Mengapa Petani Sawit harus Demo ke Istana

Petani sawit menjerit TBS tidak dibeli PKS lantaran adanya larangan ekspor CPO dn produk swit. Pemerintah diminta segara buka kran ekspor, jangan tunggu petani m,ati dikebun sawit

 

Oleh  Usmandie A Andeska.  (Wartawan, Petani Sawit)

Selasa, 17 Mei 2022, sejumlah petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Sawit Indonesia, Apkasindo, dari berbagai daerah menggelar demo di Istana Negara. Mereka mendesak agar larangan ekspor produk sawit, terutama Crude Palm Oil – CPO dicabut. Sebab karena larangan inilah hingga pabrik kelapa sawit atau PKS tidak membeli tandan buah segar – TBS milik petani.

Tidak hanya di Istana Negara, tapi juga di sejumlah kantor bupati dan DPRD di berbagai  daerah. Mereka berteriak kencang agar pemerintah  mencabut larangan ekspor produk sawit.  Larangan ini membuat petani mengalami kerugian besar, lantaran sebelumnya,  mereka terpaksa membeli pupuk dengan harga selangit,  Rp 800 ribu perkarung  ukuran  50 kilogram.

Saat demo di Istana Negara, sekitar  30  perwakilan  petani, hanya diterima  Kepala Kantor Staf Presiden, KSP, Moeldoko.  Mungkin, Presiden Jokowi tak mendengar tuntutan petani sawit  itu. Sedih kita, padahal  harapan petani yang datang jauh dari sejumlah pelosok daerah, ingin aspirasinya itu didengar langsung oleh  presiden.

Maksudnya agar Presiden Jokowi tahu, bahwa kebijakan itu sangat merugikan jutaan petani. Buah sawit mereka membusuk, tak dipetik lantaran tak ada yang beli. Sementara ketergantungan kehidupan mereka terhadap sawit sangatlah  tinggi. Kebutuhan rumah tangga sehari hari, dan juga biaya pendidikan putra putri, semua bersumber dari kebun sawit.

Niat Presiden Jokowi menghentikan ekspor produk sawit agar membuat kalangan industri sawit di dalama negeri  tahu diri. Bahwa ada kewajiban yang harus mereka perhatikan, harga minyak goreng  di dalam negeri yang terjangkau  oleh semua lapisan masyarakat.  Sehingga tidak semua CPO itu harus diekspor, tapi juga ada alokasi untuk di dalam negeri.

Niatnya baik. Namun tampaknya  konglomerat minyak sawit lebih kuat ketimbang presiden. Buktinya,  harga minyak goreng, baik curah maupun kemasan, tak bergerak turun seperti yang diharapkan.  Justru sebaliknya,  larangan ekspor itu dibalas oleh  oligarki sawit  dengan tidak membeli buah  TBS petani. Mau membeli tapi dengan harga yag sangat murah.  Parah memang ulah konglomerat sawit ini.

Keruan petani menjerit.  Buah sawit tak bisa dipanen, hingga membusuk di pohon. Dengan alasan tangki timbun mereka penuh,  hingga tak membeli sawit petani.  Ada tangki kosong, tapi itupun hanya untuk menampung CPO  dari kebun sendiri.

Petani sawit jadi korban dari kebijakan yang tidak bijak seorang  presiden.  Dan sejatinya, kebijakan ini tak harus terjadi, andai seorang Moeldoko, Kepala KSP, merasa peduli terhadap petani yang tergabung dalam APKASINDO, dimana dia duduk sebagai pembinanya.

Sebagai orang dekat presiden, seharusnya Moeldoko  mampu membaca dampak yang akan dirasakan petani dari kebijakan ekspor, tidak ikut euphoria pembelaan  konsumen minyak goreng. Kalau tidak ada rasa empati pada petani, lantas apa tujuannya hingga  menjadi  Pembina dari  asosiasi  petani sawit.

Sangat ironis bila petani sawit hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan  politik.  Dan karena itu, Gulat Manurung, sebagai  ketua Apkasindo, perlu mengevaluasi keberadaan Moeldoko sebagai Pembina.  Gulat Manurung pun, sejatinya tidak sebatas menjadikan  Moeldoko sebagai  backing jabatannya sebagai ketua umum, tapi tidak memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan kesejahteraan petani.

Sejatinya kalau memang memiliki kepedulian terhadap petani sawit, tanggap terhadap apa yang dirasakan petani.  Mendengar  jeritan dan lengkingan teriakan jutaan petani.  Kemudian, menyampaikan langsung kepada presiden, apa yang terjadi di petani sawit, sebagai akibat dari kebijakan ekspor  produk sawit.

Artinya, petani sawit tidak harus datang ke Jakarta, hanya untuk berdemo ke Istana Negara.  Menghabiskan sisa uang dan meninggalkan anak istri di pelosok desa. Lalu di Jakarta, tuntutannya hanya didengar Moeldoko. Padahal jeritan petani itu, cukup disampaikan oleh Ketua Umum Apkasindo.

Sungguh sangat ironis memang, seorang presiden seolah tidak tahu dampak apa yang akan dialami  petani sawit, atas kebijakan menghentikan  ekspor produk sawit, hanya sebatas menyenangkan  ibu ibu di perkotaan. Atau seolah  merasa Prihatin melihat antrian panjang ibu ibu untuk mendapatkan minyak goreng murah.

Padahal bila ditelisik, ada dugaan,  tak sedikit diantara ibu ibu yang antri, mereka yang itu itu juga. Maaf, tak sedikit diantara mereka itu,  diperalat oknum untuk antri, lalu kemudian minyak  gorengnya ditampung  dengan harga lebih tinggi sedikit.  Dan minyak goreng hasil tampungan itu dijual kepada  industri makanan dengan harga  pasar. Sayang prilaku seperti ini kurang diperhatikan, sehingga seolah olah antrian panjang itu,  mereka yang benar benar membutuhkan  minyak goreng.

Memang dihentikannya ekspor minyak goreng dan CPO, adalah tindakan terakhir, sebagai tindakan tegas Presiden Jokowi atas abainya  produsen minyak goreng terhadap kondisi pasar domestic.  Kebijakan Menteri Perdagangan, M Lutfi yang diawali dengan system subsidi, tidak efektif. Justru hanya mengutungkan segelintir orang.  M Lutfi tak mau belajar pada pengalaman sebelumnya, bahwa  pola subsidi ini, bukan suatu cara dalam mengatasi persoalan tata niaga minyak goreng di dalam negeri.  Walau hanya berlangsung beberapa hari, kebijakan subsidi, sejatinya harus dievaluasi, apa betul dana subsidi sampai kepada konsumen. Ternyata tidak,  harga minyak goreng tak bergeming dari kisaran harga Rp 24.000 – Rp 28.000 perkilogram.

Dan perlu diingat, sejumlah  pengurus Koperasi Dagang Indonesia – KDI, masuk kerangkeng lantaran kebijakan subsidi minyak goreng yang diterapkan pemerintah, disaat krisis minyak goreng di menjelang penghujung  tahun 1998. Saat itu, Menteri Perdagangan dijabat  Bob Hasan.

Nah, bukan mustahil, saat subsidi minyak goreng  yang diberikan berdasarkan  Peraturan Menteri Perdagangan No 1/2022, 11 Januari, juga mengalami distorsi, dalam kata lain ” ada penyimpangan”. Dan perlu diketahui, Permendag No 1/2022, dirancang untuk harga eceran tertinggi – HET, minyak goreng kemasan sederhana untuk masa 6 bulan ke depan.

Tapi apa lacur, belum lagi berjalan efektif,  per 18  Januari,  Mendag M Lufti, menerbitka kebijakan baru. Asalannya untuk memperkuat  Permendag No 1/2022. Dalam kebijakan ini disebutkan, bila ada ekspor CPO, RBD OLein dan UCO, harus ada Domestik Market Obligatian – DMO 20 %.  Tanpa itu dipenuhi, maka  produsen atau eksportir tidak akan mendapatkan  Persetujuan Ekspor – PE.

Peraturan tinggal peraturan.  Persetujuan Ekspor  diterbitkan terus.  DMO tidak dilaksanakan.  Sehingga kebijakan harga HET semua minyak goreng  kemasan, seperti yang diatur dalam Permendag No 3/2022, juga tertanggal 18 Januari, seharga Rp 14.000/liter, tak efektif.  Ibu ibu rumah tangga menjerit karena mendapatkan harga minyak goreng kemasan seharga Rp 28 ribu/liter.

Tak kuat mendengar jeritan ibu ibu, Tim Jaksa Agung bertandang ke Kantor Menteri Perdagangan di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Alhasil, ditemukan terjadinya kong kalingkong oknum pejabat dengan sejumlah  kaki tangan  produsen dan eksportir produk sawit.  Tim Kejaksaan Agung, menemukan  ada Persetujuan Ekspor yang tidak disertai  DMO.

Keruan saja, Dirjen  Perdagangan Luar  Negeri , Indrasari  Wisnu Wardana,  dan 3 kaki tangan produsen/eksportir,  Parulian Tumanggor (Wilmar Indonesia), Togar Sitanggang (Musim Mas) dan Stanlei ( Permata Hijau), digiring ke Gedung Bundar di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.  Tak lama kemudian, mereka berempat sudah menggunakan seragam tahan Kejaksaan Agung.  Dan, Selasa, 17 Mei, Kejaksaan  Agung, menetapkan  Lin Che Wei, Penasehat Kebijakan dan Analisa Independent Research dsn Advisory Indonesia, sebagai tersangka baru dalam kasus mafia minyak goreng.  Ada yang memprediksi kemungkinan Mendag M Lutfi ikut tersentuh  dalam kasus ini.  Hanya memang Kejaksaan Agung,  hingga kini belum pernah menyebut nyebut, sejauh mana keterlibatan  Mendag dalam kasus  persetongkolan ini.

Memang sebelum Kejaksanaan  Agung bertandang ke  Kementerian Peerdagangan,  Menteri M Lutfi, sudah sempat menerbitkan kebijakan baru, dalam rangkaian pengendalian  harga minyak goreng di dalam negeri.  Terakhir,  melalui Permendag No 11/2022,  16 Maret. Dalam kebijakan ini, M Lutfi menetapkan  harga tertinggi minyak goreng curah Rp 15.000/kg, atau  Rp 14.000/liter dari pengecer ke konsumen.

Sebelumnya ada  Keputusan Mendag No 129/2022, 10 Februari.  Kebijakan ini, menetapkan  DMO 20% dari volume ekspor CPO dan RBD Olein, dan  harga penjualan di dalam negeri atau DPO, CPO Rp 9300/kg dan RBD Olein Rp 10.300/kg.  Kebijakan inipun tak jalan.  Tak ada produsen yang mau menjual CPO seharga Rp 9300/kg, sementara harga ekspor Fob Belawan dan  Dumai, sudah di atas  Rp 16.000/kg.

Mungkin lantaran tak tahan mendengar keluh kesah ibu uibu rumah tangga dan kalangan  penjual gorengan Presiden Jokowi bertindak tegas. Terhitung 28  April, semua  produk sawit dilarang ekspor. Harga  CPO melambung  tinggi, namun  harga minyak goreng di dalam negeri, tidak merangkak turun, minyak kemasan  Rp 28.000/liter.

Konkrit berbagai kebijakan pemerintah menekan harga minyak goreng di dalam negeri, tak efektif.  Dan jelas kebijakan ini sudah sangat merugikan.  Bagi  negara sendiri, dipastikan akan kehilangan devisa.

Berikutnya, pasar CPO Indonesia diambil negara lain, terutama Malaysia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar kedua didunia. Dan otomatis harga CPO dan produk minyak nabati dunia melambung tinggi. Seperti minyak kedelai, minyak matahari, dan minyak nabati lainnya, lantaran kurangnya pasokan minyak sawit asal Indonesia. Dan perlu diketahui volume ekspor CPO Indonesia, setiap tahun mencapai 41 juta ton.

Bukan hanya itu, Pemerintah kehilangan pendapatan dari sektor pajak. Pungutan Us 50 dolar perton untuk Pengembangan sawit yang dibayarkan kepada Badan Pengelola dan Pengembangan Kelapa Sawit. Tentu inipun akan menghambat program replanting terhadap tanaman sawit petani yang tak lagi produktif, yang kini luasnya, tak kurang dari  2,7 juta hektar.  Produktivitas kebun rakyat ini hanya dalam kisaran  2 hingga 3 ton perhektar pertahun. Sangat tak sebanding dengan swasta  rata rata sudah di atas   8 ton CPO/hektar/tahun.

Lantas  rugikah produsen dan eksportir ?  Mereka bukan pemain  kemarin sore.  Lika liku bisnis sawit sudah sangat dikuasai. Jalan pintas mengirim CPO ke luar negeri pun sangat mereka kuasai.  Dan selama inipun, mereka tidak jujur jujur saja, tidak semua  CPO yang diekspor itu legal, bila ditelisik lebih dalam, ada juga yang illegal.

Komunikasi yang efektif dengan petugas lapangan dan sudah terjalin sejak lama, adalah asset bagi mereka untuk mengekspor CPO secara illegal. Dan adanya momentum laragan ekspor  CPO, bukan mustahil jaringan yang sudah terbangun itu lebih dioptimalkan.

Sejauhmana kebenaran atas kabar penyelundupan CPO dan minyak goreng yang kini banyak diperbincangan di kalangan pebisnis minyak sawit,  tampak perlu  dicros chek oleh pihak pihak berwajib. Tersirat kabar ada bagi bagi keuntungan pihak eksportir illegal dengan berbagai pihak. Eksportir rela mendapatkan kelebihan laba lebih kecil, dan yang lainnya untuk berbagi, asalkan  CPOnya bisa diseberangkan dengan dalih antar pulau, lalu kemudian di tengah laut berpindah arah.

Karena itu, bagi mereka, terutama eksportir CPO, seperti Wilmar, Permata Hijau, bahkan juga Musim Mas dan Sinar Mas, mungkin juga sejumlah produsen dan eksportir lainnyapun, larangan ekspor bukanlah suatu hambatan. Walau memang, mungkin, mereka tidak bisa “mengekspor” optimal. Tapi setidaknya,walau dalam sekala kecil, namun CPO mereka, kemungkinan tetap meluncur ke luar negeri, memenuhi permintaan importer.

Kecurigaan ini memang perlu ditelisik lebih dalam. Sebab tipical pengusaha, itu ibarat air, akan mencari sela atau lubang sekecil apapun agar bisa mengalir. Karena itu, saatnya Presiden Jokowi mengevaluasi kebijakan yang hanya memihak kepada konsumen, namun mematikan petani. Larangan ekspor bukanlah suatu solusi menekan harga minyak goreng dalam negeri.

Lantaran itu, menjadi suatu alasan yang tepat, bila presiden sesegera mungkin membuka kembali  kran ekspor produk sawit. Dengan kembali aktivnya  perdagangan sawit di tingkat pedesaan, ini akan mampu menggerakan ekonomi masyarakat hingga kemudian menimbulkan multiplaer effect.

Ekonomi desa bergerak dan bertumbuh, ini dipastikan bakal meningkatkan pendapatan. Dan tentu,  meningkatkan pendapatan bakal  menguatkan daya beli masyarakat. Sebaliknya, bila ekonomi pedesaan tak bertumbuh, inipun akan membuat ekonomi nasioanal stagnan. Dan harus diakui bahwa peran petani sawit sangat signifikan dalam menggerakan ekonomi desa yang kemudian menopang  ekonomi nasional.