Dengan Badan pangan nasional – Bapanas, pemerintah dituntut berani merumuskan regulasi, agar setiap importer komoditi pangan, wajib membeli produksi usahatani masyarakat yang volumenya, minimal 5% hingga 10% dari volume impor. Andai kurang, wajib menanam dengan melibatkan petani secara langsung hingga target volume yang diwajibkan terpenuhi. Strategi mengurangi komoditi pangan impor.
TROPIS.CO – JAKARTA, Keputusan Presiden tentang Badan Pangan Nasional atau Bapanas, memang sudah terlahir sejak 29 Juli kemarin. Suatu keputusan yang sangat strategis dalam upaya menuntaskan carut marutnya persoalan pangan nasional. Sungguh ini misi yang sangat mulia, mengingat pangan adalah kebutuhan pokok yang harus selalu tersedia, terjaga dalam kondisi harga yang murah terjangkau oleh semua lapisan masyarakat (baca: rakyat).
Kendati sudah memasuki bulan keempat, kehadiran Bapanas terkesan adem ayem. Bahkan, siapa sosok yang bakal dipilih Presiden Jokowi untuk menjadi Kepala Badan pun, belum jelas bagaimana kretrianya. Apakah mereka yang selama ini, sosok yang memang sudah terlibat dalam urusan pangan, atau figur baru yang bukan bagian jaringan mafia pangan. Kita tunggu keputusan Presiden Jokowi, sekembali dari Glasgow, Skotlandia.
Menelisik jaringan berbagai media sosial, memang tak banyak yang memberi komentar atas keputusan pemerintah yang dituangkan di dalam Peraturan Presiden No 66/2021 ini. Sehingga memberi kesan, bahwa Bapanas yang merupakan janin dari Pasal 129, Undang Undang No 18/2012 tentang pangan – yang kemudian dilebur ke dalam Undang Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja, bagai suatu institusi yang tak penting bagi kebanyakan masyarakat.
Sejatinya kelahiran Bapanas ini disambut gegap gempita. Sebab kehadirannya, diharapkan menjadi “dewa penolong” disaat masyarakat terjepit harga pangan yang melambung tinggi. Pangan impor yang telah menjadi ladang rente segelintir orang. Tapi ironis,masyarakat seakan tak mau peduli, dan cuek bebek.
Mungkin, bukan masyarakat tak mau peduli. Tapi karena memang tidak tahu atas kelahiran Badan pan gan ini. Ada yang tahu, namun itu hanya sebatas kelompok yang merumuskan. Atau mereka yang bakal terusik atas kehadiran Bapanas ini. Masyarakat umum memang tidak tahu, karena memang tidak pernah diberi tahu.
Soal ada yang terusik, itu sudah pasti. Sebab dalam BAB III, berkaitan dengan pedelegasian kewenangan dan pemberi kuasa, sudah sangat jelas. Dalam Bab itu, disebutkan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, mendelegasikan kewenangan kepada Badan Pangan Nasional. Dan ini mencakup; perumusan kebijakan dan penetapan kebijakan stabilisasi harga dan distribusi pangan; dan perumusan kebijakan dan penetapan kebutuhan ekspor dan impor pangan.
Tidak hanya itu, Menteri Pertanian pun, harus mendelegasikan kewenangan, dalam hal perumusan kebijakan dan penetapan besaran jumlah cadangan pangan pemerintah yang akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara. Termasuk pedelegasian kewenangan; berkaitan perumusan kebijakan dan penetapan Harga Pembelian Pemerintah dan rafaksi harga.
Kewenangan Menteri BUMN, Eric Tohir terhadap Bulogpun dipangkas. Eric harus memberi kuasa kepada Kepala Badan Pangan Nasional, untuk menugaskan Direktur Utama Bulog dalam rangka pelaksanaan kebijakan pangan nasional.
Nah, agar masyarakat mengetahui, tak salah kalau diberi tahu. Setelah tahu, lantas berkesimpulan optmis atau sebaliknya, bahwa Badan Pangan Nasional, bakal mampu meng-clean up carut marutnya persoalan pangan ini, terpulang kepada masing masing individu. Namun, sebaiknya tidak apriori bahwa lembaga pangan ini, hanya untuk memperpanjang mata rantai pangan dan “mengemukan” para pemburu rente dalam bisnis pangan.
Badan Pangan Nasional ini, institusi atau lembaga pemerintah di bawah langsung Presiden. Artinya bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dan ini yang dicerminkan, ayat 1 pasal 1 dari Perpres yang terdiri dari 10 Bab dan 50 pasal itu. Bakal dipimpin oleh seorang kepala badan yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pangan.
Dalam melaksanakan tugas ini, Badan Pangan nasional, memiliki fungsi koordinasi. Merumuskan dan menetapkan kebijakan ketersedian pangan. Tugas yang sangat penting, seperti yang dituangkan dalam Pasal 3 huruf a, menstabilitasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi.
Nah, sungguh di sini titik krusialnya. Walau ada fungsi lain namun lebih cenderung koordinasi administrative. Seperti misalnya, penganekaragaman konsumsi pangan, keamanan pangan. Pengawasan penerapan standar keamanan pangan yang beredar; bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan di bidang pangan dan pengembangan sistem informasi pangan.
Lantas komoditas apa saja yang menjadi tanggungjawab yang mesti dijaga kestabilan pasok dan harganya oleh Badan Pangan Nasional. Dalam Pasal 4, Bab II, hanya menyebutkan sembilan komoditas yang selalu menjadi isu, dan membuat kesal ibu rumah tangga. Beras sudah pasti karena ini menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia.
Cabe juga bagian dari tanggungjawab Bapanas. Tentu ini perlu didukung, karena cabe murni dihasilkan petani, bukan taipan. Harga cabe selalu berfluktuasi tajam. Meninggi hingga sempat menembus harga Rp 160 ribu/kg. Tapi sebentar, kemudian terjun tajam hingga harga di tingkat petani, menembuis biaya produksi. Petani merugi tapi konsumen tidak diuntungkan.
Lalu, Jagung, dan memang tidak langsung ke masyarakat. Namun meningginya harga pakan ternak, lantaran tingginya harga jagung karena kurangnya pasokan, tentu inipun bakal meresahkan masyarakat, terutama ibu tumah tangga. Membengkaknya harga telur ayam, dikhawatirkan menguras biaya dapur mereka.
Jadi agar jagung, tidak menimbulkan gejolak, perlu ditata kelolakan oleh Badan Pangan Nasional. Harga jagung murah, peternak ayam petelur dan pedaging bergairah. Dan ini merupakan satu kesatuan kebijakan, bahwa telur dan daging unggas, juga bagian yang ikut dikelola Badan Pangan Nasional. Jangung tersedia banyak, pabrik pakan lancar, harga daging dan telur unggas stabil, sangat terjangkau dengan daya beli masyarakat.
Kedelai juga begitu, menjadi bagian tanggungjawab Badan Pangan Nasional. Lantaran kedelai ini sebagai sumber bahan baku utama tempe, dan tempe menjadi makan pokok kebanyakan masyarakat, tentu harus selalu tersedia. Agar harga tempe tidak bergejolak, pasokan dan harga kedelainya harus dikendalikan.
Sangat diyakini Bapanas mampu memainkan peran ini. Hanya memang, agar Bapenas ini kehadirannya, bisa diakui dan diterima masyarakat, eksistensinya harus beda ketimbang badan yang mengurus pangan sebelumnya. Bapanas harus keluar dari tekanan importer dan bersama Kementerian Pertanian, merumuskan strategi pasokan pangan berkesinambungan berbasiskan kemampuan lokal.
Artinya, kalau Bapanas ini, dalam menstabilkan pasok dan harga, hanya mengandalkan impor, kehadiran Bapanas tak memberikan faedah. Hanya menguatkan eksistensi pemburu rente yang mengutip fee dari setiap impor komoditi. Tidak memberikan kontribusi nyata dalam menstabilkan harga pada tingkatan yang relative terjangkau oleh masyarakat.
Bapanas akan punya nilai tinggi, bila berani merumuskan kebijakan regulasi yang mengatur balik tata niaga impor pangan. Artinya, tidak sebatas kedelai, tapi semua komoditas yang menjadi tanggungjawabnya, seperti Gula Konsumsi dan Bawang – yang sebagian besar masih diimpor, bahwa setiap importer pangan, wajib menanam komoditi yang diimpornya.
Sebut saja misalnya sebagai contoh. Kedelai yang setiap tahun, tak kurang dari 3,5 juta ton masih harus diimpor. Agar terjadi balance, dan meningkatkan kemampuan potensi domestik, diwajibkan untuk menaman kedelai bekerjasama dengan petani – yang prediksi produksinya, minimal 10 hingga 15% dari total volume impornya.
Dengan demikian ketergantungan terhadap kedelai impor berkurang dari waktu ke waktu. Pun begitu juga terhadap gula, bawang, jagung, bahkan juga garam, walau garam tidak masuk dari sembilan komoditi yang diatur Bapanas.
Kebijakan importer harus menanam ini, sebenarnya sudah diberlakukan atas impor bawang putih. Setiap impor wajib memproduksi minimali 5% dari volume bawang putih yang diimpor. Hanya sejauhmana efektifitasnya kebijakan yang dituangkan di dalam rekomendasi impor produk hortikultura yang diterbitkan Dirjen Hortikultura, Kementerian Pertanian, akhir Maret 2019 itu, memang perlu dievaluasi. Pun andai belum efektiv, bukan terletak pada kebijakannya, melainkan pada pengawas kebijakannya
Dalam rekomendasi itu disebutkan, untuk importer yang baru mendapatkan kesempatan impor, mereka sudah harus menanam bawang putih minimal 25% dari total kewajiban 5%. Sedang terhadap importer lama, minimal sudah harus menanam bawang putih sebanyak 10% dari kewajiban tanam 5%.
Menstabilkan pasokan dan harga pangan agar tidak terjadi kerawanan pangan dan gizi, jauh sebelumnyapun sudah menjadi tanggungjawab pemerintah. Dan ini beban yang dipikulkan kepada Badan Logistik atau Bulog, sejak kelahirannya di kala orde baru. Bagaimana Bulog membeli gabah petani dengan harga tinggi, lalu kemudian menjualnya kepada masyarakat dalam bentuk beras dengan harga murah.
Pun fungsi inipun masih berjalan hingga sekarang. Tak sebatass pada beras, tapi juga kedelai dan gula. Hanya sejauh mana efektivitasnya, inilah pertanyaannya. Mungkin, tingkat efektifnya rendah, harga beras di pasaran cenderung naik, sementara tingkat kesejahteraan petani tak lebih baik dari tahun ke tahun, hingga peran Bulog dimarjinalkan.
Persoalan adanya badan pangan yang harus di bawah Presiden, ini tentu bukan alasan. Sebab, sebelumnyapun, Bulog, sejak era orde baru, pun bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Baru belakangan ini, terkesan Bulog dikerdilkan, hingga harus berada di bawah Kementerian BUMN.
Oh.. undang undang memang mengaturnya seperti itu. Itukan alasan yang sengaja dibuat. Padahal yang merumuskan undang undang, adalah mereka mereka juga yang punya kepentingan terhadap bisnis pangan. Dan merekalah yang sebenarnya pemburu rente yang tergabung di dalam mafia pangan.
Jadi tak salah kalau masyarakat cuek. Sangat pesimistis atas kebijakan pemerintah dalam mengatasi persoalan pangan. Masyarakat sangat mengetahui, duduk persoalan bukan pada kelembagaan. Kisruh pangan lebih dikarenakan adanya pemburu rente yang didalangi – mohon maaf, mereka pengambil keputusan. Usmandie A Andeska