Bila Forester Merespon Sawit Masuk Hutan

Revizi undang undang No 41 tahun 1999, Urgensi?

TROPIS.CO- JAKARTA- Pemikiran tanaman kelapa sawit dikategorikan sebagai tanam hutan, mendapat tanggapan beragaman dari kalangan forester.
Melalui Group WA “ELHAKA” group tenis yang beranggotakan kalangan forester, mereka menuliskan pendapatnya. Sebut saja Maradona, forester muda alumni Fakultas Kehutanan Gaja Mada berkomentar:
“Kebayang aja dampaknya apabila tanaman Sawit dikategorikan tanaman hutan. dan semua hutan akan segera berubah menjadi hutan sawit, hilanglah pula semua biodiversity yg ada. apa arti biodiversity? 1 biodiversity berarti banyak kemungkinan untuk dikembangkan. contoH nyata adalah teknologi touch screen yg sedang dinikmati oleh pengguna smartphone atau semua alat elektronik berlayar sentuh, dari mana teknologi itu diciptakan?? jawabnya dari hutan, dari jenis katak pohon yg merupakan salah 1 biodiversity. Bayangkan Indonesia yg memiliki >500 biodiversity dari hutannya yg belum tergali dan dikembangkan.
Maap, hanya opini forester muda yg tidak berpengalaman saja, tidak bermaksud merugikan atau menyinggung pihak manapun.
Cukup sebagai bahan renungan.

Apa kata Hudoyo, juga foester yang kini masih aktif di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hudoyo berkomentar: “Sawit masuk hutan digagas oleh PM Mahatir Muhamad, tujuannya utk mensejahterakan masyarakat Malaysia….krn mereka berfikir hutan bisa lestari stl masyarakat sejahtera….utk Indonesia sdh 2 dekade kita memberi kesempatan kpd pelaku usaha …hasilnya hutan tdk lestari dan rakyat tetap miskin…nek aku hutan bisa ditanami HHBK apa saja spanjang di hut produksi dg melibatkan masy sekitar. Wallahualam…

Ali Wafah atau lazim dipanggil Alex, forester alumni Fakultas Kehutanan IPB, mantan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berpendapat;
Pemikiran sawit masuk kelompok hutan merupakan pemikiran prakmatis ekonomis. Mungkin lebih dekat pada pemikiran putus asa, krn de facto banyak hutan yg berubah jadi sawit (legal dan ilegal) dan kehutanan tidak berdaya mengedalikan serta tdk mendapatkan apa2.
Pada negara lain sawit ada yg dimasukan hasil hutan non kayu sehingga pengelolaannya masuk dikehutanan (bukan pertanian). Bahkan di China lebih ekstrim, komiditi apapun (termasuk pisang) asal dari hutan disebut sbg hasil hutan non kayu…

Nah bagaimana dikita…?
Mungkin pemikirannya Areal Penggunaan Lain (APL) bila dilepas untuk sawit maka pengelolaanya ikut lepas dari kehutanan. Sebaliknya bila sawit masuk komoditi kehutanan, maka APL tetap menjadi kawasan hutan dan pengelolaanya menjadi tanggungjawab kehutanan. Artinya kehutanan bisa dihitung memberikan kontribusi yg besar bagi penerimaan negara. Impact nya alokasi APBN untuk sektor kehutanan ikut terdongkrak.

Memang klu ditinjau dari aspek ekologi, pasti sangat merugikan. Tapi kita juga perlu realistis, kawasan hutan kita banyak yg sdh berubah menjadi kebun karet, kopi, cacau, lada, vanili, sawit, bahkan ada yg menjadi kebun tanaman perdu penghasil minyak atsiri.

Perdebatan sawit dan pengelolaan hutan ini menunjukan bahwa sudah puluhan tahun diberi tanggungjawab mengelola hutan, ternyata sampai saat ini belum ada konsep yg bisa dijadikan buku pintar dalam pengelolaan hutan.

Ini dosa siapa…? Dosa kita bersama (termasuk saya) yg tidak bisa membuat cetak biru pengelolaan hutan. Padahal banyak orang pintar ditubuh kita. Ternyata segudang kepintaran itu masih tercerai berai dlm berbagai kepentingan dan egoisme…Segudang kepintaran yg blm bisa membentuk marwah dalam mengelola hutan…

Monggo segera bangkit para forester or rimbawan….kami yg udah pangsiun mah hanya bisa bantu doa…

Kata Suhardiono, forester yang sempat menangani urusan DAS dan Reklamasi dI Direktorat BP DAS , merespon cetak biru yang dilontarkan Alex, mengatakan bahwa
“Sebenarnya cetak biru ada, tp pengawasannya lemah. Mental msh terjun bebas om.”

Beda dengan Djarot, forester yang bertugas di Lombok. Dalam merespon kelapa sawit dikategorikan sebagai tanaman hutan, dia berpendapat,

“Dalam pengelolaan hutan (termasuk pemilihan jenis tanaman) seharusnya menjamin :
1. *Income / pendapatan* yg tinggi
2. Pertumbuhan *ekonomi*
3. Ketahanan *pangan*
4. Cadangan *energi* terbarukan
5. *Lingkungan* sehat dan berkualitas
6. Penciptaan *lapangan kerja*.

Dan teknologi paling pas untuk lahan hutan berbasis masyarakat adalah _*Sylvopasture*_ atau _*Agrosylvopasture*_.

Maaf, ini analisa kelas _*warteg*_. Wallahualam…

Sementara Safari dan Rahmat, anggota group yang bukan forester, tak memberikan komentar banyak. ” Luar biasa,”tulis Safari merespon pendapat Marodona.

“HUtan dinggo lapangan tenis trus disewakne…pie yoo,” tulis Rahmat.