Mungkin lantaran “malu hati” setelah LoI dihentikan sepihak karena tak komitmen atas janjinya berkontribusi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca melalui mekanisme REDD, Kerajaan Norwegia kembali menjalin kerjasama dengan Indonesia, diawali kucuran dana sebesar US 56 juta dolar untuk mendukung rencana operasional FOLU Net Sink 2030.
TROPIS.CO, JAKARTA – Rabu pagi, (19/10/2022) di Gedung Manggala Wanabakti, di kantornya Menteri Siti Nurbaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada peristiwa baru dalam catatan kerjasama Indonesia – Kerajaan Norwegia.
Duta Besar Kerajaan Norwegia, untuk Indonesia, Rut Krüger Giverin bersama Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Indonesia, Djoko Hendratto, menandatangani Contribution Agreement (CA) berkaitan kontribusi berbasis hasil untuk pengurangan emisi. Menteri Siti Nurbaya hadir bersama Agus Justianto, Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari dan Ruandha Agung Soegardiman, Plt Dirjen Planologi Kehutanan Tata Lingkungan, menyaksikan MoU itu.
Penandatangan CA ini sebagai tindaklanjut dari MoU Indonesia – Kerajaan Norwegia yang sudah sempat ditandatangi bersama Menteri Siti Nurbaya dengan Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Espen Barth Eide, di Jakarta, 12 September tahun ini.
Dalam MoU tersebut, Indonesia dan Norwegia menegaskan niat untuk berkolaborasi dalam kemitraan baru, di bidang iklim untuk mendukung Rencana Operasional Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Selain itu, Norwegia juga mendukung upaya Indonesia dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui kontribusi berbasis hasil.
Dalam CA itu, ada harapan baru bagi Indonesia, bahwa dalam sepuluh hari ke depan, Kerajaan Norwegia, bakal mengucurkan kontribusi tahap pertamanya. Relatif besar mencapai 56 juta dolar, tak bergeser dari nilai persetujuan yang sempat dikomitmenkan tahun 2019. Nilai ini didapat dari hasil hitungan pengurangan emisi sebanyak 11,23 juta ton setara karbon dioksida (CO2e), melalui pengurangan laju defoprestasi pada 2017.
Hanya memang kalangan Kementerian LHK, enggan menyebut dana yang bakal dikucurkan itu, sebagai bagian dari skema pembayaran berdasarkan capaian atau RBP – result based payment yang dituangkan dalam Letter Off Intent – LoI yang ditandatangani Indonesia – Norwegia tahun 2010 di bawah mekanisme REDD. “Yaa ini semangat baru kerjasama Indonesia – Norwegia dalam upaya pengurangan emisi,”ujar seorang pimpinan kementerian LHK.
Mengapa demikian, karena sekitar setahun nan silam, tepatnya 10 September 2021, Indonesia telah mengakhiri LoI tentang Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+). Pasalnya, Norwegia hanya janji janji melulu, tak ada kemajuan konkrit dalam implementasi RBP atas upaya Indonesia menekan angka deforestasi.
Satu hal yang sempat menjadi alasan dihentikannya LoI yang sudah berjalan lebih 10 tahun itu, karena Kerajaan Norwegia mau ikut mengatur atas penggunaan yang diberikan ke Indonesia. Dari dana yang konon US 1 miliar dolar seperti yang sudah dikomitmen, ada sebagian mau dialokasi untuk NGOs . Sementara NGOs itu sendiri, lebih banyak menghambat.
Karenanya, di dalam MoU yang ditandatangani Menteri Siti Nurbaya – Espen Barth Eide, di Jakarta, 12 September itu, ruang lingkup kerja sama mencakup pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan melindungi dan mengelola hutan dengan partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat adat; peningkatan kapasitas untuk memperkuat penyerapan karbon hutan alam melalui pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial, termasuk mangrove; konservasi keanekaragaman hayati.
Lalu kemudian, pengurangan emisi gas rumah kaca dari kebakaran dan kerusakan lahan gambut; Penguatan penegakan hukum; Komunikasi, konsultasi dan pertukaran pengetahuan pada lingkup internasional tentang kebijakan dan agenda iklim, kehutanan dan tata guna lahan; dan Pertukaran informasi dan pengetahuan pada tingkat teknis.
“MoU ini tidak hanya mencerminkan kemitraan dan kesepakatan berbasis hasil kedua negara, namun mencakup keterlibatan yang lebih luas terkait isu-isu iklim dan pengelolaan hutan di Indonesia,”kata Menteri Siti Nurbaya, sembari menegaskan, MoU tersebut menekankan pentingnya manfaat yang dapat diberikan secara nyata dan langsung pada masyarakat, serta bagi kemajuan Indonesia sesuai dengan tata kelola dengan mengedapankan prinsip transparansi, akuntabel, inklusif, serta partisipatif.
Disalurkan ke BPDLH.
Berkaitan dengan kontribusi tahap pertama berbasis hasil dari Norwegia ini, termasuk kontribusi tahap selanjutnya, Menteri Siti Nurbaya mengatakan dananya akandisalurkan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di bawah Kementerian Keuangan. Dana sebesar itu akan dimanfaatkan seutuhnya untuk mendukung rencana operasional FOLU Net Sink 2030. Dengan demikian penyerapan emisi 140 juta ton CO2e hingga 2030, bisa tercapai.
“Pemerintah Indonesia sendiri akan mengalokasikan APBN lebih dari 300 juta Dollar AS setiap tahunnya untuk mendukung rencana operasional FOLU Net Sink 2030,” kata Menteri Siti Nurbaya. Dan kebutuhan dana operasional FOLU Net Sink, sedikitnya Rp 200 triliun lebih. “Karenanya dibutuhkan adanya partisipasi banyak pihak,”harapnya.
Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Espen Barth Eide, pada kesempatan ini mengkonfirmasikan bahwa pihaknya telah menyepakati CA atas kontribusi keuangan untuk pencapaian Indonesia dalam pengurangan emisi dari deforestasi dalam mendukung MoU yang baru ditandatangani antara kedua pemerintah. “Indonesia telah menjadi pemimpin global dalam mengurangi deforestasi”, kata Menteri Eide.
Dirinya menambahkan, berkat serangkaian kebijakan komprehensif yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia, deforestasi telah dilaporkan pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Hal tersebut memiliki signifikansi untuk perjuangan global dalam pengendalian perubahan iklim, serta memberikan kontribusi yang tak ternilai untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Kontribusi tahap pertama berbasis hasil ini adalah untuk pengurangan emisi yang telah diverifikasi secara independen sebesar 11,2 juta ton dari pengurangan deforestasi dan degradasi hutan Indonesia pada tahun 2016/2017.
Sejalan dengan MoU, kontribusi keuangan berbasis hasil pada tahap selanjutnya akan dilakukan oleh Norwegia sebagai bagian dari pengurangan emisi yang dicapai pada tahun-tahun berikutnya setelah dilaporkan dan diverifikasi.
Kedua belah pihak telah menyetujui Protokol MRV yang menguraikan prinsip-prinsip pengukuran, pelaporan dan verifikasi, serta perlindungan sosial dan lingkungan hidup. Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030 Indonesia menjabarkan ambisi Indonesia dalam sektor kehutanan dan tata guna lahan untuk menjadi penyerap emisi karbon (“climate positive”) sebesar lebih dari 140 juta ton CO2 pada akhir dekade ini, melalui pengendalian deforestasi, degradasi hutan dan lahan gambut, yang juga sama baiknya dalam menyerap karbon melalui restorasi hutan, lahan gambut dan mangrove.
Hasil Mengesankan.
Dalam acara penandatanganan CA tersebut, Dubes Rut Giverin menggarisbawahi bahwa kerangka kebijakan dan peraturan Indonesia untuk mengurangi emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, yang akan didukung lebih lanjut oleh kontribusi Norwegia tersebut, telah memberikan hasil yang mengesankan.
“Kami terkesan dengan banyaknya kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia untuk mengurangi deforestasi. Melalui MoU yang belum lama ini telah ditandatangani yang dilanjutkan dengan penandatangan CA hari ini, kami mendukung Pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan iklimnya melalui Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030. Norwegia dengan bangga mendukung kegiatan-kegiatan tersebut melalui mekanisme pendanaan yang fleksibel dan transparan,” ungkap Dubes Rut Giverin
Direktur Utama BPDLH, Djoko Hendratto mengatakan bahwa CA yang ditandatangani hari ini tersebut mencakup 21 item, di antaranya merinci ruang lingkup dan kegiatan, transparansi, jaminan kepatuhan dan penyelesaian sengketa. Indonesia memiliki tata kelola pengelolaan keuangan yang baik yang mengadopsi standar internasional yang diatur secara komprehensif. Oleh karena itu, implementasi dari CA ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan Indonesia,” terang Djoko.