Mengamati Keunikan Tarsius Langka dari Bukit Peramun

Waktu yang tepat untuk menemukan tarsius adalah menjelang malam sekitar 18.30 hingga 21.00 WIB. Foto: ALUMNINGGRIS.COM
Waktu yang tepat untuk menemukan tarsius adalah menjelang malam sekitar 18.30 hingga 21.00 WIB. Foto: ALUMNINGGRIS.COM

TROPIS.CO, BELITUNG – Di samping mengandalkan wisata pantai, Kabupaten Belitung, di Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung menawarkan ekowisata yang jumlahnya mencapai belasan.

Salah satunya, Belitung juga mempunyai kawasan, Bukit Peramun, yang menjadi habitat binatang tarsius seperti yang ada di Pulau Sulawesi.

Tarsius merupakan mamalia carnivora berukuran 20 cm, kepalanya dapat berputar 180 derajat, dan termasuk binatang langka.

Di Belitung, binatang tarsius ini berjenis Chepala phacus.

Tarsius atau oleh warga Belitung disebut pelilian merupakan mamalia endemik Pulau Belitung.

Hewan jenis nocturnal ini mempunyai mata seperti burung hantu.

Baca juga: Minyak Sawit Merah Alami Bisa Tingkatkan Imunitas Tubuh terhadap Covid-19

Badan tarsius menyerupai monyet dengan ekor yang panjang, ukuran tarsius dewasa tak lebih dari seekor anak kucing atau hannya segenggaman tangan.

Tarsius termasuk binatang monogami karena hanya mempunyai satu pasangan seumur hidupnya.

Diperkirakan jumlah Tarsius di Bukit Peramun kurang dari 100 ekor.

Itu sebabnya, pihak Pemda Kabupaten Belitung benar-benar menjaga habitatnya agar jangan sampai punah.

“Paket wisata tarsius menyesuaikan dengan kondisi binatang tersebut dan tidak boleh mengganggu habitatnya,” tutur Wakil Bupati Kabupaten Belitung Isyak Meirobie di Belitung beberapa waktu lalu.

Meskipun masuk dalam paket wisata yang ditawarkan pengelola Bukit Peramun, menemui tarsius adalah gampang gampang susah.

Pengunjung tidak serta merta bisa menjumpai mamalia ini meski sudah berkeliling di sejumlah titik Bukit peramun.

Waktu yang tepat untuk menemukan tarsius adalah menjelang malam sekitar 18.30 hingga 21.00 WIB.

Pada jam-jam itu, tarsius akan turun dari pohon untuk mencari jangkrik yang menjadi makanannya.

Di siang hari, tarsius lebih memilih berdiam diri di tempat persembunyiannya di cela-cela batu besar atau di pepohonan yang ada di Bukit Peramun.

“Kawasan Bukit Peramun, habitat tarsius, merupakan salah satu kawasan ekowisata ini dikelola oleh masyarakat setempat.”

“Mereka meninggalkan pekerjaan mereka sebagai penambang timah lalu membentuk kelompok-kelompok kerja yang mengelola ekowisata.

“Jadi objek wisata ini benar-benar dibangun oleh mereka dari nol.”

“Kami selalu aktif mengikutsertakan masyarakat dalam pengembangan ekowisata di Kabupaten Belitung karena mereka akan merasakan langsung manfaat ekonomi dari sektor pariwisata ini,” tutur Isyak.

Selain binatang langka tarsius, Kabupaten Belitung mempunyai banyak batu meteor yang jatuh ke permukaan bumi dan dinamakan batu Satam.”

“Batu ini berwarna hitam dan kalau dua buah batu ini saling dihadapkan maka ada daya saling tolak menolak.”

“Batu satam ini setelah diteliti ternyata umurnya pun mencapai ratusan juta tahun,” ungkap Isyak.

Baca juga: Rata-rata Turun 68 Persen, Lalu Lintas Kendaraan di Jalan Nasional di Pulau Jawa

Menurutnya, di Belitung, batu Satam ini menjadi bagian dari budaya penduduk setempat, jadi batik, cincin, liontin, tongkat komando, dan sebagainya.

Batu Satam ini juga ditemukan di tambang-tambang timah di Belitung.

Di Pulau Bangka juga ada tambang timah tapi tak ada batu satam karena tak ada meteor yang jatuh di sana.

“Bekas-bekas tambang yang menjadi lokasi ditemukannya batu Satam inilah yang hendak diusulkan UNESCO sebagai warisan Taman Bumi atau Geopark karena sudah membudaya di masyarakat setempat,” pungkas Isyak. (*)