Desa Tribudi Syukur yang Terbebas dari Rentenir dan Ijon

Produk unggulan Hkm Bina wana dan Kwt Melati Pekon Tribudi Syukur Lampung Barat, hingga mampu meraup omset Rp 3 miliar setuiap tahun

TROPIS.C0, LAMPUNG BARAT – Berkembang pesatnya ekonomi masyarakat Pekon (desa) Tribudi Syukur, Kebun Tebun, Lampung Barat, dari hasil permanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu – HHBK, telah membebaskan desa transmigrasi asal Jawa Barat ini dari praktek ijon dan rentenir.

Semua kegiatan ekonomi masyarakat dikelola melalui kelompok, termasuk kebutuhan sosial; biaya berobat jika sakit dan kebutuhan pemakaman bila ada warga yang meninggal.

Adalah Kelompok Hutan Kemasyarakat Bina Wana tani yang diketuai Engkos Kosasi – mantan kepala Pekon Tribudi Syukur beberapa priode, sebagai penggerak. Melalui jejaring yang dibentuk HKm, seperti Kelompok Wanita Tani Melati, Kelompok Pemuda Peduli Hutan, dan kelompok domisili,  ekonomi pekon bergerak cepat.

KWT Melati berperan sebagai kelompok yang memproses bahan baku menjadi produk jadi yang dikemas rapi yang cantik. Sedangkan kelompok dimisili yang terdiri atas kelompok;  Triguna 45, Triguna 7,  Dwi Tunggal,  Purwamandiri, dan Triguna Sembilan, bertugas memasarkan. Sementara KHHP mengajak kaum pemuda untukpeduli dan menjaga kawasan hutan melalui jasa wisata.

Adapun berbagai jernis HHBK yang dikembangkan Hkm Bina Wana  yang beranggotakan 478 orang di kawasan hutan register 45B, selain berupa kayu kayuan, seperti sengon, meranti, juga tanaman kopi, pisang, lada, singkong, aren, cengkol dan petai. “Nah, berbagai hasil produksinya dijual ke KWT Melati, diproses menjadi produk jadi, lalu dipasarkan oleh kelompok domisili,”kata Engkos Kosasi.

Engkos menyebut, produksi biji kopi yang dihasilkan  Hkm Bina Wana, mencapai 250 ton setiap  tahunnya.  Dijual dengan harga rata rata  Rp 20 ribu hingga Rp 35 ribu/kg.  Sedangkan  lada hitam sekitar 15 ton, dijual dalam kisaran Rp 30 ribu hingga Rp 70 ribu/kg.

Dengan berbagai  produk HHBK ini, ekonomi Pekon Tribudi Syukur berputar cepat hingga memberikan pendapatan nyata bagi warganya. Dan tak heran bila kita bertandang ke desa yang terletak sekitar 500 km dari Bandar Lampung ini, melihat rumah rumah permanen lengkap dengan gerasi mobilnya.

Di sekeliling pekarangan rumah dipenuhi dengan tanaman kopi, pisang, jangung dan sayur mayur. Lalu di teras  rumah,  terhampar jagung usai dipanen lagi proses pengeringan. Sepintas mencerminkan desa ini cukup makmur dan masyarakatnya sejahtera.

” Sekitar 62 persen ekonomi di Tribudi Syukur ini digerakan oleh kelompok melalui kegiatan usaha tani hutan yang memproduksi HHBK,”kata Engkos Kosasi.

Omset kegiatan dari  berbagai usaha tani hutan ini sangat besar setiap tahunnya. KWT Melati yang menjadi penggerak di sektor hilir, beromsetkan sekitar Rp 3 miliar. Sehingga mampu meraup Sisa Hasil usaha – SHU, sedikitnya Rp 300 juta pertahun. Lalu untuk kelompok yang lain – ada enam kelompok di bawah naungan Hkm Bina Wana, SHU setiap tahunnya, dalam kisaran Rp 130 juta hingga Rp 150 juta.

Kegiatan utama KWT Melati yang diketuai Yayah Suryani ini, memproses Hasil Hutan Bukan Kayu – HHBK, berupa biji kopi, pisang, singkong dan aren menjadi produk jadi siap konsumsi. Biji kopi diproses oleh KWT Melati menjadi kopi pupuk dikemas cantik, kemudian dipasarkan ke sejumlah wilayah di dalam dan di luar Lampung.

Begitu juga produk lainnya, seperti pisang dikembangkan menjadi pisang selai, singkong menjadi kripik,dan aren menjadi gula, dan ada juga opak dari ketan. Dan tidak hanya itu,  KWT Tani juga menerima  jasa olah penggilingan  kopi.  Setiap masyarakat yang menggiling kopi di KWT Melati, tidak dipungut biaya tapi jasanya diambil dari hasil gilingan.

“Jadi  dari setiap kilogram kopi yang digiling untuk jasa pengilingan sekitar 1 ons, dan ada uang Rp 8000, tapi itu bukan untuk kelompok melainkan  untuk ongkos kerja yang memprosesnya, mulai dari pencucian hingga pengringan, sebelum digiling menjadi bubuk,”ujar Yayah Suryani.

Dari Sisa Hasil Usaha – SHU inilah, kata Yayah Suryani kelompok wanita tani berkembang, dan kini tengah  merintis berdirinya  koperasi wanita tani melati.  Semua anggota mendapatkan penghasilan setiap bulannya, dan setiap tahun mendapatkan SHU.

” Tahun kemarin, setiap anggota mendapatkan sebesar Rp 900 ribu, dan memang tidak semua dibagikan kepada anggota. Ada 3% disisikan untuk keperluan sosial, dan juga disisakan untuk pengembangan usaha,”jelas Yayah Suryani lagi.

Dana sosial ini, diperuntukan bagi anggota yang keluarganya sakit,hingga diberikan biaya pengobatan. Keperluan mesjid, dan juga keluarga kurang mampu yang ada di sekitar Pekon Tribudi Syukur, serta dipergunakan bila ada kematian. Kelompok menyiapkan berbagai kebutuhan untuk pemakaman.

Pada saat ini, KWT Melati yang beranggotakan 95 orang, tengah membangun gedung senilai Rp 1,2 miliar di atas tanah seluas 800 m, untuk kegiatan proses pembuatan pisang selai. Biaya gedung yang juga dibantu Pemda Lampung Barat melalui Dinas Perindustrian, dilengkapi perangkat pengeringan dan kemasan. “Mungkin, bulan depan sudah bisa dipakai,”ujarnya.

Yayah Suryani (baju hijau) 30 tahun menjadi ketua KWT Melati., sukses mengantarkan desa Tribudi Syukur berbasdari rentenir dan ijon

Engkos mengakui, bahwa peran yang dimainkan BPDAS Rehabilitasi Hutan Sei Seputih dan Sei Sekampung, Lampung, dalam menopang kegiatan Hkm Bina Wana sangat tinggi. Tidak sebatas bimbingan teknis yang diberikan, melainkan juga bantuan bibit dan keperluan lainnya. Pada saat ini Hkm Bina Wana sedang mengembangkan tanaman rotan manau yang diakui, kondisinya kini kian langkah di kawasan hutan register 45B. Padahal jauh sebelumntya, kawasan ini merupakan salah satu produsen rotan manau yasng cukup potensial.

Menceritakan asal usul Hkm Bina Wana ini, Engkos menyebut kelompok ini berdiri sekitar tahun 90an. Namun secara eksis setelah adanya Permen Kehutanan No 37 tahun 2007, tentang keberdaan Hkm dengan masa ijin 35 tahun serta bisa diperpanjang. Jauh sebelumnya, Engkos bersama warga Tribudi Syukur lainnya, memanfaatkan kawasan hutan itu tanpa ijin. Dan sempat “diusir” lantaran itu kawasan hutan. Namun saatLampung Barat dipimpin Buopati, I Wayan Dirpa, mereka diminta kembali mengelola kawasan hutan tersebut, dengan catatan tidak melakukan penebangan, dan diminta menjaga kawasan dari perambahan.

” Kami diminta kembali, boleh bertanam kopi, pisang di sela sela tanaman utama – yakni kayu kayu yang sudah tumbuh tinggi,”ujarnya. Namun kala itu, masyarakat seperti kurang yakin hingga ajakan bupati kurang direspon. ” Baru tahun 2007 pengelolaan kawasan hutan register 45B oleh masyarakat melalui Hkm Bina Wana dilakukan, dan Alhamdulilah kini terus berkembang, bertanam sembari menjaga tajukan kayu kayu yang ada.”

Warga Pekon Tribudi Syukur merupakan keluarga besar tranmigrasi asal Jawa Barat, tahun 1951 sebanyak 95 orang – yang sebagian besar bekas tentara Siliwangi untuk menggarap lahan seluas 700 hektar. Adapun areal garapan di lokasi HKm Bina Wana, dijelaskan Engkos, karena adanya warga baru yang datang dari Jawa Barat karena melihat keluarganya di lokasi tranmigrasi. “Jumlah turwarganya berrtambah namun lahan sudah terbatas, sehingga memanfaatkan kawasan hutan,”tuturnya.