Orangutan Jangan Dikorbankan Demi Pembangunan

Orangutan Tapanuli di kawasan Batang Toru tidak boleh terganggu habitatnya dengan keberadaan PLTA Batang Toru. Foto : worldpressphoto.org
Orangutan Tapanuli di kawasan Batang Toru tidak boleh terganggu habitatnya dengan keberadaan PLTA Batang Toru. Foto : worldpressphoto.org

TROPIS.CO, JAKARTA – Mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengingatkan perlindungan terhadap orangutan dan seluruh ekosistemnya tidak boleh dikorbankan atas nama pembangunan.

“Jadi ini memang tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).”

“Penggunaan energi terbarukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca harus didorong sementara konservasi ekosistem hutan dan habitat orangutan juga harus dijaga,” tutur Sony dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (28/10/2018).

Dia mengapresiasi langkah yang dilakukan KLHK untuk memitigasi dampak pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Batang Toru, Tapanuli Selatan, yang dinilai sudah sangat tepat.

Langkah tersebut memastikan proyek energi terbarukan tersebut bisa berjalan selaras dengan upaya perlindungan bentang alam Batang Toru dan konservasi orangutan.

Anggota Dewan Energi Nasional dari unsur lingkungan hidup itu menyatakan, KLHK telah melakukan sejumlah langkah tepat dalam mitigasi dampak pembangunan PLTA.

“Langkah KLHK sudah benar,” kata Menteri Lingkungan Hidup periode 1999-2001.

Langkah tersebut termasuk mengirim tim untuk melakukan pemantauan intensif terhadap orangutan dan habitatnya.

Selain itu KLHK juga sudah memerintahkan pengembang PLTA Batang Toru merevisi dokumen Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk mengakomodasi keberadaan orangutan di sekitar lokasi pembangunan PLTA.

“Instruksi-intruksi kongkret seperti kewajiban untuk menyiapkan jembatan arboreal dan perlindungan koridor orangutan juga sudah disampaikan kepada pengembang PLTA,” tutur Sonny.

Sonny menyatakan, pembangunan PLTA Batang Toru penting untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan yang rendah emisi gas rumah kaca (GRK).

Ini merupakan bagian dari perwujudkan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK seperti sudah dinyatakan Presiden Joko Widodo saat konferensi perubahan iklim di Paris, tahun 2015.

Sonny mengimbau semua pihak untuk berfikir lebih komprehensif.

Penolakan terhadap pembangunan PLTA tersebut berarti mendorong pemerintah menggunakan energi berbasis fosil seperti batubara dan minyak bumi untuk pembangkit listrik.

“Kalau semua pembangunan pembangkit energi terbarukan dihadang dengan isu lingkungan, tidak akan ada investor yang mau masuk.”

Maka komitmen kita untuk menurunkan emisi GRK akan terancam. Lalu kita akan terus menerus membakar batubara yang membuat dampak buruk perubahan iklim menjadi-jadi,” ujarnya.

Sonny menegaskan, pengembangan proyek pembangkit listrik bukanlah tanpa risiko.

Oleh sebab itu, harus dipilih proyek yang memiliki risiko lingkungan paling rendah dan dilakukan mitigasi terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan.

Dia juga mengingatkan, pengembangan energi terbarukan yang memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalam negeri akan mengurangi impor bahan bakar minyak yang berarti penghematan devisa.

”Keberadaan PLTA Batang Toru akan menggantikan pembangkit diesel terapung yang kita sewa dari Turki dengan biaya besar dan masih menggunakan minyak bumi.”

“Jika bisa memanfaatkan sumber daya di dalam negeri, tentu akan lebih baik dan lebih murah,” ungkap Sonny.

Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, guna memastikan kelestarian orangutan, sudah memerintahkan pengembang PLTA Batang Toru untuk menjaga koridor orangutan yang ada.

Dia juga sudah menginstruksikan agar pengembang PLTA memperkuat dokumen Amdal untuk mengakomodasi keberadaan orangutan di sekitar lokasi pengembangan.

Tim KLHK juga sudah lebih dari satu bulan memantau secara khusus pergerakan orangutan dan aktivitas pengembangan PLTA.

Hasilnya, orangutan masih eksis dan bisa hidup berdampingan dengan aktivitas manusia. (*)