TROPIS.CO, BANGKA BELITUNG – Pemerintah Provinsi Bangka Belitung saatnya lebih fokus menentukan komoditas alternatif penggerakan pertumbuhan ekonomi wilayah pasca timah.
Kebun sawit masyarakat layak dilirik sebagai salah satu alternatif, melalui pendekatan program optimalisasi peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit, karet dan lada masyarakat.
Dengan asumsi luas perkebunan sawit masyarakat Bangka Belitung, yang kini ada sekitar 75 ribu herktare dengan produktivitas rata rata 22 ton tandan buah segar perhektar pertahun, dan harga Tbs Rp 2000 per kilogram, sawit masyarakat mampu berkontribusi senilai Rp2,6 triliun per tahun.
Beberapa waktu lalu, dalam media lokal, saya sempat membaca, bahwa luas perkebunan kelapa sawit masyarakat di Bangka Belitung, ada sekitar 75 ribu hektare.
Terserbar di semua kabupaten, kecuali di Pangkal pinang. Terluas ada di Bangka Selatan, sekitar 21 ribuan hektare. Melihat luasannya, artinya masyarakat Bangka Belitung, sudah punya pilihan dalam menggerakan ekonomi rumah tangganya, dan memilih tanaman kelapa sawit, sebagai antisipasi pasca timah.
Melihat ini berarti masyarakat Bangka Belitung sangat cerdas dalam menentukan pilihannya. Kelapa sawit jenis produk yang dapat diperbarui, dan pasarnya sangat luas, seluas pemanfaatannya. Ya… buah kelapa sawit yang disebut Tandan Buah Segar atau TBS, sebagai bahan baku Crude Palm Oil – CPO (minyak sawit mentah), peruntukannya tak lagi sebatas minyak goreng, mentega, sabun, tapi kini sudah menjadi sumber energy alternative, berupa biodesel. Artinya, sudah dapat ditebak, bahwa pemanfaatan kelapa sawit sangat tidak terbatas.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai tinggi dan industrinya termasuk padat karya. Sehingga dapat memberikan kontribusi yang dalam peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja sehingga memberikan kontribusi untuk peningkatan ekonomi masyarakat dan negara.
Industri kelapa sawit di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat cepat dalam beberapa dekade terakhir. Saat dikembangkan pada akhir tahun 60-an luas perkebunan sawit hanya sekitar 100 ribuan hektar, kemudian pada tahun 2022 telah melonjak menjadi sekitar 16,5 juta hektar. Dan suatu yang sangat membanggakan sekitar 5 juta hektar diantaranya, adalah perkebunan kelapa sawit masyarakat.
Lainnya, berupa perkebunan kelapa sawit perusahaan perkebunan besar, baik BUMN maupun swasta. Perusahaan perkebunan besar swasta yang sangat luas, mendekati 9 juta hektar. Sedangkan perkebunan milik Negara yang dikelola PT Perkebunan Nusantara, nyaris stagnan dari sejak puluhan tahun nan silam, tak merangkak jauh dari angka luasan 750 ribu hektar.
Perkebunan kelapa sawit masyarakat atau rakyat, kendati relative luas, namun dalam hal produktivitas perhektar sangat rendah. Secara rata rata nasional, di bawah 10 ton perhektar pertahun. Jauh di bawah produktivitas perusahaan perkebunan sawit swasta yang kini rata rata sudah di atas 25 ton per hektar pertahun.
Umumya kondisi perkebunan rakyat yang kurang terpelihara, tidak mendapatkan dukungan memadai dalam hal fasilitas, infrastruktur dan institusi pendukung. Tak mengherankan, bila rendahnya produktivitas dan kualitas buah, berimplikasi pada pendapatan masyarakat tani. Selain juga dipengaruhi adanya tekanan pasar yang dikuasai tengkulak, dan sortiran kualitas buah oleh pabrik yang terkadang persentasenya bisa berkisar 10 hingga 20 persen.
Rendahnya produktivitas kelapa sawit rakyat, salah satunya diakibatkan kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam penguasaan teknologi budidaya; mulai dari persiapan lahan, pemilihan bibit, penanaman, pemeliharaan dan panen. Selain juga, karena keterbatasan dana sebagai modal usaha yang mereka miliki. Adapun pendapatan dari hasil penjualan buah sawit, terkadang hanya cukup menopang biaya hidup sehari hari, bahkan itupun masih harus pinjam sana sini, saat keperluan biaya pendidikan putra putrinya.
Gambaran seperti ini, juga tampak nyata di perkebunan sawit masyarakat di Bangka Belitung. Di Bangka Belitung, pada saat diperkirakan ada seluas 250 ribu hektar perkebunan kelapa sawit. Dari luas itu, ada sekitar 75 ribu hektar sawit masyarakat, produksinya ternyata tak sampai 150 ribu ton tbs perhektar pertahun. Artinya, relative sangat rendah, hanya dalam kisaran 2 ton tbs perhektar pertahun.
Kenyataan ini sungguh sangat memprihatinkan. Terlebih lagi, kelapa sawit diharapkan menjadi penopang ekonomi daerah dari sektor pertanian dan perkebunan, pasca timah, selain tanaman karet dan lada yang kondisi saat inipun sangat redup. Kondisi ini memang menuntut adanya suatu keputusan politik daerah untuk menata kelola perkebunan kelapa sawit masyarakat ini, agar produksinya bisa sangat optimal.
Produktivitas perhektar harus ditingkatkan paling tidak di atas 22 ton perhektar hingga dalam kurun 5 tahun mendatang. Dengan demikian, pada saat itu, menjelang tahun 2029, dari 75 ribu hektar sawit masyarakat, diasumsikan sekitar 65.000 hektar yang dikategorikan tanaman menghasilkan, maka paling tidak produksi kelapa sawit masyarakat, bakal mencapai 1,3 juta ton atau sekitar 1.3 miliar kilogram pertahun.
Nah, Andai harga Tandan Buah Segar ( Tbs) dipatok rata rata Rp 2000/kg, maka paling tidak nilai ekonomi produksi sawit masyarakat Bangka Belitung,menjelang tahun 2029 itu, telah mencapai Rp 2.6 triliun pertahun. Pada saat ini, artinya, kelapa sawit masyarakat sudah berperan aktif sebagai penopang struktur ekonomi Bangka Belitung.
Bahkan, mungkin, ekonomi sawit telah menjadi pondamen yang kuat dan kokoh, untuk dijadikan landasan take off-nya ekonomi Bangka Belitung pasa timah. Terlebih lagi, bila dikembangkan hingga ke industry hilirnya. Tentu ini, tak sebatas mampu memberikan nilai tambah tinggi, tapi membuka peluang kerja yang sangat luas.
Dapat dibayangkan, betapa luasnya multiplaer effect dari perkebunan sawit masyarakat ini, merambah pada sektor sektor lainnya; industry jasa, home industry Bangka Belitung yang berbasiskan perikanan dan kelautan. Peran tambang timah, seiring berkurangannya cadangan potensi, akan menurun. Sehingga pada saat peralihan dari ekonomi timah ke ekonomi berbasiskan pertanian, akan terjadi secara alami, tidak stagnan dan menimbulkan gejolak.
Di Bangka Belitung, umumya kondisi perkebunan rakyat yang kurang terpelihara dengan baik. Mungkin tak beda dengan kebanyakan perkebunan kelapa sawit masyarakat di daerah lain. Masyarakat bekerja atas kemampuannya sendiri. Tidak mendapatkan dukungan memadai dalam hal fasilitas, infrastruktur dan oleh pemerintah daerah. Program yang dilancarkan pemerintah daerah cenderung berorientasi proyek, tidak berkesinambungan, tanpa disertai pendampingan dan penyuluhan dalam pengelolaan usaha taninya.
Dalam hal teknis budaya, petani kelapa sawit, hanya mengandalkan apa yang didengar dan dilihat. Pendalaman pengetahuan terkait budidaya kelapa sawit sangat jarang – kalau tidak bisa dikatakan, tidak pernah mereka dapatkan. Sehingga dalam mendapatkan sarana produksi; terutama pupuk dan bibit sawit, lebih didasarkan pada saling meniru atau mencontoh petani lainnya.
Karenanya, suatu strategi mengoptimalisasi peningkatan produktivitas kelapa sawit masyarakat, dilakukan secara terintegrasi dari berbagai sektor, diawali dengan pelatihan teknis budidaya, agar mereka lebih memahami dan menjiwai jenis tanaman kelapa sawit. Kemudian, mereka terus menerus dilakukan pendampingan, hingga mereka benar benar menguasai teknis budidaya kelapa sawit yang benar.
Dengan tingginya tingkat pengetahuan dan pemahaman, dan tumbuhnya rasa penjiwaan hingga adanya chemeristy antara masyarakat tani dengan kelapa sawit yang dikembangkannya, bila ditopang kemampuan teknis budidaya yang tinggi, sumber pendanaan yang cukup, penerapan system pemupukan yang benar dan terukur, lalu penguasaan pasca panennya sesuai dengan kaedah, maka dapat dipastikan target produktivitas akan tercapai dengan sendirinya.
Pemerintah provinsi, sejatinya mengambil tanggungjawab besar agar program optimalisasi peningkatan produktivitas kelapa sawit masyarakat, dan juga tanaman masyarakat lainnya, seperti karet dan lada, bisa tercapai. Saya, bersama Tim Bedepeng pembentukan provinsi kepulauan Bangka Belitung, akan mengambil alih tanggungjawab perwujudan program ini, andai Pemerintah Provinsi tak peduli. (*)
Usmandie A Andeska, Wartawan di Jakarta, Ketua Tim Komunikasi Politik Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung