TROPIS.CO, JAKARTA – Melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 45/2020, Pemerintah menarik kembali Permendag Nomor 15/2020 yang menghapus keberadaan Dokumen V Legal yang dituangkan dalam Permendag Nomor 84/2016.
Tak hanya kalangan buyer di luar negeri merespon positif pembatalan kebijakan yang bertujuan mempermudah ekspor produk industri kehutanan itu, kalangan industri perkayuan domestik pun lega lantaran terhindar dari tudingan mengekspor produk kayu ilegal.
Dibatalkannya Permendag Nomor 15/2020 yang sejatinya mulai diberlakukan Juni besok, mengindikasikan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto seperti kurang memahami latar belakang adanya Dokumen V Legal dalam Permendag Nomor 84/2016.
Keputusan pembatalan yang dituangkan didalam Permendag Nomor 45/2020, 6 Mei kemarin, adalah bukti nyata cermin kementerian yang mengejar pencitraan melalui kemudahan aturan.
Padahal pemberlakuan Dokumen V Legal untuk memastikan bahwa produk kayu tujuan ekspor memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Artinya sangat positif dan bukan suatu kebijakan yang memberatkan kalangan indistri perkayuan nasional.
Memutus mata rantai birokrasi ini memang harus dan semua sepakat dunia usaha membutuhkan berbagai kemudahan dalam berbagai aktivitas usahanya.
Tapi ingat, tidak semua kebijakan kemudahan itu selalu menguntungkan bagi dunia usaha, terlebih lagi bagi kepentingan nasional.
Ada kemudahan yang memang layak dimudahkan karena birokrasi yang ruwet, berbelit belit, dan perlu waktu lama mengurusnya hingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi, nah ini layak dihapus.
Persoalannya bukan hanya bakal melemahan daya kompetisi, tapi membuka peluang adanya tindakan korup dan suap.
Namun ada yang sengaja diperketat, lantaran tuntutan keselamatan lingkungan, keberlanjutan sumber bahan baku, dan karena permintaan pasar.
Larangan terbatas atau Lartas terhadap ekspor produk industri kehutanan adalah salah satu contoh yang memang membutuhkan pengawasan ketat dan ini sudah menjadi kesepakatan semua stakeholders.
Karenanya tak usah heran, saat kebijakan penghapusan Dokumen V Legal diberlakukan melalui Permendag Nomor 15/2020, Agus Suparmanto diserang dari semua lini.
Bukan hanya masyarakat lingkungan, tapi juga dari kalangan dunia usaha sendiri.
Alasan sudah sangat jelas karena kebijakan Agus itu bukanlah suatu keputusan yang menguntungkan.
Justru sebaliknya, menghancurkan industri perkayuan nasional yang mulai merangkak pulih.
Penghapusan Dokumen V Legal, yang intinya mewajibkan semua produk industri kehutanan yang memasuki pasaran ekspor serta harus melalui proses verifikasi legalitas kayu oleh lembaga verifikasi berbadan hukum, hanya akan membangkitkan kembali beredarnya kayu ilegal dari suatu praktek illegal logging.
Hal itu jelas akan mematikan industri perkayuan nasional, lantaran tak mampu bersaing dengan produk kayu ilegal.
Sejumlah pasar tradisionil produk kayu Indonesia seperti Uni Eropa, Amerika, Jepang dan juga Australia, bahkan negara buyer di kawasan Timur Tengah dipastikan bakal memboikot produk kayu lapis Indonesia.
Di sinilah, seperti kurang jelinya Agus Suparmanto. Sungguh ironis memang, padahal Agus terlahir sebagai sosok pengusaha yang sudah malang melintang.
Ladang bisnisnya luas sampai galangan kapal eks PT Timah di Belitung Timur pun dikuasainya.
Agus sejatinya lebih memahami latar belakang hingga adanya kesepakatan yang dituangkan di dalam Dokumen V Legal.
Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah suatu kewajiban yang tak terpisahkan dengan Dokumen V Legal.
Kebijakan SVLK dalam kegiatan ekspor produk industri hutan, khususnya produk kayu, adalah kesepakatan dunia usaha, pemerintah, dan negara pembeli.
Melalui kebijakan SVLK inilah, industri perkayuan nasional mendapat berbagai kemudahan dari fasilitas Uni Eropa Forest Law Enforcement, Governance and Trade, atau UE FLEGT. Hingga produk perkayuan Indonesia bisa bebas bergentayangan di pasar global, khususnya Uni Eropa.
Namun diyakini tidak lagi, bila Permendag Nomor 15/2020 ini jadi diberlakukan Juni mendatang.
Justru sebaliknya, mereka akan tutup semua pintu ekspor kayu asal Indonesia.
Mereka pasti menilai Indonesia tidak komitmen terhadap kesepakatan yang sudah ditandatangani.
Akibatnya, berbagai pertanyaan dengan kesan meragukan Indonesia sudah mereka lontarkan kepada Asosiasi Panel Kayu Lapis Indonesia (Apkindo).
Kalau tidak dipercaya, tanya langsung kepada Bambang Soepiyanto, Ketua Umum Apkindo.
Bambang melontarkan rasa kecewanya yang sangat mendalam. “Ya..mereka sudah menyampaikan sejumlah pertanyaan atas kebijakan pemerintah RI terhadap ekspor produk industri kehutanan kita,” kata Bambang Soepiyanto.
Dia menilai, kalangan buyer di luar negeri, terutama dari Amerika, Uni Eropa, Jepang, bahkan juga Australia, mulai meragukan komitmen kita dalam menerapkan Voluntary Pathership Agreement (VPA).
VPA merupakan perjanjian kemitraan sukarela dalam perdagangan kayu bilateral antara Uni Eropa dengan negara pengekspor kayu di luar Uni Eropa.
Ini merupakan elemen kunci dari rencana aksi Uni Eropa Forest Law Enforcement, Governance and Trade,atau UE FLEGT.
Indonesia merupakan negara pertama yang mendapat fasilitas UE FLEGT, yakni sejak April 2016.
Dengan berlisensi FLEGT, maka secara otomotis produk industri kayu asal Indonesia memenuhi persyaratan untuk bebas masuk pasar Uni Eropa tanpa harus diverifikasi atau dikenakan cek.
Karena itu, dalam surat tersebut, Bambang Soepiyanto mengharapkan adanya penjelasan lebih lanjut yang lebih konfrehenshif atas penghapusan Dokumen V Legal sebagai larangan terbatas.
Sebab, ujar Bambang, Dokumen V Legal tidak bisa dipisahkan dari implememtasi SVLK secara keseluruhan.
Ketum Apkindo ini mengatakan, kalangan pembeli di Eropa, Australi, Amerika dan Jepang, menanyakan kebijakan ini, sebab secara tidak langsung Permendag Nomor 15/2020 ini mengabaikan pemberlakuan SVLK yang sudah diterapkan sesuai Permendag Nomor 84 Tahun 2016.
Bahkan, ungkap Bambang, ada beberapa pihak telah menafsirkan bahwa dengan kebijakan itu, Indoensia telah memberikan peluang untuk melakukan illegal logging.
“Terhadap kekeliruan penafsiran ini, kami berusaha menyakinkan pembeli bahwa Indonesia tetap berkomitmen untuk konsekuen dan konsisten dalam menerapkan SVLK sebagai system yang bersifat mandatori,” tutur mantan Dirjen Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Bambang mengakui bahwa pihaknya memang telah bersurat kepada Menko Perekonomian, mempertanyakan kebijakan ini.
Dalam surat tertanggal 22 April lalu yang tembusan disampaikan ke Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, dan juga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan tegas Bambang menyebutkan bahwa Apkindo tidak akan mengikuti kebijakan ini.
“Kita akan tetap memperlakukan Dokumen V Legal dan mewajibakan semua produk industri kayu yang mau diekspor dilakukan verifikasi oleh lembaga verifikasi yang berbadan hukum dan telah mendapat persetujuan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tegas Bambang.
Dalam surat tersebut, Bambang Soepiyanto mengharapkan adanya penjelasan lebih lanjut yang lebih komprehensif atas penghapusan Dokumen V Legal sebagai larangan terbatas.
Pasalnya, Dokumen V Legal tidak bisa dipisahkan dari implememtasi SVLK secara keseluruhan.
Dia mengatakan, kalangan pembeli di Eropa, Australia, Amerika, dan Jepang menanyakan kebijakan ini, sebab secara tidak langsung Permendag Nomor 15/2020 ini mengabaikan pemberlakuan SVLK yang sudah diterapkan sesuai Permendag Nomor 84 Tahun 2016.
Walau Apkindo mendukung setiap keputusan yang memberikan kemudahan ekspor dengan memperlakukan sistem larangan terbatas, termasuk diabaikan penerapan Dokumen V Legal, namun dalam pelaksanaan kegiatan ekspor produk industri perkayuan, Apkindo tetap akan menggunakan Dokumen V Legal, sebagai salah satu persyaratan karena sudah memberikan manfaat besar terhadap kelestarian hutan Indonesia.
Selain itu, mendukung program pemerintah mempromosikan menggunakan produk kayu legal kepada masyarakat dunia.
Pemerintah, 6 Mei kemarin, melalui Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 45/2020, telah mencabut Permendag Nomor 15/2020 yang belum sempat diberlakukan, lantaran mendapat banyak protes.
Tidak hanya dari kalangan pencinta lingkungan juga dari dunia usaha kehutanan.
Sebab kebijakan yang sejatinya mulai diberlakukan Juli besok, seakan membuka peluang “gentayangan” produk industri perkayuan yang bersumber dari kayu ilegal.
Dalam pasal 1 pada Surat Keputusan yang ditanda-tangani Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, ditulis; pada saat Peraturan Menteri mulai berlaku, Peraturan Menteri Perdagangan No 15/2020 tentang ketentuan ekspor produk industry kehutanan, ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
Dan Peraturan Menteri Nomor 45/2020, menurut pasal 2 Permen tersebut, mulai berlaku pada tangal diundangkan.
Sebelumnya, melalui kebijakan No 15/2020 Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, telah menghapus Dokumen V Legal yang dituangkan dalam Pasal 1 ayat 3, Permendag Nomor 84/2016, – yang merupakan, dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu tujuan ekspor memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Adapun Verifikasi kayunya dilakukan Lembaga Verifikasi sertifikasi kayu yang berbadan hukum ditetapkan menteri lingkungan hidup dan kehutanan sebagai penerbit dokumen V – Legal. Verifikasi dan penelusuran teknis dilakukan surveyor yang mendapat otorisasi melakukan verifikasi atau penelusuran teknis.
Lalu kemudian berbagai ketentuan ini diubah, hingga kemudian bunyi Pasal 1-nya, khusus ayat 4, bahwa Verifikasi atau Penelusuran Teknis adalah penelitian dan pemeriksaan Produk Industri Kehutanan yang dilakukan oleh surveyor.
Sementara ayat 5-nya menyebutkan, surveyor adalah perusahaan survei yang mendapat otorisasi untuk melakukan Verifikasi atau Penelusuran Teknis.
Dengan demikian, merujuk Permendag No 15/2020 ini, yang berkaitan dengan Dokumen V Legalitas dan keberadaan lembaga verifikasi kayu dan SVLK dihapus.
Kebijakan ini diberlakukan setelah tiga bulan, terhitung sejak diundangkan, 18 Februari 2020.
Kemarin, tanggal 6 Mei, melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 45/2020, pemerintah menarik Permendag Nomor 15/2020.
Ketentuan Dokumen V Legal, bahwa produk kayu hasil industry yang mau memasuki pasaran ekspor wajib mengikuti SVLK dan harus diverikasi oleh lembaga verifikasi berbadan hukum.
Dengan penarikan kembali kebijakan ekspor produk industri kehutanan ini, mencerminkan ketidakkonsisten Mendag Agus Suparmanto dan mengindikasikan bahwa dia kurang menguasai latar belakang pentingnya Dokumen V Legal dalam setiap ekspor produk industri kehutanan.
Lantas bagaimana Bambang Soepiyanto merespon pembatalan Permendag No 15/2020 yang belum sempat berlaku ini.
“Kita merasa lega bahwa ada kebijakan yang perlu dikoreksi dan kemudian dikoreksi lalu dibatalkan, dengan demikian kita kembali pada Permendag Nomor 84/2016,” ujarnya. (Usmandie A Andeska)