Idi Bintara Mengelola DAS dengan Humanisme

Hanya dengan  alpokat siger1, Idi Bintara mampu “menaklukan” hati masyarakat Girimulyo agar tak “ngotot” minta perubahan status hutan lindung Gunung Balak, Lampung.  Melalui  kesepahaman “tidak harus memiliki tapi  bisa  menikmati” dan tak memaksakan  harus menanam kayu, ekonomi masyarakat di sekitarnya kini tumbuh pesat. Dengan tanaman alpokat fungsi ekologinya pun tak terabaikan.

TROPIS.CO, Bandar Lampung – Sejak mutasi dari Bangka Belitung Idi Bintara menggebrak Lampung dengan pendekatan humanisme. Kawasan hutan tak lagi harus ditanami kayu, tapi diperkenankan memanfaatkan tanaman produktif yang memiliki fungsi ekologi dan ekonomi. Gejolak kawasan lindung Gunung Balak mampu direndam hanya dengan bertanam alpukat.

Banyak yang menilai, Idi Bintara  lebih banyak memerankan dirinya sebagai penyuluh, ketimbang sebagai Kepala balai.  Dalam perannya seperti itu, tak heran bila komunikasinya dengan masyarakat  selalu cair. Tak sebatas di wilayah yang adem adem saja, tapi juga di kawasannya yang terindikasi konflik.

Sehingga, jarang terjadi adanya  misscomunication. Pendekatannyang selalu diawali rasa simpati dan peduli, tak membawa  nama  instansi, Idi sangat muda diterima. Dan selalu dikenang ketika dia harus meninggalkan suatu daerah, lantaran alih tugas.

Dengan menonjolkan humanis, apa yang hendak dia wujudkan dalam mengemban misi  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, selalu  membuahkan hasil optimal. Dalam pendekatannya,  Idi selalu memulai  dari hati, rasa dan mata.  Bukan dari  teori, seperti apa yang didapatkannya di bangku kuliah. Lalu dia tempat masyarakat tani sebagai subjek, mitra pemerintah yang ingin menggapai tujuan bersama.

Pemerintah; ekologi terjaga, lestari ditumbuhi tanaman penyangga.  Masyarakat tani; terwujudnya pendapatan yang layak, ekonomi rumah tangga tumbuh dengan kemampuan daya beli yang tinggi.  Roda ekonomi  wilayah berputar, berkmebang pesat dengan berbagai multiplaer effectnya.

Dengan pendapatan yang layak, hasil dari kegiatan pengembangan potensi ekonomi desa, masyarakat tani sejahtera dan merasa hidup nyaman, tenteram. Bila tingkat kehidupan mereka mapan, cara pikirpun akan lebih maju. Sehingga mereka akan merasa alam di sekitarnya adalah sahabat dalam kehidupannya, karenanya harus dijaga

Nah, bila pendekatan diawali dari hati, rasa dan mata, tentu akan sangat mudah untuk menggali kemampuan masyarakat seutuhnya.  Dengan demikian, tingkat partisipasi masyarakatpun akan sangat tinggi.  “Walau kita orang pemerintah, tapi hendaknya dalam pendekatan awal jangan dulu bawa bawa nama institusi,”kata Idi Bintara.

Namun, lanjutnya,   datanglah dengan hati, rasa dan mata. Bangun humanis agar timbul rasa rindu mereka akan kehadiran kita. Memang butuh waktu untuk proses, tapi bagi  Idi itu bukan suatu persoalan demi terwujudnya suatu misi pemerintah.   Sebagai contoh Idi menyebut, pendekatannya kepada masyarakat Gunung Balak.  “Yaa.. hampir  6 bulan komunikasi  dengan masyarakat di sini, baru  terasa sangat cair,”ujarnya.

Pengalamannya sebagai orang lapangan selama sebagai Staf BPDAS Lampung, plus lagi merasakan asinnya  garam Bangka Belitung,   wong Solo  ini sangat yakin, pendekatan yang  dilatar-belakangi “paksaan” dan tidak mempertimbangkan, hati dan rasa masyarakat setempat, dipastikan tidak akan membuahkan  hasil optimal.  Justru sebaliknya, bakal membuat persoalan berlarut larut,  kian menggelembung, bagai bom waktu  siap  menunggu meledak.

Kebanyakan masyarakat sangat mengetahui,  bahwa  masyarakat yang   bermukim di hutan lindung  Gunung Balak,  sejak  hampir  60  tahun nan silam itu, menuntut agar  kawasan hutan lindung Gunung Balak seluas hampirt 22 ribu hektar,  dialih fungsikan menjadi  Areal Penggunaan  Lain – APL.

Demo  turun ke jalan,  terakhir masih terpantau  pada awal 2017 nan silam. Kala itu ribuan warga yang berdiam di kawasan lindung Register 38, mendatangi kantor Gubernur Lampung. Mereka menuntut kebebasan dalam pengelolaan  kawasan lindung Gunung Balak untuk dijadikan ladang pertanian, tanpa bayangan takut diusir.

Tapi pemerintah seakan tidak memberi respon.  Dan kesan kuat, kawasan Gunung Balak  tetap dipertahankan sebagai  hutan lindung.  Namun ironisnya, tidak ada solusi yang ditawarkan, kecuali masyarakat pindah pada lokasi lain,  mengikuti  program  transmigrasi lokal.  Lalu kawasan yang rusak akan  direhabilitasi dengan tanaman hutan, berupa berbagai  jenis kayu.

Karenannya,  tak usah heran,  beberapa waktu silam,  berulangkali kasus pengusiran paksa masyarakat  terjadi.  Berbagai jenis tanaman, seperti kopi, pisang, dan singkong  yang menjadi sumber penghidupan masyarakat,   dicabuti, hingga mengundang perlawanan. Bentuk perlawanan yang nyata, itu tadi, ribuan warga turun ke jalan melakukan aksi demo, memprotes tindakan aparatur yang mereka rasakan kurang manusiawi.

Sebaran bibit alpokat siger1 di pekarangan rumah penduduk Girimulyo, kini tercatat ada sekitar 150 rumah pweduduk yang terlah menjadi sentra pembibitan.

Apa yang hendak dilakukan pemerintah terhadap kawasan Gunung  Balak, sangat tidak nyambung  dengan kondisi di lapangan.  Masyarakat yang sudah turun temurun,  hidup dari tanaman jagung, singkong, pisang dan kopi, berusaha mempertahankan sumber penghidupannya. Dan tak mau pindah, walau diajak untuk bertransmigrasi lokal.

Alhasil,  sejak orde baru, orde  reformasi dan era pemerintahan Jokowi, priode pertama, persoalan Gunung Balak, tak tuntas tuntas. Di kalangan masyarakat Gunung Balak, bara api masih tetap  panas.  Kesan marah dan dendam terhadap unsur pemerintah terasa nyata. Setiap pihak yang mengaku dari pemerintahan,  mereka  tolak  masuk ke lokasi  pemukiman di Gunung Balak – yang belakangan, terpencar dalam 4 desa.

Sungguh dalam kurun selama itu, tak terjalin komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat Gunung Balak.  Tapi tidak, dalam 2 tahun terakhir. Masyarakat Gunung Balak, sangat welcome dengan siapapun, termasuk unsur pemerintah.  “Ya.. Pak Idi yang mencairkan  kebuntuan  komunikasi masyarakat  kami dengan unsur  pemerintah, beliau sangat enak, menerima dan mau berdiskusi dalam mensolusikan permasalahan yang kami hadapi,”kata Anto Abdul  Mutholib.

Tokoh pemuda  yang sangat aktif membina “petani muda keren” yang tergabung dalam Kelompok  Tani Hutan –KTH Agromulyo Lestari, mengakui kehadiran  Idi Bintara, telah memberikan inspirasi, bahwa kawasan lindung yang telah menjadi lokasi pemukiman puluhan tahun, dan turun temurun, tak harus dimiliki tapi bisa dimanfaatkan, dikelola dan dikembangkan dengan berbagai jenis tanaman produktif  yang bernilai ekonomi dan ekologi.

Kini disebagian masyarakat, khususnya yang bermukim di Desa Girimulyo,  berkembang  istilah “Tidak harus dimiliki tapi bisa dinikmati”. Kemudian  istilah ini, mereka kaitkan dengan program pengembangan tanaman alpokat yang digagas bersama Idi Bintara dengan masyarakat.               “Karena mereka menyebut alpokat itu pokat, maka ada tambahan istilah “PSK”, tidak dimiliki tapi bisa dinikmati,”tutur Idi Bintara.

Namun  Idi mengajak untuk tidak berkonotasi negative  terhadap istilah yang berkembang di tengah masyarakat Gunung Balak ini.  “PSK” itu, jelas Idi, anomin  dari  “ Pokat ( alpukat)  Solusi Konflik”. Mengapa alpokat, karena jenis tanaman inilah yang mencairkan komunikasi pemerintah dengan  masyarakat Gunung Balak. “Tanaman alpokat telah menjadi jembatan komunikasi yang sangat efektif, hingga hubungan pemerintah dengan masyarakat cair.”

Pedagang benih jagung.

Menceritakan awal komunikasi dengan masyarakat Gunung Balak,  Idi Bintara mengatakan, diawali adanya pedagang bibit jagung yang ingin bertemu dengannya. Ini pada saat saat awal bertugas sebagai Kepala Balai DAS Rehabilitasi Hutan Sei Putih Sei Sekampung. Ajakan itu, direspon tapi pertemuannya  di kantor BPDASRH, di Bandar Lampung.

“Pedagang tersebut setuju, walau sebelumnya mengajak  bertemu di lokasi, di Gunung Balak,”cerita Idi lagi. Dan pedagang benih jagung itu,  memang warga lokal, penduduk setempat. Saat bertemu,  di kantor BPDAS, berkisah tentang persoalan yang dihadapi masyarakat dan keinginan yang hendak dilakukan. “ Dalam pertemuan itu, saya lebih banyak mendengar, tidak membantah apa dilontarkan,”tambah Idi.

KTH Agromulyo Lestari salah satu kelompok tani di kawasxan Gunung Balak yang menjadi penggerak percepatan pengembangan alpokat di Girimulyo

Usai  pertemuan,  Idi janji akan datang ke Gunung Balak.  Tidak membawa nama instansi, datang sebagai masyarakat biasa, menemui kawan baru.  Komunikasi sangat cair, disuguhi kopi, jagung  dan singkong  rebus. Dan dalam pertemuan inipun,  Idi mengaku, bahwa dirinya lebih banyak mendengar dan menyerap, belum memberikan komentar.

Baru dalam pertemuan pertemuan berikutnya, Idi memulai memberikan solusi dari permasalahan yang mereka ceritakan. Terlebih setelah Idi melihat ada sejumlah pohon alpokat berbuah lebat, kuntur buahnya panjang dan agak kuning kekuningan. Sehingga jenis alpokat ini bisa dikembangkan, dan menjadi tanaman unggulan Gunung Balak.

Lagi pula, tanaman alpokat ini  jenis tanaman berkayu – yang artinya bisa dikembangkan di dalam kawasan hutan.  Alpokat bisa dikembangkan sebagai tanaman ekologi yang berfungsi sebagai penyangga, juga tergolong tanaman produktif yang mampu memberikan nilai ekonomi tinggi. Dengan demikian, alpokat di mata Idi, sangat layak dan potensial sebagai jenis tanaman  rehabilitasi dan tanaman yang mampu menopang ekonomi masyarakat Gunung Balak.

Melihat kuntur buah yang besar panjang, Idi sangat optimis, bahwa tanaman alpokat yang  belakangan dikenal dengan sebutan Alpukat Siger 1, dalam satu batangnya, mampu berbuah lebat dengan kemampuan produksi perbatang, dalam kisaran 100 hingga 200 kg pada panen tahun pertama dan kedua.  Dan pada tahun tahun berikutnya akan semakin tinggi, hingga puncaknya, dalam usia panen ke sepuluh, 1,2 ton perbatang.

Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin saat berkunjung ke Girimulyo dan sempat panen alpokat bersama masyarakat kelompok tani

Pemikiran ini, disampaikan Idi kepada masyarakat tani di Girimulyo. Awalnya memang belum mendapat banyak respon. Baru sebatas sekelompok kecil masyarakat yang di bawa binaan  Anto Abdul Mutholib – yang belakangan tergabung dalam kelompok tani hutan,  Girimulyo Lestari, dan Anto Abdul Mutholib dipilih sebagai ketua kelompok.

Bagi Anto dan teman temannya, apa yang ditawarkan  Idi Bintara, bagai  dayung bersambut. Sebab, Anto sendiri menyebut, bahwa pengembangan  tanaman alpokat, adalah mimpinya sejak pulang kampong, seusai menyelesaikan bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta, sekitar tahun2009. “Sejak  tahun 2009 itu, saya sudah mengkampanyekan agar masyarakat menanam alpokat, dan bermimpi menjadikan desa Girimulyo ini sebagai “taman alpokat dunia”.

Namun tidak bagi sebagian besar masyarakat tani Girimulyo. Mereka  tetap ingin bertahan  menanam  jagung, kopi, singkong, pisang  serta beberapa jenis tanaman semusim lainnya. Namun itu, bukan suatu permasalahan bagi Idi, karena bisa dimulai dari kelompok masyarakat yang setuju saja. “ Dan kesepakatanya, mulailah kita mengembangkan  untuk  seluas 15 hektar,”kata Idi Bintara.

Sumber dana awalnya dari BPDAS.  Nilainya hanya Rp 97 juta, atau sekitar Rp 105 juta, termasuk biaya pemeliharaan masa 3 tahun menjelang panen.  Jujur  Idi menilai dana sebesar ini, sangat tidak memadai untuk menanam alpokat seluas 15 hektar, terlebih dengan menggunakan bibit vegetative. Terlebih lagi termasuk pemeliharaan hingga menjelang panen.  “ Bila dalam ukuran benar, artinya dikembangkan secara bisnis, biaya perhektar paling tidak  Rp 50 juta,”jelasnya.

Sangat terbatasnya anggaran ini, disampaikan  Idi kepada masyarakat secara terbuka. Tapi Anto dan  rekan, ternyata tidak mempermasalahkan anggaran tersebut. Mereka siap untuk melakukan tanpa harus  dana pemerintah. Alhasil disepakati, bahwa dana senilai Rp 97 juta itu, hanya untuk pembelian bibit  vegetative yang masing masing  200 pohon dari kebutuhan 400 pohon perhektar.

“ Lainnya, mereka sepakat menggunakan bibit generative yang nanti bila berusia satu tahun atau memasuki tahun kedua, pohonnya ditempel dengan mata tanaman alpokat vegetative,”kata Idi lagi. Dan dana sebesar Rp 97 juta itu,  ditransfer langsung ke rekening anggota kelompok,  tidak dikelola  BPDAS. “Kita serahkan langsung kepada anggota kelompok mengelolanya,BPDAS hanya memonitor dan memotivasi.”

Dan kini  tanaman alpokat itu sudah memasuki  tahun ketiga. Tumbuh dan berkembang terpelihara baik. Sebentar lagi menjelang panen perdana. Dan Idi mengakui, tumbuh baiknya tanaman alpokat ini, bukan semata dari modal Rp 97 juta itu, melainkan karena adanya kontribusi dan partisipasi nyata masyarakat tani. “Mereka membeli pupuk, pembasmi hama  dan saprodi sendiri,  melakukan pemeliharaan sendiri.”

Nah oleh Idi Bintara, bila dihitung dalam rupiah, nilainya mencapai Rp 39,5 juta. Artinya, dalam program ini pengembangan alpokat sebagai tanaman rehabilitasi lahan di kawasan hutan lindung  Gunung Balak ini, ada subsidi masyarakat. Sungguh Idi menilai apa yang dilakukan masyarakat tani,  suatu kontribusi dan partisipasi yang nyata.

Suatu yang membanggakan, luas tanam yang disebutkan hanya 15 hektar, setelah dilakukan penelitian oleh mahasiswa Universitas Lampung, ternyata realisasinya  16 hektar. Mengapa demikian ? kondisi ini terjadi, menurutnya, tingkat keterampilan masyarakat tani dalam memeliharakan tanaman sangat tinggi.  Sehingga tingkat kematian bibit yang ditanam  relative kecil, dan bibit yang diperuntukan penyulaman, tidak habis terpakai, dan kemudian ditanam oleh anggota kelompok lain.  “ Luasannya melebihi  1 hektar.”