Hari Satwa Sedunia, Gajah Masih Jadi Sasaran Perburuan Liar

Hewan Dilindungi

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, juga bagian lampiran dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, gajah Sumatera atau Elephas maximus sumatranus termasuk ke dalam daftar jenis satwa yang harus dilindungi.

Dedi Istnandar, Staf Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), mengatakan bahwa gajah merupakan satwa yang hidup secara berkelompok pemakan tumbuhan (herbivor) memiliki banyak manfaat bagi kehidupan.

“Area jelajahnya luas untuk pencarian makanan, secara tidak langsung membantu penyebaran biji tumbuhan sebagai bibit pohon baru pada kawasan hutan yang dilewatinya. Selain itu, kotoran gajah juga bermanfaat sebagai pupuk yang menyuburkan area hutan. Gajah juga
mengonsumsi makanan dalam jumlah besar, sehingga mengatur keseimbangan ekosistem hutan. Tubuhnya yang besar juga bermanfaat sebagai pembuka jalan bagi satwa lain dalam menjelajah hutan dan mencari makanan,” ujar Dedi.

Sebagai upaya pengawasan dan pencegahan perburuan liar, Kuswandono menginformasikan bahwa TNWK telah bekerja sama dengan beberapa pihak, seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, penegak hukum dan masyarakat sekitar kawasan serta beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Pelaku perburuan liar ini kerap dengan sengaja memicu kebakaran hutan yang memudahkan mereka melakukan perburuan. Sedangkan untuk pelestarian kawasan hutan, kami bekerja sama dengan kelompok komunitas atau mitra lingkungan, seperti Yayasan Auriga Nusantara dalam upaya restorasi hutan yang sudah mulai dilakukan sejak tahun 2013,” ungkap Kuswandono.

Auriga merupakan salah satu LSM lingkungan yang bekerja sama dengan Balai TNWK dalam melakukan rehabilitasi hutan (pemulihan ekosistem).

“Hamparan ilalang pasca-kebakaran hebat pada dekade 90-an diupayakan pulih kembali menjadi hutan, termasuk sebagai habitat gajah. Kami mengapresiasi Balai TNWK yang membuka ruang kerja sama dengan Auriga Nusantara memulihkan habitat tersebut, baik ketika kami bersama konsorsium pada 2013-2017 seluas 100 hektare, maupun spesifik dengan Auriga hingga 2023 untuk luasan 1.200 hektare,” kata Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Indonesia.

“Dari luasan total TNWK sebesar 125.000 hektare, terdapat sekitar 17.000 hektare kawasan TNWK yang perlu direhabilitasi. Ini kami bagi ke dalam tiga jenis metode upaya rehabilitasi atau pemulihan ekosistem, yakni pemulihan ekosistem alami, pemulihan ekosistem yang menggunakan anggaran negara dan pemulihan ekosistem bekerja sama dengan mitra, di mana Auriga termasuk di dalamnya,” tutur Kuswandono.

“Dari 1.200 hektare area restorasi, Auriga menargetkan membangun pembibitan dan melakukan penanaman seluas 600 hektare di kawasan Rawa Kadut hingga tahun 2023. Selain itu, kami membuat sekat bakar untuk mengendalikan kebakaran dan menghambat kebakaran agar tidak meluas. Kami juga melakukan perawatan pada area permudaan alami (suksesi),” pungkas Supin, Direktur Kehutanan Auriga. (*)