal, andai mereka diberikan tanggungjawab dan kepercayaan yang lebih besar. Direktorat teknis, saatnya mengevaluasi pola pendekatan dalam merealisasikan program di tingkat tapak selama ini – yang cenderung boros, terkesan ceremonial. Namun kurang memberi efek hentak dalam meningkakan partisipasi, motivasi dan edukasi masyarakat desa dalam strategi pembangunan lingkungan dan kehutanan secara berkelanjutan