Masih Pegang Asumsi bahwa Perbaikan Kebijakan Butuh Pengetahuan?

Hariadi Kartodihardjo
Hariadi Kartodihardjo

TROPIS.CO – Banyak, tersirat atau tersurat, asumsi dalam penelitian bahwa pengambil keputusan butuh pengetahuan lalu mencerna pengetahuan itu, sehingga kebijakan tertentu diperbaiki. Sayangnya asumsi seperti itu jarang ditemukan. Kebijakan yang dimaksud termasuk semua jenis peraturan-perundangan.

Memikirkan perbaikan kebijakan, dalam prakteknya, seringkali karena ada kasus yang menjadi perhatian publik dan ditambah tekanan publik, pelaksana kebijakan merasa kesulitan menjalankan kebijakan buatannya sendiri, atau perintah dari otoritas yang lebih tinggi. Jarang ditemukan, kebijakan berubah akibat evaluasi pelaksanaan kebijakan itu oleh pembuatnya.

Maka, ketika banyak pengetahuan bertebaran dari berbagai publikasi, jurnal-jurnal ilmiah, rumusan-rumusan seminar, pendapat-pendapat di sosmed yang membanjiri informasi harian, tidak banyak berguna bagi perbaikan kebijakan.

Bahkan banyaknya tipe-tipe renungan di medsos sepertinya tidak menimbulkan daya kritis dan jauh berada pada kebutuhan perbaikan keadaan. Orang hanya dipuaskan, seolah-olah punya jiwa seperti obyek renungan itu.

Praktis seperti simulakra. Bersimulasi seperti menjadi jujur, berani, membela kebenaran, membela kemanusiaan dan keadilan; tetapi hanya sesingkat sewaktu membaca itu. Tidak ada hubungannya dengan kenyataan.

Buku “Understanding Policy Processes: A review of IDS research on the environment” oleh Institute for Development Studies mengoreksi cara pikir linier: sebab ketidaktahuan maka kebijakan menjadi buruk, maka pembuat kebijakan pasti butuh pengetahuan untuk memperbaiki kebijakan. Publikasi oleh University of Sussex itu menganggap kebijakan tidak berubah akibat cara pikir pembuatnya juga tidak berubah.

Cara pikir membatasi ruang dan lingkup apa yang bisa dilihat atau diperhatikan. Ia tidak bisa keluar untuk melihat hal lainnya. Maka, tidak pernah ada pengetahuan baru, kecuali mendukung cara pikirnya itu. Cara pikir bisa membuat arahan fakta mana dipakai dan fakta mana dibuang. Cara pikir bisa menutupi kesalahan, sebelum kesalahan itu dipermasalahkan.

Dari situ menjadi jelas mengapa pengetahuan yang bertebaran seinovatif dan seabsah apapun, tidak pernah menjadi pertimbangan, karena barang itu bukan nalar yang dipakai dan tidak pernah ada di dalam pikiran. Kita sering mendengar, misalnya, jika secara fisik hasil-hasil seminar atau publikasi ilmiah hanya masuk laci. Jika fisiknya masuk laci, roh isinya berada dimana?

Bukan hanya cara pikir, dalam publikasi itu ditegaskan pula bahwa cara pikir itu melahirkan sekaligus dilahirkan oleh kepentingan. Misalnya, jika kebijakan penetapan kriteria BUMN menyebabkan kinerjanya buruk, yang dikoreksi indikator kinerjanya agar kinerja BUMN bisa baik, bukan upaya menaikkan kinerja BUMN.

Konflik kepentingan seperti itu ajeg dan langgeng, karena proses pembuatan kebijakan yang sengaja dibuat tertutup. Disebut public policy, tetapi hak publik dimatikan. Perum Perhutani setelah 10 tahun dinilai sangat sehat dan tiba-tiba tahun 2015 mendekati bangkrut adalah contoh nyata perbaikan kebijakan tidak butuh pengetahuan.

Dan konflik kepentinganlah yang membuat pengetahuan baru hanya berupa kertas-kertas rekomendasi sementara roh isinya beristirahat dengan tenang di kepala peneliti-penelitinya.

Tidak hanya itu. Publikasi itu menyebut bahwa cara pikir dan kepentingan tadi membentuk jaringan. Maka cara pikir yang berupa diskursus itu menjelma menjadi kekuatan, kewenangan, power yang dipertahankan sekaligus digunakan untuk mempertahankan dan memperkuat kepentingan. Padahal tidak pernah ada kebijakan tanpa ada cara pikir dibaliknya.

Dari situlah dalam publikasi-publikasi ilmiah juga ada yang mewajibkan menyebut darimana sponsornya, sebagai tindakan etis. Dan publik juga perlu mencermati pelaksanaan kajian-kajian, seminar-seminar, rapat-rapat terbuka, pengetahuan siapa yang akan digali dan untuk kepentingan siapa.

Harga dan korbanannya barangkali bisa difahami dari pernyataan Theodore Roosevelt ini : A man who never gone to school may steal a fraight car; but if he has university education, he may steal the whole railroad.

Hariadi Kartodiharjo