Lantaran Didorong Pandemi, Petani Hutan Memasuki Era Industri 4.0

Namun semua bisa teratasi. Febriansya dan rekan-rekan bisa bergabung dan mengikuti pelatihan dengan baik. Pemuda 27 tahun ini memberikan apresiasi terhadap e-learning ini yang dikemas untuk meningkatkan ketrampilan petani. Ia juga merasa mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang pasar produk Perhutanan Sosial.

Senada dengan Febriansya, beberapa peserta lainnya juga menyatakan hal yang sama. “Saya senang sekali. Di sini, saya mendapat pelatihan pemetaan. Jadi saya mulai tahu cara menggunakan Global Positioning System (GPS). Dan ini memang saya perlukan di kelompok, ” tutur Andi Samsualang, seorang petani dari Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Pendeknya, banyak peserta yang mengapresiasi terobosan e-learning ini.

Belajar dari kesuksesan e-learning Perhutanan Sosial ini, adakah hal-hal penting yang bisa dipelajari? Utamanya, faktor-faktor apa yang mendukung kelancaran pelatihan ini? Terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada beberapa pembelajaran penting dari e-learning ini.

Pertama, adanya ide yang unik namun dikemas matang. E-learning ini memenuhi kriteria tersebut. Unik karena yang diselenggarakan adalah e-learning berdurasi empat hari bagi para petani hutan dan pendamping. Bahkan ada di antara mereka yang berdomisili jauh di pelosok. Dikemas matang karena pelatihan ini bukan sesuatu yang asal jadi. Ada serangkaian modul, bahan ajar, sistem teknologi, tutor dan tim penunjang lainnya. Ada proses persiapan, pelaksanaan dan evaluasi yang dijalankan.

Kedua, materi yang disajikan membumi. Materi ini sesuai dengan kebutuhan para pendamping dan petani hutan saat melakukan kegiatan paska mengantongi akses legal Perhutanan Sosial. Beberapa mata pelajaran yang terbilang berat, yakni Pengelolaan Pengetahuan dan Monitoring Evaluasi, dikemas secara cerdas dan sederhana sehingga bisa aplikatif saat diterapkan di lapangan.

Hal ketiga yang menjadi faktor keberhasilan adalah pendekatan. Pendekatan yang dilakukan tutor, admin dan penyelenggara mengedepankan empati dan humanis. Hubungan tutor dan peserta dibangun sehangat dan secair mungkin sehingga kecanggungan dan kekhawatiran peserta bisa diminimalisir. Semua bersikap suportif terhadap para peserta untuk tetap menjaga semangat belajar mereka.

Faktor ke-empat adalah adanya tim yang solid yang mampu bekerja padu dan saling dukung, mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai evaluasi. Tim ini mencakup penyelenggara (penanggung jawab, admin dan sub-admin, serta staf) maupun tutor. Dalam e-leaning ini, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia serta Direktorat Jendral Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan telah menunjukkan kemampuan kerjasama lintas eselon yang baik.

Ringkasnya, sebagai salah satu tutor, saya mendapatkan pengetahuan dan banyak hal yang menyangkut pembelajaran orang dewasa. Saya belajar tentang daya juang petani dan pendamping yang tidak putus asa mendapatkan pengetahuan baru meski ada pandemi. Saya menyaksikan kerja solid tim pendukung yang bekerja tanpa lelah dan melayani dengan hati. Saya melihat kelihaian para tutor mengolah materi menjadi layak santap bagi petani hutan dan pendampingnya. Saya juga menyaksikan kolaborasi yang baik tiap orang maupun instansi.

Pandemi telah membuka kreativitas dan inovasi. Saya kira apa yang dilakukan KLHK layak ditiru dan dikembangkan oleh instansi pemerintah lain yang memerlukan pelatihan dan pendampingan dalam bidang lain, seperti nelayan, petani sawah, atau siapa saja yang memerlukan pendampingan untuk menjalankan program di tingkat tapak. Dan karena pandemi pula, petani hutan  “menerobos Era Industry 4.0”. Bravo KLHK.

Swary Utami Dewi
Anggota TP2PS Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial, Anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia