Refleksi 10 Tahun Upaya Pemerintah Dalam Perbaikan Tata Kelola Hutan

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) diwajibkan bagi seluruh pelaku usaha di bidang kehutanan dan industri kayu di Indonesia dimaksudkan untuk memotret kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Foto : Riau Hijau
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) diwajibkan bagi seluruh pelaku usaha di bidang kehutanan dan industri kayu di Indonesia dimaksudkan untuk memotret kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Foto : Riau Hijau

TROPIS.CO, JAKARTA – Sepuluh tahun lalu, Indonesia secara resmi meluncurkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai suatu sistem untuk mendukung upaya pemberantasan pembalakan liar, serta meningkatkan perdagangan kayu legal, sehingga mendukung upaya pelestarian hutan Indonesia.

SVLK yang diwajibkan bagi seluruh pelaku usaha di bidang kehutanan dan industri kayu di Indonesia dimaksudkan untuk memotret kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku.

Di dalam kerangka perjanjian FLEGT VPA dengan Uni Eropa, SVLK diterima sebagai instrumen untuk memverifikasi legalitas produk kayu Indonesia yang diekpor ke wilayah Uni Eropa.

Sejak 16 November 2016, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan Lisensi FLEGT di dalam kerangka Perjanjian FLEGT VPA dengan Uni Eropa.

Menurut Dr. Agus Justianto, Kepala Badan Litbang KLHK, penerapan SVLK sepuluh tahun lalu menjadi momentum penting bagi hutan Indonesia dan produk kayu Indonesia untuk menjawab keraguan atas legalitas kayu dari Indonesia.

Menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan Lisensi FLEGT di dalam kerangka FLEGT VPA dengan Uni Eropa memposisikan Indonesia menjadi pionir perdagangan kayu legal dan lestari. Lebih dari itu, SVLK mendapatkan pengakuan lebih berkenaan dengan pelibatan unsur para pihak di dalam pengembangan dan implementasiny.

“SVLK tidak dimaksudkan untuk menjadi hambatan bagi para pelaku usaha untuk melakukan ekspor, tetapi menjadi alat bantu untuk menunjukkan bahwa produk kayu Indonesia berasal dari sumber yang legal dan lestari,” ujar Agus di Jakarta belum lama ini.

Sejak SVLK diberlakukan secara wajib sejak 1 Januari 2013 hingga 15 November 2019, Indonesia telah menerbitkan lebih dari 1.15 juta Dokumen V-Legal sebagai bukti legalitas bagi produk kayu yang diekspor dari Indonesia ke pasar dunia senilai lebih dari US$64,9 miliar.

Jumlah ini termasuk kurang lebih 117 ribu Lisensi FLEGT yang diterbitkan untuk ekspor ke pasar Uni Eropa sejak 15 November 2016 dengan nilai lebih dari US$3,5 miliar.

Data menunjukkan bahwa ekspor produk kayu yang bersertifikat legal meningkat secara sejak tahun 2013.

Sebagai contoh, total ekspor produk kayu bersertifikat legal ke pasar dunia pada tahun 2018 untuk Sembilan kelompok produk kayu, meliputi pulp, kertas, panel, vinir, woodworking, chipwood, furnitur, kerajinan dan bangunan ‘pre-fabricated’, mencapai lebih dari US$12,13 miliar.

Angka ini lebih dari dua kali lipat ekspor produk kayu bersertifikat legal ke pasar dunia pada tahun 2013 sebesar US$6,05 miliar.

Khusus untuk produk furnitur kayu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekspor produk furnitur kayu untuk Sembilan kelompok pos tarif (Kode HS) yang masuk di dalam kelompok wajib disertai Dokumen V-Legal sesuai Permendag Nomor 84 Tahun 2016 dan perubahannya, juga menunjukkan trend yang meningkat sebesar rata-rata  3 persen  per tahun antara 2013 dan 2018.

Hal ini mengindikasikan bahwa SVLK bukan sebuah halangan bagi ekspor furnitur kayu Indonesia.

“Ketika Uni Eropa dan Indonesia bersama – sama memulai perjalanan ini di tahun 2007, kami menetapkan tujuan yang ambisius untuk mengatasi pembalakan liar, meningkatkan tata kelola hutan dan mempromosikan perdagangan kayu legal”, ujar Vincent Piket, Duta
Besar Uni Eropa untuk Indonesia and Brunei Darussalam.

“Dari perjalanan tersebut, kita bias melihat beberapa capaian yang ada. Indonesia telah memiliki sistem verifikasi legalitas kayu yang selama tiga tahun ini telah mengeluarkan lisensi FLEGT.”

“Uni Eropa dan negara – negara anggota menyediakan akses yang mudah bagi kayu berlisensi FLEGT dari Indonesia, selain itu UE juga menerapkan peraturan yang efektif untuk menghentikan peredaran kayu illegal masuk ke UE.”

“Selama satu dekade, kerja sama antara UE dan Indonesia menjadi semakin penting terutama ditengah ancaman perubahan iklim yang terus meningkat.”

“Itu sebabnya kita harus terus memperbaiki standar yang telah dibangun, bagaimana membuatnya bias terhubung dengan aspek kelestarian. Selain itu, bagaimana Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dapat berpartisipasi dalam perdagangan kayu legal dengan biaya minimum dan tidak terbebani, juga menjadi fokus kami.”

“Uni Eropa sangat menantikan untuk melanjutkan perjalanan ini bersama Indonesia, berkerja bersama untuk dunia dan perubahan iklim”
pungkas Piket. (*)