Mengembangkan Politik Lada

H. Usmandie A Andeska inginkan keberpihakan Pemerintah Daerah Bangka Belitung terhadap petani lada dalam aksi nyata atasi penurunan harga lada di pasaran. Foto : Pras/tropis.co
H. Usmandie A Andeska inginkan keberpihakan Pemerintah Daerah Bangka Belitung terhadap petani lada dalam aksi nyata atasi penurunan harga lada di pasaran. Foto : Pras/tropis.co

TROPIS.CO – Belum lama ini Gubernur Bangka Belitung (Babel) Erzaldi Roesman Djohan berdialog dengan petani lada di Balai Benih di Pangkal Pinang.

Seperti dilansir Bangka Pos, Gubernur Erzaldi minta petani untuk terus menanam lada, walau harga kini lagi murah.

Menurutnya, menanam lada merupakan tradisi masyarakat Bangka Belitung.

Sangat menarik ungkapan kata Gubernur Erzaldi ini, dia minta petani terus menanam walau harga murah, karena menanam lada merupakan tradisi masyarakat Bangka Belitung.

Memaknai ungkapan kata tradisi, seolah-olah petani “harus” menanam lada.

Tradisi dapat diterjemahkan sesuatu yang tak bisa ditinggalkan, atau sesuatu yang menjadi kebiasaan.

Tradisi pun bisa dimaknai sama dengan “harus” atau bisa dikatakan wajib.

Gubernur tidak salah menggunakan kata tradisi. Memaknai lebih jauh dari keinginan gubernur itu, perlu dikembangkan program “politik lada” yang mampu memberikan jaminan keberlangsungan atau pelestarian tanaman lada di Bangka Belitung.

Menanam lada bagi sebagian kecil masyarakat pedesaan di Bangka Belitung telah dilakukan turun temurun, ini yang dimaksud Gubernur sebagai tradisi.

Tipe petani “tradisi” harga bukan menjadi rujukan. Mereka semata menganggap menanam lada “harus” sebab ini warisan atau amanah dari pendahulunya.

Petani “tradisi” tidak menghitung untung rugi. Saat harga murah, mereka tidak mengeluh.

Kala harga tinggi pun mereka tidak berpesta pora karena berapa pun yang mereka dapat, itulah hasil menanam.

Faktanya mereka tidak pernah merasa rugi. Mengapa ? Pertama, bagi mereka menanam lada “harus” sehingga dalam teknik budidaya dan hitungan ekonomis bertanam lada, sudah sangat mereka kuasai. Kearifan lokal di petani “tradisi” sangat menonjol.

Penerapan modernisasi teknik budi daya, hanya sebatas mereka ketahui, bukan hal yang harus mereka terapkan.

Misalnya, dalam membasmi hama, mereka tidak gunakan pestisida kimiawi yang harganya belasan bahkan puluhan ribu per liter.

Tapi tak sedikit dari mereka yang menggunakan ramuan dedaunan lokal.

Lantas, dalam hal pupuk, mereka tidak ngotot ikut ikutan menggunakan pupuk kimia atau nonorganik yang harganya mencapai Rp500 ribu per karung berat 50 kilogram atau bisa lebih tinggi dari itu karena mereka mesti berhutang pada tengkulak.

Alhasil, mereka gunakan pupuk ramuan sendiri bersumber dari bahan baku yang ada sekitarnya.

Hanya memang, produktivitas yang dihasilkan tidak bisa tinggi, sulit
mencapai 100 kg atau 200 kg seperti yang disebut gubernur.

Mereka tidak pernah larut dalam target capaian produktivitas per pohon atau per hektare.

Pasalnya, hal itu bukan target dalam budi daya lada yang mereka kembangkan.

Petani lada “tradisi” ini memang tidak akan lekang karena panas dan tidak rapuh karena hujan.

Harga murah tidak akan membuat mereka berhenti menanam, harga tinggi pun mereka tak berekspansi atau memperluas tanaman.

Sangat beda dengan petani lada pendatang baru. Pendekatannya skala ekonomi dengan takaran untung rugi.

Mungkin mereka kurang pas bila disebut sebagai petani, lebih tepat disebut pengusaha tani lada.

Mereka sudah memperhitungkan, menanam lada dengan luas sekian, target produksi sekian, lalu untung sekian.

Lantaran ada target untuk maka kebutuhan budi daya mereka gunakan semua sarana produksi (saprodi), serba kimia, serta menggunakan peralatan moderen.

Sebut saja, dalam penggunaan pupuk, mereka lebih memilih suara iklan.

Pupuk jenis ini mampu meningkatkan produktivitas lada sekian kilo per hektare.

Lantaran pendekatan target produktivitas, maka tingginya harga pupuk tidak dipermasalahkan.

Pada saat harga lada di atas Rp150.000/kg, harga pupuk satu karung berat 50 kg, Rp500.000, memang tidak terasa mahal.

Tapi keluhan pupuk mahal, obat-obatan mahal, junjung mahal, biaya panen mahal dan saprodi lainnya mahal, ini setelah harga jauh di bawah biaya produksi.

Dalam setahun terakhir ini misalnya, harga lada tak beranjak jauh dari kisaran Rp45.000 hingga Rp57.000/kg.

Mereka menjerit pilu….Dan mulai menyebut nyebut pemerintah tidak peduli.

Ungkapan pemerintah tidak peduli, mungkin juga tidak salah.

Ironis memang, Gubernur minta terus bertanam tapi tak memberikan jaminan harga layak.

Sejatinya, bila dalam permintaan ada nuansa keharusan, hendaknya dibarengi dengan strategi meningkatkan harga pada tingkat yang layak dan untung.

Entah apakah strategi itu disampaikan atau tidak, tapi Bangka pos tak menulis upaya yang akan ditempuh pemerintah daerah dalam meningkatkan harga lada.

Andaikata disampaikan, ini berarti teman wartawan Bangka Pos belum sempat mmpublikasikannya.

Kalau pun belum disampaikan, ini berarti gubernur hanya mampu “meminta” belum mampu “memberi”.

Kita abaikan persoalan, namun kita harus sepakat, bahwa tanaman lada mutlak dipertahankan dan ditumbuhkembangkan di Bangka Belitung.

Persoalannya tidak sebatas menanam lada merupakan tradisi tapi tanamam lada sangat mampu menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi masyarakat Bangka Belitung.

Alam Bangks Belitung telah menjadi “rumah” utama bagi komoditas lada dunia.

Penguasaan teknologi budidaya sudah sangat mumpumi disebagian masyarakat Bangka Belitung.

Masyarakat dunia telah memvonis lada Bangka Belitung terbaik di dunia.

Semangat masyarakat Bangka Belitung untuk mengembangkan tanamsn lada sangat tinggi.

Bila semua stakeholders sudah sepakat apa lagi yang ditunggu, kecuali kemauan politik pemerintah daerah.

Political will ini adalah asuransi atau jaminan akan kelangsungan berkembangnya lada Bangka Belitung, tak hanya sebatas budi daya tapi industri lada yang bernilai tinggi.

Politik lada harus ditumbuhkan di Bangka Belitung. Politik budi daya, politik tata niaga, politik industri dan politik harga, adalah suatu keharusan diaplikasikan dalam mewujudkan lada sebagai penggerak ekonomi daerah dan bangsa.

Harus ada keberanian dari pemerintah daerah membawa pengembangan lada menjadi komoditi strategis nasional.

Ini harus diawali dengan duduk barengnya Gubernur, DPRD, petani, dan masyarakat lada, pedagang, pengepul dan eksportir dan semua stakeholders pada satu meja panjang, untuk sama sama merumuskan strategi pengembangan lada jangka panjang yang lebih strategis.

H. Usmandie A Andeska
Wartawan dan Caleg DPR RI Dapil Provinsi Bangka Belitung