Asosiasi KPH Siap Usulkan Revisi PP23/2021 

Madani Mukarom, Siap dan sepakat mengusulkan Revisi PP 23/2021

TROPIS.CO, JAKARTA – Ketua Asosiasi KPH Seluruh Indonesia Madani Mukarom sangat sepakat dengan pemikiran Prof Subarudi, Peneliti Utama Pada Kelompok Riset Penduduk dan Manajemen SDA, Pusat Riset Kependudukan, BRIN, terkait perlunya  revitalisasi Topoksi KPH Untuk Pengelolaan Hutan Lestari di Tingkat Tapak.

“Siap. Sepakat, kita harus usul revisi PP 23/2021,”jawabnya merespon Tropis, Kamis (14/12).

Keberadaan KPH yang diawalnya, menurut dia, sebagai lembaga pengelola hutan di tingkat tapak  diharapkan menjadi lembaga yang mandiri dengan fungsi dan peran yang unik karena menyelenggarakan tiga fungsi sekaligus. Dan ini menyelenggarakan fungsi birokrasi, fungsi bisnis, serta menyelenggarakan fungsi sosial untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan,tidak sebatas  fasilisator seperti yang dicerminkan PP No 23 Tahun 2021,sebagai turunan dari UUCK.

“Sejumlah langkah kini tengah dipersiapkan dalam merealisasikan revisi PP 23/2021 itu,”lanjut Madani Makarom.  “ Kita sepakat  sebagai institusi kehutanan di tingkat tapak, KPH harus memiliki pondasi yang  kuat agar mampu mengelola kawasan hutan berbasiskan usaha dan kelestarian kawasan,”tambah Madani.

Madani Makarom yang juga sebagai kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB,  menegaskan bahwa  dalam  aspek kepemimpinan KPH  perlu didorong adanya inisiatif   untuk membuka komunikasi dengan masyarakat sekitar. Komunikasi  menjadi kunci keberhasilan  KPH, dalam membangun kepercayaan dan partisipasi masyarakat.

Komunikasi menjadi kunci keberhasilan pengelolaan KPH, dekati masyarakat, hadir di tengah masyarakat, temui setiap masyarakat. Itu kunci pengelolaan di tingkat tapak, bahkan juga jika terjadi konflik, KPH harus berani hadir menyelesaikan.  “Nah inilah  fungsi  sosial yang diperankan KPH, artinya tak cukup hanya  fungsi birokrasi,” tandas  Madani  Mukarom.

Begitu juga untuk memperkuat kewirausahaan di KPH, kunci yang harus dipahami adalah kreativitas, inovasi serta memperluas jaringan.  Sebenarnya,  jiwa dalam upaya memainkan peran itu sudah tumbuh di kalangan  pengelola KPH, setelah mereka diikutkan dalam  berbagai  forum  yang terkait dengan fungsi bisnis yang akan dijalankan KPH.  Namun kemudian redup tatkala hadirnya PP 23/2021 yang hanya menempatkan KPH sebagai fasilisator.

Pada saat ini telah ada 679 Unit Wilayah KPH (KPHK, KPHL, dan KPHP) yang membagi habis seluruh kawasan hutan di Indonesia. Kesemua unit KPH ini dikelola oleh 385 Lembaga, dengan rincian 147 Unit Wilayah KPHK yang ditangani oleh 64 lembaga KPHK sebagai Organisasi Pusat, dan 532 Unit Wilayah KPHL/KPHP yang ditangani oleh 321 Lembaga KPHL/KPHP sebagai Organisasi Daerah.

Sebelumnya Prof Subarudi  mengurai panjang  tupoksi KPH melalui tulisannya di Tropis.Co, terkait  revitalisasi Topoksi KPH Untuk Pengelolaan Hutan Lestari di Tingkat Tapak. Kata Prof  Subarudi, sejak keluarnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau dikenal sebagai Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ditetapkan menjadi Undang-Undang, telah membuat demotivasi terhadap pengelola dan mitra Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat tapak.

Dalam berbagai kesempatan seminar, lokakarya, workshop dan diskusi dalam webinar terkait dengan KPH, katanya, bahwa dirinya  selalu menyuarakan bahwa lembaga KPH itu menjadi ujung tombak atau indikator keberhasilan pengelolan hutan Lestari (PHL) di tingkat tapak, tanpa KPH hutan tidak akan lestari.

Namun kenyataannya, lanjut dia,  berbanding terbalik setelah keluarnya UUCK dan ditindaklanjuti dengan terbitnya aturan pelaksanaanya, yaitu Peraturan Pemerinah (PP) No. 23 Tahun 20021 (Penyelengaraan Kehutanan) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 8 Tahun 2021 (Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung Dan Hutan Produksi).

Keberadaan KPH yang diawalnya merupakan lembaga pengelola hutan di tingkat tapak dengan segala sumber daya yang dimilikinya dan dinamika pengelolannya diharapkan menjadi lembaga yang mandiri dan mampu berdiri di kaki sendiri dalam pelakasanaan operasionalnya.  Dan ini, sudah banyak program dan kegiatan yang diinisiasi oleh KPH sebagai upaya perwujudan kemandirian lembaganya.

“ Hampir semua kepala-kepala KPH sudah diberikan pelatihan teknis PHL dan membuat rencana bisnis (business plan) di areal wilayah kerjanya.  Mereka begitu antusias dan bersemangat untuk merumuskan rencana bisnis dan melaksanakan rencana tersebut sesuai kondisi dan situasi yang ada di lapangan,”kata Prof Subarudi.

Keberadaan KPH pasca terbitnya UU No. 11/2020 Jo. UU No. 6/2003 yang ditindaklanjuti dengan terbitnya PP No. 23 Tahun 2021 dan Permen LHK No. 8 Tahun 2022, menurutnya, telah merombak total atau meporakporandakan tatanan pengelolaan hutan di tingkat tapak. “Sebenarnya mandat UUCK tidak menyasar pada keberadaan KPH, tetapi menyasar kepada penghapusan izin lingkungan dan luas kecukupan hutan 30 % karena kedua aspek tersebut menghambat masuknya investasi nasional,”ungkapnya lagi.

Suatu yang perlu diketahui perubahan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) KPH,  sebenarnya didasarkan kepada isu liar berkaitan “Institusi negara tidak boleh berbisnis” yang tidak jelas institusi mana yang mengeluarkan isu tersebut. Sehingga isu itu  mampu menyasar ke berbagai lembaga pemerintah lainnya.

“Kalau memang isu tersebut benar, semestinya Perhutani dilarang melakukan bisnis dan demikian juga dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Juga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak diperkenankan melakukan usaha yang menghasilkan profit,”tandasnya lagi.

Kata Prof Subarudi,  KPH merupakan salah satu korban perubahan tupoksi karena isu liar yang ditangkap oleh para birokrat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).  Hingga kemudian, hal  ini berdampak kepada KPH menjadi seperti Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (Non- Government Organization-NGO) yang bersifat non-profit organization dengan tugas sebagai fasilitator.

Persoalan demotivasi para pengelola KPH, tutur Prof Subarudi,  sangat relevan untuk dibahas kembali, terkait dengan kebijakan pemerintah, dalam  hal ini Kementerian LHK, yang mengeluarkan kebijakan multi usaha kehutanan (MUK) kepada setiap pemegang izin atau persetujuan,  baik untuk areal konsesi hutan produksi, yakni Persetujuan Berusaha Pemanfaatan Hutan-PBPH,  maupun di berbagai fungsi hutan untuk persetujuan perhutanan sosial (PS) yang meliputi hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan adat (HA), hutan tanaman rakyat (HTR) dan kemitraan kehutanan (KK).

Salah satu prinsip pelaksanaan MUK adalah prinsip keadilan, semua pelaku usaha dan/atau pemegang persetujuan PS memiliki hak dan peluang yang sama untuk menggunakan Kawasan dan memanfaatkan hutan dan hasil hutan secara optimal sebagai upaya peningkatan nilai ekonomi hutan. Dalam hal ini pengelola KPH juga memiliki hak dan peluang yang sama untuk terlibat langsung di dalam pengelolaan hutan dengan program MUK sebagaimana dilakukan oleh para pemegang persetujuan HD, HKm, HTR, HA dan KK.