TROPIS.CO –JAKARTA, Penerapan konsep Integreared Area Development pada kawasan perhutanan sosial disejumah desa di Kabupaten Buleleng, Bali, telah mampu mengatasi terjadinya konflik air.
Desa yang tak memiiki kawasan hutan besenergi dengan desa yang ada hutannya. Mereka membangun kesepakatan, dalam pengelolaan hutan agar tidak menimbulkan dampak banjir bagi desa sekitarnya. Namun memberi manfaat hingga menciptakan nilai ekonomi bagi pertumbuhan wilayah.
I Gusti Made, dalam suatu diskusi terkait perubahan iklim di Jakarta, belum lama ini, bercerita panjang tentang kisah terimplementasinya konsep IAD terhadap pengelolaan hutan dan sumber air di Desa Wanagiri dan disejumlah desa yang ada di sekitarnya.
Diceritakannya, kendati sulit untuk disangkal, bahwa selama ini, seakan ada “perang dingin” antara masyarakat Desa Wanagiri, pemilik hutan, dengan warga desa yang ada disekitarnya. Selain sebagai pemilik hutan, topograpi Desa Wanagiri, lebih tinggi ketimbang desa desa lainnya. Sehingga, tak jarang, desa desa yang ada di bawahnya, terdampak banjir.
Karenanya, menurut pengakuan I Gusti Armade, diriya berinisiatif untuk mengajak pengurus desa duduk bareng, mendiskusikan persoalan yang selalu menimpa warga desa lain. Dan pembahasan tak sebatas dampak, tapi juga terkait dengan pola pembagian air, agar tidak menimbulkan konflik.
Alhasil, memang semua sepakat untuk pengelolaan hutan lebih baik, dan memberikan manfaat bagi pengembangan potensi lainnya, sekaligus untuk keperluaan masyarakat sehari hari; rumah tangga dan subak, bahkan juga pemanfaatan air, menjadi sumber air terjun di desa wisata.
“IAD Kabupaten Buleleng dibangun berdasarkan kesamaan sudut pandang terhadap keberadaan hutan,”kata I Gusti Made. Keberadaan pentingnya hutan dipadukan dengan ikatan kebersamaan antar tata kelola desa dalam pemanfaatan sumber air. “ Sehingga semua sepakat, melalui IAD diharapkan mampu mengurangi intensitas banjir, konflik air rigasi, air minum dan air suplai pariwisata,”lanjutnya.
Dalam konteksi pengelolaan ekonomi, kata I Gusti Made, diimplementasikan melalui skema sharing pembagian laba BUMDes kepada Desa Wanagiri, sebagai desa pemilik hutan, dan pengatur air antara kebutuhan pengairan atau subak dan air terjun sebagai ber wisata.
Di sekitar Wanagiri, ada tiga area kompleks air terjun yang dikelola sebagai daya tarik area hutan desa. Masing-masing kompleks air terjun Banyu Wana Amertha (sedikitnya ada 4 air terjun di sini), kemudian Banyumala, dan Puncak Manik. Ketiga destinasi wisata air terjun ini dikembangkan sebagai bagian dari skema perhutanan sosial di area seluas 250 hektar.
Inisiatif yang dilakukan I Gusti Armade sangat diapresiasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lagi pula sebelumnya, Kelompok Usaha Perhutanan Sosial – KUPS di empat desa yang menjadi pionir dari pendekatan IAD ini, kata Catur EndahPrasetyani, Direktur Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial – sudah berada di peringkat platinum. “ Artinya, tinggal mensuport apa yang sudah dirintis oleh desa desa tersebut,”kata Catur Endah,
IAD merupakan pendekatan pengembangan perhutanan sosial yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 yang telah dijabarkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9/2021.
Konsep pengembagannya melalui lima model pendekatan IAD, yakni secara sosial, ekonomi, ekologi, perpaduan sosial ekonomi, maupun ekonomi-ekologi. IAD kini mulai dikembangkan pada 25 wilayah kabupaten.
Dengan kolaborasi Pentahelix, yakni integrasi kerja pemerintah, LSM, perguruan tinggi, swasta dan masyarakat, IAD tak hanya memberikan keadilan akses melalui perhutanan sosial, juga meredakan konflik, mengurangi kemiskinan, yang terpenting adalah mengembangkan ekonomi wilayah.