DI COP’26 Glasgow, Prosedur Pembahasan Isu Krusial disepakat lebih cepat, Peluang Baik bagi Indonesia

Laksmi Dhewanti; ada indikasi positif, 5 isu krusial yang disampaikan Delri, bisa dicapai optimal

Sejumlah negara peserta COP’26 Glasgow telah menyepakati  prosedur dan teks atau narasi pembahasan isu isu krusial. Laskmi Dhewanti,  Ketua Delri menyebut, kesepakatan ini lebih cepat ketimbang  COP- COP sebelumnya. Bagi Indonesia kesepakatan  ini peluang besar dalam mensukseskan 5 isu krusial  yang disampaikan pada Forum COP’26 Glasgow.

TROPIS.CO – Glasgow,  Kabar baik itu disampaikan Ketua Delegasi RI, Laksmi Dhewanti dari meja perundingan Glasgow Skotlandia.  Dikabarkannya,  negara peserta telah menyepakati prosedur dan teks atau narasi pembahasan isu isu krusial. Kesepakatan ini  bertanda sinyal positif, bahwa bakal dicapainya berbagai kesepakatan penting yang dapat melengkapi pedoman negosiasi.

Kesepakatan ini disebutkan cenderung lebih cepat. Sebab  biasanya  terkadang  dalam forum seperti ini, pembahasan isu prosedur belum tuntas dalam sepekan.  Sehingga tidak memberikan kejelasan,  bagaimana  pendekatan dan basis teksnya.

“Sungguh Ini suatu kemajuan dalam konteks negosiasi, hanya  dalam 2-3 hari pertama sudah ada kesepakatan,” imbuh Laksmi.

Dengan usai dibahasnya  isu procedural, maka sudah ada  teks dasar untuk dinegosiasikan. Tentu  ini sangat positif karena seluruh negara yang terlibat perundingan, segera dapat bernegosiasi dengan bahan yang sama. Sehingga akan membuat  negosiasi-negosiasi selanjutnya berjalan lebih efektif dan efisien.

Kondisi ini juga merupakan peluang besar bagi  para negosiator Indonesia yang sudah mempersiapkan  berbagai isu krusia yang harus diselesaikan  dalam COP’26 Glasgow ini.  Dan berbagai isu isu krusial itu sudah disampaikan  para negosiator Indonesia.

Isu krusial pertama,  terkait operasionalisasi dari artikel 6 Perjanjian Paris atau Paris Agreement.  Ini menyangkut instrument pasar dan nonpasar (market-nonmarket) atau carbon pricing pemenuhan Nationally Determined Contributions (NDC) untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2030.

Isu krusial berikutnya, terkait kerangka waktu pelaporan NDC atau Common Time Frame for NDC.  Harus ada kesepakatan dari semua negara peserta,  kapan waktu yang pas untuk bisa melaporkan capaian NDC-nya.  “Ada periode waktu yang perlu disepakati antar negara, yaitu 5 atau 10 tahun sekali,”kata  Dirjen Pengendalian  Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu.

Isu krusial ketiga,  mengenai metodologi bagaimana format pelaporan terkait implementasi aksi mitigasi, aksi adaptasi, dan dukungan finansial, peningkatan kapasitas, dan teknologi  atau Common Reporting Format, Common Reporting Tables. Karena ini telah menjadi komitmen negara-negara di dunia untuk penurunan emisi GRK  sesuai denga NDC yang disampaikan kepada Sekretariat UNF CCC.  Mereka bisa  melaporkan dengan metodologi yang standa,  sesuai kesepakatan bersama agar mudah disintesakan.

Keempat, berkaitan dengan  isu krusial  Global Goal on Adaptation atau kesepakatan untuk mendefinisikan tujuan global adaptasi. Sedang isu krusial kelima yang disampaikan para negosiator Indonesia, kata Laksmi Dhewanti, terkait finance atau pendanaan, bagaimana bisa memastikan rencana-rencana atau janji negara maju untuk membantu negara berkembang, dalam usaha pengendalian perubahan iklim.

“Selain, bagaimana kita merancang New Collective Quantified Goal (NCQG), agar pada 2030-2050 nanti,  bisa mengetahui lebih pasti,  berapa sebenarnya dana yang akan dimobilisasi negara maju kepada negara berkembang untuk aksi-aksi pengendalian perubahan iklim,”tutur Laksmi Dhewanti.

Adanya kepastian yang bisa dijadikan  target baru yang kuantitatif,  ini tentu akan mempermudah  bagi Indonesia dalam menyampaikan dana yang diperlukan.  “Kalau kita hanya menyebut perlu dana yang memadai dan cukup, akan sulit mengukurnya. Jadi perlu collective quantified goal,” lanjutnya.

Delegasi Indonesia memang memanfaatkan optimal Konperensi Tingkat Tinggi  Perubahan  Iklim  Glasgow agar target yang hendak diraih bisa tercapai optimal.  Karenanya,  selain memanfaatkan meja perundingan, berbagai isu krusial juga disampaikan melalui jalur non negosiasi.  Dan ini ditempu melalui pavilion Indonesian dengan harapan, bahwa kesepakatan yang dicapai  harus mereflesikan kepentingan berbagai negara-negara pihak, termasuk Indonesia sendiri.