Minyak Sawit, Salah Satu Solusi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi menerima cinderamata dari Pembina Forum Warta Pena (FWP) sekaligus anggota Komisi VI DPR RI, Melani Leimena Suharli, usai menjadi pembicara dalam seminar
Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi menerima cinderamata dari Pembina Forum Warta Pena (FWP) sekaligus anggota Komisi VI DPR RI, Melani Leimena Suharli, usai menjadi pembicara dalam seminar "Potensi Ekspor di Tengah Pelemahan Rupiah: Mengidentifikasi Komoditas Pendongkrak Ekspor" di Jakarta, Rabu (7/11/2018). Foto : GAPKI

TROPIS.CO, JAKARTA – Sebagai salah satu komoditas pemegang pangsa pasar terbesar minyak nabati dunia, kelapa sawit bisa menjadi salah satu solusi bagi negara Indonesia untuk memanfaatkan potensi ekspor dalam pelemahan rupiah yang kini sedang terjadi.

Pendapat tersebut disampaikan Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tofan Mahdi dalam acara diskusi Potensi Ekspor di Tengah Pelemahan Rupiah yang digelar di Puri Denpasar Hotel, Jakarta, Rabu (7/11/2018).

Hal itu didasarkan pada fakta bahwa saat ini Indonesia memiliki 14 juta hektare perkebunan kelapa sawit dan merupakan produsen minyak sawit tebesar di dunia yang produksi minyak sawitnya mencapai sekitar 42 juta ton, yang 31 juta ton diantaranya terserap di pasar ekspor dunia.

“Sejak 15 tahun terakhir, minyak sawit telah menjadi komoditas pemegang pangsa pasar terbesar dalam persaingan minyak nabati dunia.”

“Sawit menghasilkan minyak nabati yang jauh lebih efisien dibandingkan minyak nabati yang lain. Satu hektare per tahun bisa menghasilkan 4 ton minyak sawit, yang jika dibandingkan dengan minyak bunga matahari, 1 tonnya baru bisa didapatkan dengan 4-5 kali jumlah lahan yang lebih besar daripada sawit,” ujar Tofan.

Pandangan yang sama juga dikemukan pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira Adinegara.

Dia mengatakan bahwa CPO memberikan kontribusi yang cukup besar dari total ekspor nonmigas.

“Padahal ekspor CPO berkontribusi 15% dari total ekspor nonmigas,” ungkap Bhima.

Oleh karena itu, sawit merupakan pilihan yang tepat bagi pemerintah untuk sektor penyerapan tenaga kerja yang besar, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan wilayah, apalagi di saat pelemahan rupiah yang kini sedang terjadi.

Guna memperbesar nilai ekspor CPO Indonesia, Bhima memberi beberapa masukan.

“Salah satu solusinya adalah dengan memberikan pelonggaran setiap pungutan, khususnya ekspor CPO diturunkan menjadi US$15-20 per ton, dan memperluas pasar baru seperti Afrika Tengah, Eropa Timur, dan Rusia.”

“Terkait kendala logistik, pemerintah bisa memberikan keringanan pajak (tax holiday) untuk forwarder atau jasa ekspor dari Indonesia ke Afrika misalnya,” saran Bhima.

Sementara itu Pembina Forum Warta Pena (FWP) Melani L. Suharli menyatakan, secara teori, pelemahan nilai tukar akan menjadikan bertambah tingginya biaya impor karena semakin mahalnya harga barang yang diimpor bila dikonversikan ke mata uang lokal.

“Sebaliknya, pelemahan rupiah membuat komoditas ekspor lebih tinggi karena membuat harga lebih murah bagi negara pengimpor,” pungkas Melani. (*)