
TROPIS.CO – JAKARTA, Dirjen Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto mengatakan, bahwa kini ada sekitar 29.000 , atau tepatnya 28.856 desa yang berlokasi di sekitar, bahkan, ada diantaranya di dalam kawasan hutan, dan mereka memerlukan sentuhan perhutanan sosial.
Bambang Supriyanto memang tidak menyebut berapa pasti jumlah rumah tangga, tapi Badan Pusat Statistik sempat mempublikasikan, bahwa pada tahun 2014, tercatat ada sekitar 8,6 juta rumah tangga di sekitar kawasan hutan. Dan ada sekitar 260 ribu diantaranya, melakukan perladangan berpindah.
“ Maaf, tak keliru bila jauh sebelumnya, ada yang menyebut bahwa masyarakat di sekitar kawasan hutan itu hanya sebagai penonton atas pemanfaatan hutan oleh sejumlah korporasi, sementara mayoritas kehidupan terhadap hutan sangat tinggi, ”kata Bambang Supriyanto dalam percakapan dengan TROPIS, di Jakarta, belum lama.
“Dulu petani dikejar kejar ketika menggarap lahan hutan, dan divonis sebagai perambah, tetapi sekarang diberdayakan secara optimal,” lanjut Bambang Supriyanto
Karena itu, ungkapnya lagi, tanpa kehadiran pemerintah untuk memberikan akses legal pengelolaan hutan kepada masyarakat, mustahil kesejahteraan mereka yang hidup di sekitar hutan akan terwujud.
“ Sungguh itu suatu alasan hingga kemudian pemerintah melalui KLHK, sejak 10m tahun nan silam, sudah merancang dan mengembangkan Program Perhutanan Sosial (PS), berupaya memberikan hak kepada masyarakat berupa akses legal, agar ikut berpartisipasi dalam memanfaatkan hutan dan hasil-hasilnya, demi kesejahteraan,”tutur Bambang lagi.
Kata Dirjen PSKL ini lagi, bila jauh sebelumnya, mungkin tingkat penguasaan lahan oleh masyarakat, tak lebih dari 0,1 hingga 0,5 hektar, tapi kini setiap kepala keluarga paling sedikit bisa memanfaatkan dan mengelola kawasan hutan negara, paling tidak 2 hektar, bahkan ada yang jauh lebih besar, terutama di luar Jawa. “ Kalau di Jawa, persetujuan ijin pemanfaatan perhutanan sosial, di bawah 1000 hektar per kelompok Perhutanan Sosial, sementara anggotanya banyak,”ungkap Bambang lagi.
Lahan yang berstatus kawasan hutan tersebut bisa dimanfaatkan dengan berbagai konsep pengelolaan, seperti diolah dengan sistem agroforestry, yaitu kombinasi pola tanam antara tanaman pertanian semusim, dengan tanaman hutan/tanaman kayu keras, atau dapat juga dengan konsep pengembangan ekowisata, yang memanfaatkan nilai jasa lingkungan berupa keindahan alam hutan.
Dari sisi ekonomi, hutan adalah sumber kayu, rotan, madu hutan, serta sumber lahan untuk perkebunan dan sektor lainnya. Dari sisi lingkungan, hutan memiliki berbagai fungsi ekologis, antara lain sebagai daerah tangkapan air (water catchment), sebagai produsen oksigen, sebagai penyerap karbon (carbon sequestration), dan sumber keanekaragaman hayati.
Pemerintah kini memang tengah berupaya mempercepat pelaksanaan program perhutanan sosial ini, sehingga pada tahun 2030, alokasi areal seluas 12,7 juta hektar, dapat diakses oleh semua masyarakat di sekitar kawasan hutan. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 28/2023, terkait dengan rencana percepatan perhutanan sosial ini dengan melibatkan setidaknya, 10 kementerian dan kelembagaan.
Pada saat ini, atau pada akhir Maret kemarin, realisasi pemberiana akses kelola ini sudah mendekati 5,3 juta hektar melibatkan sekitar 1,2 juta kepala keluarga tergabung dalam, sekitar 10 ribu kelompok usaha perhutanan sosial. Dalam Perpres itu telah dirancang, bahwa percepatan dengan penambahan areal seluas 7,8 juta hektar itu, paling tidak di tahun 2030.