Polemik Ketimpangan Penguasaan Lahan dan Tuntutan Keadilan

Demo menuntut keadilan soal penguasaan lahan.
Demo menuntut keadilan soal penguasaan lahan.

TROPIS.CO, JAKARTA  – Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan bantahan Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo A Chaves atas pernyataan berbagai pihak yang mengungkapkan bahwa terdapat 0,2 persen penduduk di negeri ini menguasai 74 persen luas lahan di seluruh wilayah tanah air.

Rodrigo menyebut data itu tidak benar dan bukan dari studi Bank Dunia (detik.com 27/3/18). Setelah menelaah sanggahan Bank Dunia tersebut, berikut ini dikemukakan beberapa referensi.

Pertama, pada 2010, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto, mempublikasikan data bahwa terdapat 0,2 persen jumlah penduduk menguasai 56 persen aset nasional, dan 87 persen dari aset tersebut berupa tanah.

Angka ini patut dipercaya karena dikeluarkan oleh seorang yang memang memiliki kompetensi dan kewenangan di bidang pertanahan. BPN secara kelembagaan
memiliki tugas pokok dan fungsi mengurus pendataan pertanahan di luar kawasan hutan, data yang dikemukakan tentu patut dipercaya.

Publikasi Kepada BPN tersebut telah diliput oleh banyak media baik cetak maupun ekektronik, misalnya di http://repository.unpad.ac.id/ 23002/ yang menuliskan: “Only 0.2 percent of the total population control 57 percent national assest with the 87 percent concentration within land forms (2015).”

“Jika rentang penguasaan aset pertanahan 56 persen hingga 87 persent berada di tangan sekelompok kecil penduduk maka terlihatlah distribusi penguasaan lahan yang mungkin paling ekstrim di dunia.

Kedua, Ketua KPK Agus Rahardjo, ketika bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Jaksa Agung Prasetyo di Kementerian Keuangan pada 14 Maret 2018 lalu menyatakan, bahwa saat ini terdapat 35 juta hektar tanah yang dikuasai oleh beberapa korporasi besar namun hanya memberi manfaat yang amat kecil kepada negara yakni sekitar Rp 3 triliun setahun (Kompas, 15/3).

Tanah seluas 35 juta ha itu sama dengan 530 kali luas Jakarta – luas Jakarta hanya sekitar 66 ribu hektare.

Dua hari kemudian di harian yang sama juga ditunjukkan data bahwa terdapat 14 juta hektare tanah yang telah diperuntukkan sebagai lahan sawit. Kawasan perkebunan sawit itu didominasi oleh hanya beberapa perusahaan besar yang akhir-akhir ini mendapat sorotan publik karena telah mendapatkan subsidi sebesar Rp7,5 triliun dari Januari-September 2017 (CNN Indonesia, 18/1/18).

Semua data dan publikasi ini memperkuat bukti adanya dominasi penguasaan lahan di tangan segelintir orang yang telah dirujuk oleh banyak pihak, termasuk Amin Rais.

Ke tiga, publikasi Bank Dunia “Indonesia’s Rising Divide (Indonesia Terancam Pecah),” menunjukkan data yang sedikit lebih baik dari Publikasi BPN. Data Bank Dunia (2016) menunjukkan satu persen penduduk menguasai 50,3 persen kekayaan negara. Ini berarti 99 persen dari jumlah penduduk seluruhnya harus memperebutkan 49,7 persen sisa kekayaan lainnya.

Pada sampul publikasi Bank Dunia ini menunjukkan dua wajah anak kembar, satu
dengan wajah ceriah dan tersenyum dan satu lagi dengan wajah sedih dan muram dengan linangan air mata. Di antara dua wajah itu terdapat merah putih yang warna merah dan putihnya sudah terpisah.

Isi buku ini diperlihatkan beragam data yang kontras, misalnya di Jakarta hanya 6 persen anak yang tidak mendapatkan fasilitas sanitasi yang layak, sedangkan di Papua mencapai 98 persen.

Di berbagai publikasi Bank Dunia lainnya banyak merujuk pula data yang telah dikemukakan oleh Joyo Winoto sebagai Kepala BPN, misalnya di buku “Innovations in Land Rights Recognition, Administration, and Governance (2010)” sehingga memberi kesan bahwa ketimpangan distribusi penguasaan lahan yang amat ekstrim itu adalah data studi Bank Dunia.

Mirip dengan publikasi Bank Dunia, Global Wealth Report (2016) menunjukkan bahwa
Indonesia berada pada urutan ke empat terburuk tingkat kesenjangan sosial ekonominya di dunia yang berada setelah Rusia, India, dan Thailand dengan satu persen jumlah penduduknya menguasai 49,3 persen kekayaan negara. Datanya mirip dengan data Bank Dunia.

Laporan lain lagi, Oxfam memperlihatkan bahwa dalam 20 tahun terakhir, jurang antara orang kaya dan miskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Oxfam menunjukkan bahwa harta dari 4 orang terkaya Indonesia setara dengan gabungan dari harta 100 juta orang miskin di Indonesia.

Lebih jauh lagi, jumlah uang per tahun yang dihasilkan salah seorang terkaya di Indonesia cukup untuk membantu menghapus kemiskinan di negeri ini (detikfinance.com, 23/2/17).

Kesenjangan yang amat ekstrim tersebut sesungguhnya adalah produk dari ketimpangan distribusi penguasaan lahan yang amat ekstrim yang memperkuat akurasi data BPN yang telah dirisaukan oleh Amin Rais dan banyak pihak yang mencintai negeri ini.

Ke empat, Ms Raquel Rolnik, Pelapor Khusus PBB tentang Pemukiman dalam misinya ke Indonesia, 31 Mei-11 Juni 2013 melaporkan berbagai ketimpangan pembangunan perumahan dan distribusi lahan.

Dalam laporannya, Raquel mencontohkan bahwa di kawasan Jabodetabek terdapat sekitar 30 Pengembang Besar untuk pemukiman dan kawasan bisnis yang menguasai lebih 30 ribu hektar lahan (45 persen dari luas Jakarta), ternyata hanya menampung sekitar 7 persen penduduk Jakarta yang berjumlah 10 juta.

Untuk menghindari konflik sosial akibat ketimpangan itu, Pelapor Khusus PBB ini kembali menekankan pentingnya memberlakukan formula 1:2:3, artinya setiap pembangunan perumahan jika terdapat 1 unit rumah mewah, maka harus disiapkan 2 rumah bagi kelas menengah, dan 3 unit untuk warga miskin (Report of the Special Rapporteur on adequate housing in Indonesia, hal. 16).

Dengan formula tersebut, jika redistribusi lahan harus dilakukan maka untuk setiap satu ha lahan yang dikuasai oleh kelas atas, berikan dua ha bagi kelas menengah, dan tiga ha bagi kelas bawah.

Ke lima, pada 2014, Komnas HAM telah menerima pengaduan sebanyak 7130 kasus baik yang disampaikan secara individu atau kelompok dari seluruh Indonesia.

Dari seluruh kasus itu, sebanyak 41 persen pengadu menuntut untuk mendapatkan hak atas keadilan, dan 41 persen lainnya juga menuntut untuk mendapatkan hak atas kesejahteraan.

Jika seluruh pengaduan merepresentasikan persoalan bangsa dan negara saat ini, terlihat bahwa 82 persen persoalan negeri ini berpusat pada hilangnya rasa keadilan untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak.

Jika warga miskin berperkara dengan pemilik modal dalam memperjuangkan haknya, terlihat mereka selalu berada pada posisi lemah dan kalah. Hukum dan politik di negeri ini kelihatannya tunduk pada hukum Darwin, “survival of the fittest” yang kuatlah yang menang dan yang lemah kelak akan punah.

Karenanya tidak mengherankan jika konflik agraria di negeri ini terus meningkat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, mencatat setidaknya terjadi 659 konflik agraria di berbagai wilayah pada 2017 yang meliputi sekitar 520 ribu hektar.

Konflik ini melibatkan setidaknya sekitar 653 ribu keluarga. Dibandingkan 2016, konflik pada 2017 mengalami kenaikan sekitar 50%. Dengan kata lain, rata-rata konflik agraria terjadi dua kali dalam sehari (koransulindo.com, 12/1/18).

Diperkirakan konflik akan terus meningkat tajam jika tidak terdapat redistribusi lahan
yang memihak pada kepentingan warga miskin.Semua potret suram ini berpangkal pada distribusi penguasaan lahan yang amat timpang.

Ke enam, ketika bersama Presiden Jokowi di Istana Negara, 9 Nov 2016, saya menyampaikan data ketimpangan sosial dan ketimpangan distribusi tanah tersebut.

Presiden menanggapinya dengan menyampaikan komitmennya untuk membenahi ketimpangan itu dan akan belajar atas pengalaman Mahatir yang dinilai telah berhasil mengangkat taraf kesejahteraan warga Bumiputera yang miskin.

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga diberbagai kesempatan menyampaikan tekadnya agar 99 persen jumlah penduduk mendapat kue yang lebih besar lewat usaha dan inovasi (Merdeka.com, 13/1/16). Wapres mengkhawatirkan karena kesenjangan sosial di Indonesia berbeda dari negara lain.

“Di Thailand yang kaya dan miskin sama agamanya. Di Filipina juga begitu, baik yang kaya maupun miskin memiliki agama yang sama. Sementara di Indonesia yang kaya dan miskin berbeda agama. ” Wapres menjelaskan di Indonesia sebagian besar orang yang kaya adalah warga keturunan yang beragama Khonghuchu maupun Kristen.

Sedangkan orang yang miskin sebagian besar Islam dan ada juga yang kristen. “Ini sangat berbahaya. Karena itu kita harus berusaha bersama untuk mengatasi hal ini,” (Republika, 26/2/17). Dampak dari keretakan pembangunan sosial ekonomi sosial tersebut (seperti ilustrasi Bank Dunia), dua kelompok warga tersebut merasa tidak aman. Warga mayoritas khawatir jika mereka akan terus menerus terbelenggu dalam alam kemalaratan dan kemiskinannya.

Di sisi lain, kelompok kelas atas juga merasa khawatir jika terjadi dinamika sosial dan perubahan yang memaksanya diperlakukan sama dengan warga mayoritas. Akibatnya, mereka memilih alternatif yang lebih aman dengan menyembunyikan kekayaannya di luar negeri. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan saat ini terdapat sekitar 80 persen asset mereka disembunyikan di Singapura (the Straight Times, 21/9/16).

Akhirnya, apa yang dilakukan Presiden Jokowi untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan yang amat ekstrim patut diapresiasi. Semoga janji Presiden dalam agenda Nawacitanya, reforma agraria dapat dilakukan dengan mengambil kembali lahan-lahan yang puluhan juta hektar di tangan segelintir orang untuk dibagikan kembali ke masyarakat miskin sesuai dengan sila

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Indonesia kelihatannya dapat memetik
pengalaman berharga dari Zimbabwe, dan Afrika Selatan pasca jatuhnya rezim apartheid dalam melakukan reforma agraria yang berkeadilan sosial. Yang amat penting pula dipetik dalam mewujudkan keadilan sosial itu adalah penjelasan Wakil

Wakil Presiden Drs Mohammad Hatta tentang soal tanah yang disampaikan di muka sidang BPKNP di Yogyakarta, 12 September 1948, karena merujuk pada UUD 1945: Berdasarkan kepada semangat Undang-Undang Dasar kita, boleh ditetapkan bahwa tiap tiap orang boleh mempunjai tanah sebanjak jang dapat dikerdjakannja sendiri dengan keluarganja dengan memperhatikan dasar tolong-menolong jang dilakukan didesa desa.”

“Milik tanah besar harus dihapuskan. Harus dipeladjari dengan teliti berapa besarnja
maximum milik tanah jang dibolehkan. Sebaliknja harus pula diusahakan supaja tanah jang dimiliki itu tjukup hasilnja untuk mendjamin hidup jang bertjahaja bagi pak tani, tjukup untuk dimakannja sekelurga serta dengan lebihnja untuk pembeli pakaian serta keperluan lainnja, membajar padjak, iuran perkumpulan serta ongkos sekolah anaknja.

Milik tanah jang terlalu ketjil mengembangkan pauperisme, kemelaratan hidup, dan harus dikoreksi dengan djalan transmigrasi.”

“Pemindahan hak milik tanah ketangan orang lain hanja boleh dengan seizin pemerintah desa (lurah dengan badan perwakilan desa). Milik tanah berarti dalam Republik Indonesia menerima suatu kewadjiban terhadap produksi dengan pedoman: menghasilkan sebanjak banjaknja untuk memperbesar kema’muran ra’jat.”

“Tanah milik jang terlantar, tidak dikerdjakan, berarti suatu keteledoran terhadap
masjarakat dan hak miliknja itu harus diambil oleh negara. Utjapan inilah jang teringat kepada kami, tatkala membentuk kabinet jang sekarang ini dan akan kami djadikan pedoman untuk menindjau soal tanah.”

Semoga pandangan Bung Hatta 70 Tahun lalu, dapat menuntun kita mewujudkan reforma agraria yang sesuai dengan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Hafid Abbas
Ketua Komnas HAM RI Ke-8