Petani Sawit Indonesia Jadi Korban Utama Kebijakan UEDR Uni Eropa

Dr. Rizal Afandi Lukman, Sekertaris Jenderal Council of Palm oil Producing Countries (CPOPC), menilai ada ada kesenjangan antara regulasi EUDR dan kondisi di lapangan yang dihadapi petani sawit Indonesia sehari-hari. Foto: GAPKI
Dr. Rizal Afandi Lukman, Sekertaris Jenderal Council of Palm oil Producing Countries (CPOPC), menilai ada ada kesenjangan antara regulasi EUDR dan kondisi di lapangan yang dihadapi petani sawit Indonesia sehari-hari. Foto: GAPKI

Tangerangraya.id – Dr. Rizal Afandi Lukman selaku Sekertaris Jendral Council of Palm oil Producing Countries (CPOPC) menyatakan bahwa tantangan terberat bagi petani sawit Indonesia terletak pada ketelusuran atau tracebility karena sebagian besar dari mereka bergantung pada pihak perantara dalam melakukan bisnis sehingga melacak buah kelapa sawit hingga ke asalnya akan sulit dilakukan.

Hal tersebut disampaikannya dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Nusa Dua, Bali, Kamis (2/11/2023).

Kebijakan European Union Deforestasion Free Regulation (EUDR) yang diberlakukan oleh Uni Eropa (UE) di tanggal 16 Mei 2023 lalu dinilai akan memberikan dampak signifikan kepada petani sawit.

Pasalnya, ada kesenjangan antara regulasi EUDR dan kondisi di lapangan yang dihadapi petani sawit sehari-hari.

Baca juga: Menko Perekonomian Airlangga Hartarto Ungkap Kelebihan Sawit Indonesia

Regulasi tersebut memberlakukan benchmarking atau pengelompokan negara eksportir berdasarkan tingkat risiko deforestasi, yakni ‘Tinggi Risiko’, ‘Risiko Menengah’ dan ‘Rendah Risiko’.

Berdasarkan standar UE, Indonesia dinilai sebagai negara dengan penghasil komoditas yang memiliki risiko deforestasi tinggi, salah satunya melalui ekspor minyak kelapa sawit.

Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi deforestasi di berbagai negara, namun terjadi ketimpangan antara tuntutan UE dan regulasi di lapangan.

Sebenarnya tanpa kehadiran EUDR, petani sawit Indonesia sudah mengalami tantangan dan masih membutuhkan bimbingan dalam memenuhi kriteria keberlanjutan industri sawit karena manajemen kelompok tani yang belum terorganisir, kurangnya akses pada alat pertanian yang berkualitas dan pendanaan.

Baca juga: GAPKI Optimistis Tahun Depan Harga Sawit Membaik

“Tidak hanya di Indonesia, namun kebijakan EUDR akan berdampak kepada lebih dari 3 juta petani sawit di seluruh dunia,” ujar Rizal.

Sementara Dr. Andri Hadi, Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg dan Uni Eropa, menyatakan jika hal ini terus berlanjut, maka petani sawit dari berbagai belahan dunia akan hilang dari rantai pasok.

Petani sawit sendiri merupakan pilar yang penting dalam industri sawit di Indonesia oleh karena kontribusinya yang berkisar di angka 41 persen (2,6 juta petani sawit Indonesia).

“Melalui kebijakan ini UE memang akan diuntungkan dengan mendapatkan harga yang stabil dari berbagai komoditas yang masuk ke wilayahnya.”

Baca juga: Perlu Lobi Politis untuk Dorong Sawit sebagai Tanaman Hutan

“Namun di sisi lain negara produsen akan dirugikan dengan berbagai kebijakan yang dibebankan,” ujar Andri.

Di sisi lain, Agus Purnomo, Direktur PT. SMART TBK mempertanyakan keputusan UE untuk tidak mempertimbangkan kebijakan negara setempat sebagai tolak ukur penilaian keberlanjutan suatu komoditas.

Terkait permasalahan antara kebijakan EUDR dan petani sawit, CPOC telah membentuk Joint Task Force atau gugus tugas dengan UE dalam menjembatani regulasi EUDR dengan kondisi petani sawit dunia.

Salah satu kegiatannya adalah melalui smallholder workshop di Malaka di mana para petani dapat menyuarakan pendapat mereka terkait EUDR.

Baca juga: Kelapa Sawit dan Undang-Undang Kehutanan

“Benchmarking yang terdapat di dalam EUDR seharusnya memperhitungkan periode dari deforestasi itu sendiri.”

“Jika deforestasi dihitung berdasarkan periode terbaru, maka Indonesia bukanlah negara dengan resiko deforestasi tinggi, sebab Indonesia telah mengalami penurun sebanyak 74 persen dalam empat tahun terakhir,” ujar Agus Purnomo.

Keberatan Indonesia terkait regulasi EUDR tidak dilandasi oleh penolakan terhadap konsep keberlanjutan, namun justru berhubungan terhadap ketimpangan antara regulasi EUDR dan kondisi di negara eksportir.

Indonesia telah melawan deforestasi sejak lama dan dalam empat tahun terakhir laju deforestasi Indonesia telah mengalami penurunan.

Baca juga: Konflik Agraria dan Implikasi Hukum di Indonesia Jadi Tema Workshop Wartawan Sulteng

“Saya percaya tidak ada satu negarapun yang melakukan deforestasi secara sengaja.”

“Oleh karena itu kita sejalan dengan negara lain dalam memerangi deforestasi,” pungkas Dubes Andri Hadi. (*)