Astra Agro Lestari Siap Replanting Sawit Petani Tanpa Dana BPDPKS

CEO Astra Agrolestari Santosa dimoderatori Fenny Anggraeini Sofyan, Vice President Communication and Publik Affairs, perusahaan perkebunan yang dirintis taipan Wiliam Soerjadjaya, diera awal 80-an, saat dilangsungkanya Talk To The Chief Excutive Officer 2024, di Bandung, 16 -17 Februari ini. Santosa memaparkan banyak tentang perkembangan usaha Astra Agrolestari dan industri sawit nasional.

TROPIS. CO – BANDUNG, Manajemen Astra Agrolestari siap bermitra dengan petani sawit swadaya dalam mempercepat program replanting tanaman sawit yang tak lagi produktive, tanpa harus memanfaatkan dana hibah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, BPDPKS.

Dalam percakapan dengan wartawan di Bandung, CEO PT Astra Agro Lestari,Santosa mengatakan, bahwa pihak manajemen Astra Agro Lestari pun siap untuk membiayai program itu hingga tanaman sawit itu memasuki masa produksi normal.

“Dalam hitungan kita, ya  sekitar 7 tahun, artinya memasuki masa produksi  4 tahun,”kata Santosa dalam Talk To The Chief Executive Officer atau TCEO 2024 yang diselenggarakan divisi Communication and Public Affairs Astra Agro Lestari, di Jumat malam (14/2).

Santosa mengatakan, persoalan yang dihadapi dalam meremajakan tanaman sawit petani swadaya, selain faktor legalilitas lahan, juga terbatasnya sumber permodalan petani.

Santosa mengakui dalam program peremajaan sawit petani swadaya, pemerintah melalui Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Sawit atau BPDPKS telah mengalokasikan dana hibah peremajaan sawit rakyat, sebesar Rp 30 juta/hektar.

Namun hibah sebesar ini,  disebut Santosa, habis hanya untuk pengadaan  bibit dan land Clearing. Padahal  tanaman harus dipelihara,  dikelola optimal hingga produksinyapun optimal.  Tak cukup hanya sebatas ditanam, tanpa pemupukan dan perawatan yang benar sesuai dengan teknologi dan sistem budidaya yang benar.

Sejatinya, dana yang diperlukan untuk menghasilkan buah sawit produktivitas tinggi, dalam kisaran  20 ton hingga 25 ton tandan buah segar atau TBS, untuk saat ini paling tidak  Rp 120 juta/hektar. Biaya ini di luar kebutuhan cost off living (COL)petani yang tanaman sawitnya direplanting untuk masa  7  tahun.

“Perkiraan  kasar kita, kebutuhan biaya modal perhektar hingga tanaman produksi normal, sekitar 7  tahun, mencapai Rp 270 juta/hektar,”kata Santosa.

Tapi dalam rincian TROPIS, andai cost off living Rp 3 juta/bulan, maka setahun paling tidak Rp 36 juta. Lalu untuk masa 7  tahun, sekitar Rp 252 juta. Bila ditambah dengan biaya pembangunan kebun, peneliharaan dan kebutuhan sarana produksi hingga tanaman berproduksi normal, Rp 120 juta/hektar, maka kebutuhan modal replanting perhektar sawit rakyat, paling tidak idealnya  Rp 372 juta/hektar.

“ Manajemen Astra Agro Lestari prinsifnya siap menjadi mitra petani tanpa harus menggunakan dana BPDPKS tapi dari sumber lain dengan rate yang relatif tak memberatkan petani,”ujar Santosa lagi.

Hanya memang persyaratan yang diminta Santosa,  legalitas lahan jelas. Lokasi perkebunannya tidak terlampau jauh dari perkebunan Astra Agro Lestari. “Ya dalam radius 20 km lah, dan harus dalam satu hamparan minimal 500 hektar,”tambahnya.

Dalam usianya yang kini sudah mendekati 45 tahun, Astra Agrolestari, selain mengelola kebun sendiri, sebagai kebun inti yang luasnya sekitar 214,8 ribu hektar, juga bermitra dengan petani, sebagai kebun plasma dalam program  Kredit Koperasi Primer Anggota KKPA. Luasnya  mencapai 72,2 ribu hektar.

Produktivitas sawit perhektar kebun plasma terhadap kebun inti, tak berbeda jauh,yakni  dalam kisaran  20 hingga 23 ton TBS. Karena apa yang diterapkan  kebun inti, itu juga diimplementasikan dalam kebun sawit petani.  “Penerapan teknologi dan sistem budidayanya sama dengan kebun inti, hingga rata rata produktivitasnyapun tak berbeda jauh,”kata Santosa.

Dalam upaya meningkatkan efisiensi hingga adanya peningkatan pendapatan petani, sekaligus  memperkuat program kemitraan dengan petani plasma ini, lanjut  Santosa, dalam beberapa   tahun belakangan ini, manajemen  Astra Agrolestari, telah  mengembangkan program digitalisasi, atau  lebih dikenal dengan Aplikasi Sistem Informasi Kemitraan (SISKA) 2.0 dirilis pada bulan Januari lalu.

Melalui program digitalisasi ini, maka setiap tindakan petani dalam meningkatkan sistem budidaya agar terwujudnya tingkat produktivitas optimal, bisa terpantau. Sehingga komitmen perusahaan dalam mendukung usaha petani plasma, agar berpendapatan lebih layak bisa tercapai.

“Langkah Astra Agro memprioritaskan buah dari masyarakat ini juga menjadi komitmen perusahaan dalam mendukung usaha petani sawit,” kata Santosa.

Di awal tahun ini, fitur pertama yang diperkenalkan adalah Booking Jadwal Kirim yang diharapkan dapat mempersingkat waktu tunggu bongkar dengan sistem antrian yang terintegrasi, sehingga para mitra mendapatkan kemudahan dalam mengatur jadwal pengiriman buah ke pabrik Astra Agro.

Dengan antrian yang singkat, dan kalangan driver tidak harus menunggu lama di pabrik,  maka ada peluang bagi mereka untuk kembali ke kebun,megangkut  sawit hasil panen petani. Karenanya, pada tahap awal,  diimplementasikannya SISKA 2.0 diharapkan mampu mengoptimalkan fasilitas perusahaan untuk dimanfaatan petani mitra, dalam mendukung  usaha budidaya tanaman  kelapa sawitnya.

Lebih lanjut, Santosa menyatakan program kemitraan yang telah diintensifkan sejak tahun 2018 ini, juga menjadi salah satu strategi bisnis perusahaan dalam memenuhi utilitas pabrik kelapa sawit dan produksi CPO perusahaan.

“Beberapa tahun poduksi sawit nasional stagnan, maka selain oeningkatan produktivitas tanaman, maka untuk dapat bertahan kita harus melakukan efisiensi. Fix cost sudah pasti harus keluar, maka utilisasi pabrik harus optimal,” tegas Santosa.

Dalam beberapa  tahun terakhir, disebut Santosa, dalam rangkaian efisiensi usaha,  manajemen  Astra Agrolestari, telah memberikan kemudahan kepada petani mitra, seperti  kemudahan  dalam pembelian pupuk, kecambah kelapa sawit, herbisida, unit angkut, unit pribadi dan pemanfaatan  alat berat, termasuk juga kemudahan di dalam  kerjasama perbaikan infrastruktur.

Menuntut  replanting

Pada saat ini, dari luas perkebunan sawit nasional sekitar 16,4 juta hektar, termasuk yang dikategorikan masuk dalam kawasan  hutan, sekitar 3 juta hektar,  sekitar  7 juta hektar diantaranya,  adalah perkebunan sawit petani, baik yang dikembangkan secara swadaya atau mandiri, maupun petani plasma melalui program  Perusahaan  Inti Sawit (PIR) yang diimplementasikan sekitar tahun 80-an maupun program KKPA yang dikembangkan di era 90-an.

Nah, dari  sekitar 7 juta hektar sawit petani, atau sekitar 42% dari total luas perkebunan sawit Indonesia, tidak kurang  dari 3 juta hektar, tingkat produktivitas perhektarnya, kini mungkin  tidak lebih  dari 2 ton minyak sawit.  Sehingga memang dituntut untuk segera direplanting.

Pemerintah sejak 7 tahun nan silam, telah memulai peremajaan terhadap tanam sawit rakyat. Dan telah mentargetkan seluas 180 ribu hektar pertahun. Namun realisasinya kurang memadai, dalam masa 7 tahun itu, baru sekitar 326 ribu hektar.

Rendahnya realisasi ini, diantaranya disebabkan petani sawit swadaya tak bermodal. Hibah Rp 30 juta jauh dari cukup. Di sisi lain, petani. beranggapan, bila sawit mereka direplanting, lalu apa penghasilkan mereka hingga tanaman sawit menghasilkan.

Karenanya,  dengan alasan ini, hingga Santosa  berkenan menjadi mitra petani swadaya dalam upaya meremajakan  tanaman sawitnya, dan mengalokasikan COL untuk masa 7  tahun. Hanya memang  dengan catatan, lokasinya dalam satu hamparan, minimal 500 hektar, dan   dekat dengan kebun Astra Agro. Dan ada lembaga keuangan yang memberikan  rate atau bunga bank, pada tingkatan sangat layak untuk usaha petani.

Pola pendekatan permodalan, sama dengan plasma yakni kredit perbankan dengan jaminan  Astra Agrolestari. Hanya yang Santosa harapkan, rate atau bunga  pinjamannya, pada tingkatan sangat layak untuk usaha petani. ” Ya.. mungkin dalam kisaran 2% pertahun,”ujarnya.

Dalam pola kerjasama ini, semua kegiatan pembangunan kebun hingga pengelolaan sampai berproduksi optimal, sesuai  target, menjadi tanggungjawab manajemen Astra  Agrolestari. Dan kebun diserahkan kepada petani bila pinjaman sudah selesai, dan petani pemilik lahan, sembari menunggu hasil panen normal, yakni  dalam kisaran  20 hingga 25 ton TBS, bisa menjadi pekerja pada kebun sendiri dengan cost off living yang sudah dialokasikan setiap bulannya.

Karena mereka ikut terlibat dalam merawat kebun sendiri, sehingga menjadi bagian dari tanggungjawab manajemen Astra Agrolestari, dalam meningkatkan kualitas dan kemampuan sumberdaya, sehingga pada saat kebun diserahkan, kualitas dan tingkat produktivitas kebun, tak berbeda jauh ketika masih dalam pengelolaan langsung manajemen Astra Agro.

Berapa lama masa penyerahan itu, Santosa memang belum menyebut secara tegas. Namun asumsi TROPIS, paling dalam kurun 15  tahun. Asumsi ini, bila target produksi optimal, dalam kisaran 20 ton – 25 ton.  Atau lebih besar lagi dari itu, bila memanfaatkan  bibit sawit hasil  riset Astra Agrolestari yang disebut  Santosa, bisa mencapai 29 ton TBS/hektar.

Dan tentu juga,  harga minyak sawit terus melambung. Kemungkinan harga minyak sawit kian membaik, pun sangat tinggi.  Pasalnya, kebutuhan minyak sawit dunia akan terus meningkat, seiring dengan kuatnya komitmen masyarakat global untuk meninggalkan energy berbasis fosil yang sangat tak ramah lingkungan.  Alternatif terbaik sebagai substitusiya, hanya minyak sawit yang harganya diyakini sangat kompetitif terhadap minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai dan minyak matahari.

Rata rata 17 ton.

Astra Agro Lestari, selain memiliki kebun sawit sendiri seluas 210 ribuan hektar, juga membina kebun plasma seluas 78 ribu hektar, tersebar di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Pada tahun ini diperkirakan produksi kebun sendiri sekitar 3,312 juta ton. Atau naik sekitar 4,8% ketimbang tahun kemarin.

Santosa mengakui bahwa kini ada indikasi produktivitas sawit mulai stagnan dan cenderung menurun. Sepertiganya dibangun di era tahun sembilan puluhan, ditanam selama 4 tahun, sejak 1995 hingga 1997. Dan memang sudah selayaknya direplanting.

Hanya memang, tidak akan sekaligus. Strateginya dilakukan perlahan  dan bertahap. Agar produk sawit Astra Agro Lestari tidak langsung droff. Dan ini memang sudah dilakukan, sejak beberapa  tahun lalu, dilakukan pada  tanaman sawit di bawa rata rata, yakni 17 ton TBS /hektar. ” Tanaman sawit yang di bawa 17 ton inilah yang akan direplanting  lebih awal, dan setiap  tahunnya,  dalam kisaran  5000 hektar hingga 6000 hektar,”tutur Santosa lagi.

Sementara yang masih 17 ton tetap dipertahankan, agar kondisi produksi sawit perusahaan secara umum tak terganggu.  Nanti, bila  tanaman  muda ini sudah memasuki masa produksi normal, baru dilakukan  replanting secara agresif. “ Jadi harus kita atur, jangan sampai produksi drof,”tandas Santosa lagi.