Industri Sawit Indonesia Mesti Dilindungi Pemerintah dari Kampanye Hitam Uni Eropa

Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang menilai Pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk melindungi industri sawit Indonesia dari maraknya kampanye hitam terutama negara-negara di Eropa. Foto : Jos/Tropis.co
Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang menilai Pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk melindungi industri sawit Indonesia dari maraknya kampanye hitam terutama negara-negara di Eropa. Foto : Jos/Tropis.co

TROPIS.CO, BELITUNG – Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang mengatakan, pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk melindungi industri sawit Indonesia dari maraknya kampanye hitam terutama negara-negara di Eropa.

“Kampanye hitam tanpa fakta objektif dan tendensius dibarengi dengan ancaman boikot akan terus mengikuti perjalanan industri minyak sawit Indonesia yang kini menjadi pemain wahid di pasar minyak nabati dunia.

Untungnya, pemerintah masih punya keberpihakan, meskipun setengah hati,” kata Togar dalam Lokakarya Wartawan Ekonomi dan Pertanian di Belitung, Kamis (23/8/2018).

Menurut Togar, kekhawatiran terbesar terutama dari negara-negara Eropa adalah Indonesia akan menjadi negara adidaya karena mampu memproduksi energi terbarukan melalui sawit.

Mereka (negara-negara Barat) sangat memahami, sawit merupakan industi masa depan sebagai pengganti energi fosil yang tidak ramah lingkungan dan mulai ditinggalkan.

“Faktanya bisa dilihat bahwa saat ini ierkebunan sawit Indonesia memenuhi peran tersebut dan punya kontribusi besar terhadap kebijakan energi global di masa depan,” kata Togar.

Togar berpandangan, dalam kampanye hitam tersebut, isu bergulir yang dituduhkan untuk menghambat perkembangan industri sawit Indonesia antara lain menyangkut perluasan lahan yang meningkat signifikan sehingga menyebabkan deforestasi, isu kesehatan serta yang marak saat ini menyangkut isu tenaga kerja.

“Sebenarnya, tuduhan tersebut tidak benar karena perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di dunia dalam beberapa tahun hanya tumbuh 13,39 persen, sementara kedelai tumbuh 85,45 persen, bunga matahari 18,05 persen,” ujarnya.

Sementara Ketua Kompartemen regulasi dan pengupahan GAPKI Immanuel Manurung mengatakan, pihaknya akan menerapkan best practice system tenaga kerja sebagai antisipasi maraknya isu negative terkait ketenagakerjaan seperti isu keselamatan kerja, pegawai kontrak, pekerja di bawah umur, dan pekerja perempuan.

Dia menilai, beberapa perbaikan yang telah dilakukan terutama menyangkut hak dan kewajiban perkerja yang sesuai dengan Undang Undang Ketenagakerjaan.

Selain, itu, GAPKI terus melakukan edukasi agar tidak ada pekerja di bawah umur.

Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang GAPKI Eddy Martono menyatakan ketidakjelasan terkait tumpang tindih lahan yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas, selama ini menjadi faktor penghalang bagi pertumbuhan iklim investasi Indonesia.

Akibatnya, industri sawit terlalu banyak disibukkan dengan persoalan tumpang tindih yang pokok persoalannya sebenarnya ada pada beberapa kementerian.

Eddy menyarankan, dalam revisi UU 41, sebaiknya penetapan kawasan hutan cukup dipertegas dengan menjadi menjadi hutan primer, sekunder dan hutan produksi sehingga tidak menimbulkan banyak konflik seperti yang saat ini terjadi.

“Faktanya, banyak kawasan hutan yang justru “menabrak” HGU, karena penetapan aturannya diberlakukan belakangan,” pungkas Edi. (*)