Komunitas Surplus Berjuang Kurangi Sampah Makanan

Secara umum, kegiatan utama Komunitas Surplus adalah pendidikan sadar pangan, pemberdayaan komunitas dan pelaku usaha, konsultasi penelitian di bidang pelestarian lingkungan hidup dan sampah makanan, memberikan donasi dalam rangka penyelamatan makanan, dan melestarikan lingkungan hidup. Foto: Komunitas Surplus
Secara umum, kegiatan utama Komunitas Surplus adalah pendidikan sadar pangan, pemberdayaan komunitas dan pelaku usaha, konsultasi penelitian di bidang pelestarian lingkungan hidup dan sampah makanan, memberikan donasi dalam rangka penyelamatan makanan, dan melestarikan lingkungan hidup. Foto: Komunitas Surplus

TROPIS.CO, JAKARTA – Sampah makanan merupakan salah satu isu lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.

Menurut FAO (Food and Agriculture Organization), Indonesia menghasilkan 13 juta metrik ton sampah makanan per tahunnya, dimana beratnya sama dengan 500 kali berat Monumen Nasional (Monas).

Kontribusi besar terbuangnya makanan disumbang oleh hotel, restoran, katering, supermarket, gerai ritel, dan perilaku masyarakat yang gemar tidak menghabiskan sisa makanannya.

Bahkan, data dari The Economist Intelligence Unit menyatakan Indonesia merupakan negara pembuang makanan kedua terbesar di dunia dimana setiap orangnya mampu membuang 300 kilogram makanan per tahun.

Apabila dikalkulasi maka jumlah sampah tersebut setara dengan Rp 27 triliun.

Besaran itu sebenarnya cukup untuk memberi makan 11 persen populasi Indonesia atau sekitar 28 juta penduduk setiap tahunnya, mirip dengan angka jumlah penduduk miskin di Indonesia.

Jumlah sampah makanan yang cukup besar ini mungkin terjadi karena istilah food waste dan penjabarannya masih asing bagi sebagian orang di Indonesia.

Lalu sebenarnya apa itu food waste? Menurut WRAP UK, food waste merujuk pada makanan yang selayaknya bisa dikonsumsi namun terbuang karena alasan tertentu. Food waste terbagi menjadi tiga kategori.

Pertama, avoidable food waste, yakni makanan yang seharusnya bisa dihindari agar tidak terbuang, contohnya makanan yang tidak kita habiskan karena kekenyangan, stok berlebih dari usaha makanan, makanan yang basi karena lalai penyimpanan dan sebagainya.

Kedua, probably avoidable food waste, yaitu makanan yang bagi sebagian orang dibuang dan sebagian orang lain tidak, contohnya kulit kentang, kulit apel, pinggiran roti, jeroan dan sebagainya.

Ketiga, unavoidable food waste, yakni bagian dari makanan yang tidak bisa dikonsumsi lagi, contoh : tulang, biji, kulit nanas, kulit durian dan sebagainya.

Kesadaran tentang sampah makanan atau food waste ini harus ditingkatkan dan diperluas lagi ke lebih banyak orang.

Hal ini karena sampah makanan berdampak besar bagi lingkungan, jika sampah makanan hanya berakhir di TPA (tempat pembuangan akhir) dan tidak dikelola dengan baik seperti tidak adanya pemilahan antara sampah organik dan anorganik, maka sampah makanan tersebut akan menghasilkan gas metana (CH4) saat proses pembusukannya.

Gas CH4 sendiri termasuk ke dalam gas rumah kaca yang dapat memperparah perubahan iklim dan menyebabkan pemanasan global karena 21 kali lebih kuat untuk membuat bumi semakin hangat dibandingkan gas karbon dioksida (CO2).

Lebih parahnya lagi, permasalahan sampah makanan inilah yang menjadi penyebab dari tragedi longsor sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi tahun 2005 silam.

Longsor dipicu dari ledakan yang terjadi akibat akumulasi gas CH4 pada gunungan sampah, karena gas metana memiliki sifat mudah terbakar.

Fakta inilah yang melatarbelakangi didirikannya Komunitas Surplus.

Bersama Komunitas Surplus, ayo cegah sampah makanan, hargai pangan, dan selamatkan lingkungan! Foto: Komunitas Surplus
Bersama Komunitas Surplus, ayo cegah sampah makanan, hargai pangan, dan selamatkan lingkungan! Foto: Komunitas Surplus