TROPIS.CO, JAKARTA – Proyek penguatan perhutanan sosial atau Strengthening of Social Forestry in(SSF), di Indonesia) yang mendapat support pendanaan dari Bank Dunia, senilai US$14 juta, telah berhasil mempercepat pegembangan program perhutanan sosial, setidaknya di lima kabupaten- kota di 4 provinsi yang manjadi lokasi target proyek pengembangan Perhutanan Sosial.
Direktur Penyiapan kawasan Perhutanan Sosial, Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Syafda Roswandi menjawab TROPIS.CO, menjelaskan, bahwa sejak proyek SSF digelar, September 2020, pemberian persetujuan perhutanan sosial,luasannya meningkat signifikan. Luasannya hingga akhir 2022, telah mencapai 186.647 hektar. Padahal kondisi awalnya atau baseline, baru sekitar 60 ribu hektar.
Tidak sebatas persetujuan, lanjut Syafda, areal Perhutanan Sosial yang dikelola secara lestaripun ikut meningkat. Akhir tahun lalu, sudah mencapai 74.550 hektar. Walau memang, capaian ini masih di bawah target, yakni masing masing 300.000 hektar. “ Pada tahun ini proyek SSF, baik berupa pemberian persetujuan maupun areal yang dikelola, masing masing diharapkan bisa mencapai 113,3 ribu hektar dan 225,45 ribu hektar,”kata Syafda lagi.
Proyek ini tersebar di 5 kabupaten di 4 provinsi, yakni di Limapuluh kota, Sumatera Barat, di Lampung Selatan, Lampung, di Halmahera Barat, Maluku Utara, Dan dua kabupaten lainnya, di Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat. Hanya memang kalau di Bima,ini mencakup kabupaten dan kota.
“Kegiatan pemberian akses Kelola persetujuan PS tidak terbatas di 5 Kabupaten atau Kota lokasi proyek, namun telah di scaling up pada tingkat provins,”lanjutnya.
Dan dalam proyek yang berdurasi 5 tahun, sampai Juni 2025 ini, kini setidaknya, telah memberikan manfaat bagi sedikitnya 66.349 kepala keluarga, atau kurang lebih 265.396 jiwa, dari target 150 ribu orang. Dari jumlah itu, ada sekitar 18 persen penerima manfaat adalah kaum perempuan, dari target 30 persen.
Suatu yang cukup membanggakan, unkap Syafda, proyek SSF ini juga telah berkontribusi terhadap pengendalian perubahan iklim. Walau kini masih dianalisa, berapa besar tingkat capai Gas Rumah Kaca yang termitigasi, namun diyakini tidak kurang dari yang ditargetkan, yakni 9,2 juta Mton CO2e.
Dijelaskan Syafda, indikator suksesnya proyek yang bertujuan meningkatkan hak akses dan memperkuat manajemen masyarakat dalam penggunaan kawasan hutan di area prioritas tertentu yang dialokasikan untuk perhutanan sosial, bila luas areal yang dikelola, dan sesuai dengan praktek pengelolaan lanskap berkelanjutan, setidaknya 300 ribu hektar, dan masyarakat penerima manfaat, itu tadi, setidaknya 150 ribu orang.
Adapun terkait dengan kegiatan paska persetujuan, pada tahun 2022, telah dilaksanakan penandaan batas pada 38 KPS, pada persetujuan seluas 6.814 Hektar. Kemudian melakukan penyusunan RKPS pada 134 kelompok dengan persetujuan seluas 74.550 Ha.
Tahun 2023, jelas Syafda, penandaan batas ini ditargetkan pada 242 KPS seluas 120.504 Hektar. Dan ada 146 KPS – Kelompok Perhutanan Sosial pada areal seluas seluas 52.768 Hektar untuk penyusunan RKPS. Pada tahun 2022 kemarin, juga telah terfasilitasi pembentukan 218 KUPS blue, 93 Silver, dan 12 Gold. “Kita harapkan , hingga akhir proyek akan terbentuk 133 KUPS Gold dan 27 KUPS Paltinum”.
Ada sejumlah inovasi lain yang dipaparkan Syafda dalam proses percepatan akses kelola Perhutanan Sosial. Pertama, menjadikan kerja bareng jemput bola atau Jareng Jebol, sebagai suatu kerja kolaborasi antara pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Kementerian dan Lembaga lain dengan Pemerintah Kabupaten, Kecamatan dan Desa.
Berikutnya, mengembangkan sejumlah aplikasi sebagai database; pengorganisasian data, monitoring dan evaluasi, dan menjadikannya sebagai sebuah tools untuk mempermudah proses kerja, sesuai dtata laksana. “Data capaian PS juga sudah terintegrasi dalam IGT KLHK yang dapat diakses melalui aplikasi SIGAP yang dikembangkan oleh Ditjen PKTL,”kata Syafda Roswandi.