KLHK Rancang Standar Dokumen Lingkungan Khusus Kehutanan

Sekditjen Pengelolaan Hutan Lestari Drasospolino menyebut kini KLHK tengah merancang standar dokumen lingkungan kehutanan untuk mempelancar PBPH dalam pengembangan multi usaha kehutanan,

TROPIS.CO, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kini tengah merancang standar dokumen lingkungan (Dokling)  spesifik kehutanan, dalam upaya percepatan pengembangan multi usaha kehutanan (MUK).

“Standar doklingnya sedang dibahas Ditjen PHL  bersama Direktorat PDLUK, Ditjen Planologi Kehutanan dan Kemitraan  Lingkungan,”ungkap Drasospolino.  “Kalau tidak salah  kini sudah memasuki pembahasan yang keenam kalinya,” lanjut Sekditjen Pengelolaan  Hutan Lestari menjawab TROPIS di Jakarta, Selasa (22/11/2023).

Kata Ino, begitu panggilan akrab  Drasospolino, dengan adanya standar dokling  yang khusus kehutanan ini, diharapkan lebih mempermudah perusahaan PBPH  dalam mendapatkan dokumen lingkungan, sebagai suatu persyaratan dalam pengembangan multi usaha kehutanan.  “Kan selama ini dalam memenuhi dokumen lingkungan masih mengacuh pada standar umum,”tambahnya.

Dengan demikian nantinya, andai sudah ada  standar dokling kehutanan, diharapkan masa perolehan  dokomen  lingkungan bisa lebih cepat. Berapa lama waktu prosesnnya, Ino memang tidak menyebut waktu pastinya, mengingat itupun akan tergantung juga dengan ketersediaan  SDMnya.  “ Kita berharap bisa lebih cepatlah  dari yang sekarang,”lanjutnya lagi.

Direktur PDLUK – Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan, Ditjen Planologi Kehutanan dan Kemitraan  Lingkungan,  Laksmi  Widyajayanti menguatkan pernyataan  Ino terkait kerjasama perumusan standar Dokling kehutanan ini. “Kami juga sedang bekerjasama dengan   Ditjen PHL, kita membuat standar dokling untuk kegiatan PBPH,”kata Laksmi.

 

Focus Group Diskusi yang membahas perkembangan dan hambatan multi usaha kehutanan di Bogor, Senin (20/11)

Dalam Foum Group Diskusi – FGD yang diselenggarakan Pasca Sarjana IPB Bogor, persoalan dokumen lingkungan untuk kegiatan multi usaha kehutanan, memang sempat mencuat dan dikemukakan oleh sejumlah fanelis dari kalangan dunia usaha.  Mereka menyebut proses dokumen lingkungan agak lamban, sehingga terkesan menghambat percepatan pengembangan program multi usaha kehutanan.

Bagaimana tidak lamban, dalam perjalannya 2 tahun UUCK, hingga kini baru 70 HBPH yang mendapatkan dokumen lingkungan. Dan ke 70 perusahaan ini, menurut  Sekjen  APHI Purwadi Soeprihanto, adalah  perusahaan  pemegang IUPHHK dan IUPHHBK yang mengajukan dokumen lingkungan dalam upaya penyesuian perijinan seperti yang diamanakan  UUCK.  “Ya.. jumlah 70 ini, baru separohnya dari total pemegang  IUPHHK dan  IUPHHBK,”kata  Purwadi.

Persoalan ini direspon oleh Prof ( Ris) Subarudi), peneliti kehutanan dari BRIN, perlunya ada terobosan yang mempercepat proses dokumen lingkungan ini, agar target yang ingin dicapai melalui  Multi Usaha Kehutanan ini,  bisa diwujudkan.   “ Memahami misi yang diembankan MUK, sejatinya  perlu ada terobosan dalam  proses percepatan dokumen lingkungan,  tidak harus rijit, terlebih terkait dengan  dokumen lingkungan,”tandasnya.

Kontribusi kehutanan.

MUK  merupakan amanah dari Undang Undang  Cipta Kerja- UUCK, dalam upaya optimalisasi pemafaatan  potensi hutan.  Sehingga eksistensi kawasan  hutan memberikan kontribusi lebih besar, dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi nasional.  “ Kontribusi  sektor kehutanan hanya 0,6 persen terhadap PDB Nasional,”kata Suryanto.

Dalam FGD yang diprakarsai Ketua Tim  Multi Usaha Kehutanan,  Prof  Dodik Ridho Nurachmat,  Suryanto, pakar kehutanan dari Fakultas Kehutanan IPB Bogor itu,   menilai suatu yang sangat ironis, Indonesia yang memiliki kawasan  hutan sangat luas, sekitar 68,8 juta hektar diantaranya berupa hutan produksi, tapi masih mengimpor 6 dari 9  komoditas pangan pokok nasional,  hingga menempatkan Indonesia sebagai negara  peringkat ke 65 dalam ketahanan pangan.

Kondisi ini  menurut Suryanto, lebih dikarenakan kawasan hutan produksi, yang diantaranya ada sekitar 24,4 juta hektar,  berupa kawasan  hutan yang tak berhutan, tidak terkelola optimal. ” Pemanfaatannya, masih terbatas pada  kayu, padahal potensi lainya masih relative banyak,”kata Suryanto lagi.

Dalam  hasil hutan bukan kayu atau HHBK, katanya, kawasan  hutan yang tak berhutan itu, bisa dimanfaatkan untuk pengembangan tumbuhan berkayu, seperti  kopi, coklat, karet, atsiri, damar, dan berbagai buah buahan.  Atau bisa juga dikelola  berupa tumbuhan tidak berkayu, seperti  aren, tebu, pisang, bahkan juga berbagai jenis tanaman hortikultura, semisal jagung dan tanaman sayur mayur.

Dan berbagai komoditas ini, lanjut Suryanto, sangat seiring dengan  Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 8/2021, Pasal 156, terkait kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan produksi – yang anatara lain disebutkan; ada budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya lebah, budidaya jamur, penangkaran  satwa liar, budidaya sarang burung wallet. Bahkan juga, wana mina atau silvofishery dan silvofastura atau budidaya ternak.

Berbagai potensi ini sangat diyakini akan mampu meningkatkan kontribusi kehutanan melalui pengembangan  multi usaha kehutanan.  Dengan penerapan model dan implementasi MUK, ini akan banyak menawarkan solusi menarik untuk mengatasi tantangan dalam  tata kelola  hutan  produksi dan ketahanan pangan  nasional.

Dijelaskan Suryanto lagi,  pendekatan  yang mengintegrasikan berbagai aspek kehutanan dan pertanian, seperti produksi kayu, HHBK pangan dan non pangan, serta jasa lingkungan, mempunyai potensi untuk meningkatkan kinerja sektor kehutanan secara signifikan dalam meningkatkan pendapatan nasional.  “ Dengan demikian, peran hutan dapat menyumbang  peningkatan produksi pangan, sekaligus mendukung konservasi lingkungan.

Karena MUK ini sudah menjadi komitmen  nasional, artinya semua bertanggungjawab atas kemudahan pengembangan potensi ini. Lantaran itu, dihubungi terpisah, Prof Dodik Ridho Nurachmat, dan  Prof ( Ris) Subarudi, merespon positif langkah  yang kini sedang ditempuh Kementerian LHK, melalui pendekatan standar dokling kehutanan dalam penerbitan  dokumen lingkungan bagi  perusahaan PBPH yang berencana mengembangkan multi usaha kehutanan.