WWF Indonesia : Perlu Komitmen Politik Dalam Penerapan Sawit Berkelanjutan

Perlu diterapkan sejumlah regulasi terkait pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan untuk menyeimbangkan aspek ekonomi, konservasi, dan sosial budaya. Foto : Jos/tropis.co
Perlu diterapkan sejumlah regulasi terkait pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan untuk menyeimbangkan aspek ekonomi, konservasi, dan sosial budaya. Foto : Jos/tropis.co

TROPIS.CO, SINTANG – World Wild Life Fund for Nature (WWF) Indonesia menilai komitmen politik sangat diperlukan dalam penerapan pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, salah satunya telah diberlakukan di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

“Kalau kita ingin mendorong pengelolaan sawit berkelanjutan bisa diimplementasikan dengan baik di lapangan, salah satu faktor utama kunci suksesnya adalah kepemimpinan politik,” tutur Sustainable Palm Oil Program Manager WWF Indonesia Putra Agung kepada wartawan di Sintang, Kamis (22/11/2018).

Komitmen politik tersebut telah ditunjukkan oleh Bupati Sintang Jarot Winarno yang memberlakukan sejumlah regulasi terkait pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan untuk menyeimbangkan aspek ekonomi, konservasi, dan sosial budaya.

Salah satu regulasi yang diterbitkan demi mendorong implementasi prinsip-prinsip keberlanjutan dalam industri sawit adalah Peraturan Bupati Kabupaten Sintang Nomor 57 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pembukaan Lahan Bagi Masyarakat guna mengendalikan kegiatan pembakaran lahan untuk mengakomodasi kepentingan adat.

Sintang adalah salah satu dari tiga daerah di Indonesia yang terlibat dalam proyek Kemitraan Pertumbuhan Baik, dibantu oleh WWF Indonesia dan dibiayai Global Environment Facility melalui UNDP.

Program yang dijalankan sejak 2017 ini berfokus pada penghilangan rantai pasokan minyak sawit dan produksi dari deforestasi dan praktik yang tidak berkelanjutan.

Di bawah proyek ini, WWF Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Sintang menunjukkan skema produksi minyak sawit berkelanjutan menggunakan pendekatan yurisdiksi di tingkat kabupaten.

“Jadi bagaimana seorang kepala daerah tidak hanya berkomitmen tetapi terjun langsung untuk menjamin bahwa produk atau komoditas yang dihasilkan di yurisdiksi tersebut bebas dari praktik tidak bertanggung jawab, dan pasar sebenarnya sangat mengharapkan itu,” kata Agung.

Proyek ini dirancang untuk membantu petani mengadopsi praktik terbaik yang mencakup peningkatan input dan teknologi yang akan memungkinkan peningkatan produksi menggunakan lahan pertanian yang ada, tanpa perlu perluasan lahan.

Salah satu kegiatan proyek adalah meningkatkan kapasitas petani kecil mandiri untuk menghasilkan minyak sawit berkelanjutan.

Proyek ini dijalankan di empat desa di dua kecamatan dan melibatkan 300 petani kecil yang dikategorikan sebagai petani swadaya skala kecil yang terkait dengan rantai pasokan melalui agen lokal (sekitar 1-2 hektare per rumah tangga) dan petani kecil mengelola plot terkait dengan perusahaan skema plasma (10-15 hektare).

Proyek ini akan berfokus untuk 300 pekebun mandiri yang dimiliki oleh 60 petani kecil.

Seperti banyak daerah di Indonesia, kelapa sawit adalah penggerak utama ekonomi di Sintang, yang menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat dan pekebun baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan data statistik 2017, produksi minyak sawit di Sintang mencapai 935.941 ton yang berasal dari 168.107 hektare lahan.

Sintang memiliki pekebun besar yang mengelola sekitar 9.000 hektare dan lebih dari 1.000 rumah tangga petani mandiri. (*)