Perhutanan  Sosial sebagai  Media Pembangunan Berkelanjutan.

Nunu Nugraha, kembangkan perhutanan sosial dalam pengendalian perubahan iklim global agar terwujudnya pembangunan berkelanjutan.

TROPIS.CO – JAKARTA, Perubahan iklim   global yang cenderung  tidak terkendali hingga dikhawartirkan akan menjadi penghambat  dalam menerapkan prinsip prinsip pembangunan berkelanjutan , salah satu solusinya dapat menggunakan pendekatan perhutanan sosial.

Sebagai program yang melibatkan banyak masyarakat di sekitar dan di dalam kawasaan  hutan, perhutanan sosial dapat diperankan sebagai media penghubung antara isu pengelolaan  hutan dan  kesejehteraan sosial. “Konsep perhutanan sosial sebagai medium komunikasi dalam menggerakan  interaksi aktif  antara masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan lestari,”kata Nunu Nugraha.

Dalam percakapan dengan  TROPIS.CO  belum lama ini,  Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan  Hidup dan Kehutanan, pemerintah telah mengalokasikan kawasan  hutan seluas 12,7 juta  hektar, sebagai kawasan perhutanan sosial   yang akan  diberikan akses kelolanya kepada masyarakat  di sekitar  dan di dalam kawasan  hutan.  Dan  sampai  akhir tahun kemarin,  realisasinya sudah mencapai sekitar 5,3 juta hektar  yang melibatkan hampir 1,3  juta kepala keluarga di sekitar dan di dalam kawasan  hutan.

Strategi ini ditempuh, selain untuk mempercepat  pengentasan kemiskinan  juga untuk menekan degradasi  hutan  dan deforestasi, melalui  pemanfaatan  potensi sumberdaya hutan non kayu.  Sekaligus  menekan kesenjangan dalam pemanfaatan sumberdaya  hutan yang selama ini sudah sangat  timpang, yakni  98 persen  dikuasai korporasi , berbanding 2 persen yang dimanfaatkan masyarakat.

“Dengan diberikan akses kelola secara legal, masyarakat yang selalu dituding sebagai perambah, kini akan lebih bertanggungjawab  dalam memanfaatkan potensi hutan, tidak lagi menebang tapi menanam,”ujar Nunu  Nugraha lagi,

Dengan demikian, karena tidak ada penebangan maka  tutupan lahan kian  terjaga  dan bertambah karena adanya  penanaman  baru.  Walau mungkin, sebagian besar  yang mereka  tanam  jenis tanaman  yang produktif, bukan untuk kayu olahan atau kayu pertukangan.  Namun untuk beberapa jenis tanaman  produktif ini juga telah berkontribusi dalam menciptakan  tutupan lahan  baru.

Mengutip  data  yang sempat disampaikan  Plt Dirjen Planologi Kehutanan dan  Tata Lingkungan,  Ruanda  Agung Sugardiman,  Nunu mengatakan,  dalam beberapa  tahun terakhir penurunan deforestasi dan degradasi hutan sangat signifikan.

Sebagai  contoh dia menyebut, pada  priode 2021 – 2022, telah terjadi deforestasi  seluas 119,4  ribu hektar.  Luasan ini mengalami penurunan yang cukup signifikan ketimbang priode 2020 – 2021 yang masih mencapai, mendekati  140 ribu hektar.  Namun dengan adanya penanaman baru yang  dalam dua  tahun terakhir mencapai 15,4 ribu hektar, maka dalam hitungan luas, bahwa deforestasi netto hanya sekitar  104 ribu  hektar.

Dengan membaiknya kondisi  tutupan lahan,  kata  Nunu,  maka kemampuan daya  serap emisi akan semakin tinggi. Sehingga  tercipta adanya keseimbangan  antara emisi yang   keluar dan  yang terserap. Kemampuan  serap  yang lebih tinggi ketimbang emisi  yang keluar, ini akan membuat suhu panas bumi menurun.

Perlu diketahui, bahwa pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk  menurunkan  emisi hingga  32 persen dengan usaha sendiri,  atau 43,2  persen  andai ada suport  dari  negara lain, hingga  tahun  2030.  Dan melalui perhutanan sosial, sebagai salah satu strategi diharapkan  komitmen itu bisa terealisasikan.