Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Kini Hijau Kembali

Anak-anak dari sejumlah sekolah yang terletak di sekitar TNGGP seperti SDN Cilondong, SDN Simpenan, SDN Cihanjawar, dan MI Madaniah ini berkumpul untuk mengikuti lomba menggambar bertemakan alam. Foto : Rini/tropis.co
Anak-anak dari sejumlah sekolah yang terletak di sekitar TNGGP seperti SDN Cilondong, SDN Simpenan, SDN Cihanjawar, dan MI Madaniah ini berkumpul untuk mengikuti lomba menggambar bertemakan alam. Foto : Rini/tropis.co

TROPIS.CO, SUKABUMI – “Hutanku Kehidupanku….Hutanku Kehidupanku….” Yel yel itu diserukan dengan penuh semangat
oleh anak-anak yang tengah berkumpul di antara rimbunnya pepohonan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Selasa (2/10/2018).

Anak-anak dari sejumlah sekolah yang terletak di sekitar TNGGP seperti SDN Cilondong, SDN Simpenan, SDN Cihanjawar, dan MI Madaniah ini berkumpul untuk mengikuti lomba menggambar bertemakan alam.

Rata-rata anak-anak ini menggambar pepohonan berdaun lebat, gunung yang biru indah, hamparan sawah hijau, serta sungai dengan airnya yang mengalir deras.

Goresan krayon anak-anak itu bukan sekadar angan-angan.

Memang keindahan serupa itulah yang kini akrab dengan keseharian mereka.

Wajah TNGGP yang gersang, bahkan gundul, sudah tidak ada lagi.

Faktanya saat ini TNGGP sudah dipenuhi beragam pepohonan besar.

Jenis pohon asli Taman Nasional ini seperti puspa, rasamala, manglid, suren, salam, janitri, dan saninten sudah bisa dijumpai lagi.

Tak hanya pepohonan, TNGGP pun kini menjadi rumah baru bagi aneka satwa liar.

Di kawasan ini tercatat ada sekitar 40 jenis burung dan delapan jenis mamalia.

Ada monyet ekor panjang, macan tutul, kucing hutan, kijang, juga musang luwak.

Wajah baru TNGGP ini merupakan hasil pemulihan ekosistem yang dilakukan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango bersama Conservation International Indonesia (CII) didukung oleh Daikin Industry, dan melibatkan masyarakat di sekitar Resort PTN Nagrak.

Dengan konsep Green Wall, kolaborasi ini telah berhasil membangun benteng hijau atau benteng konservasi, yaitu merestorasi lahan menjadi hijau kembali dan mengedukasi masyarakat sehingga berwawasan hijau.

Restorasi yang dimulai pada tahun 2008 ini sudah berhasil menanam, memonitor, dan memelihara lebih dari 120 ribu pohon di luasan sekitar 300 hektare lahan, juga membina masyarakat yang bermukim di kampung-kampung yang berbatasan dengan kawasan hutan.

Menurut Dodi Rahmat,S.Pd., Kepala Desa Cihanjawar, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, pemulihan ini menjangkau sekitar 700 KK yang ada di tujuh kampung, antara lain di Kampung Panyusuhan, Kampung Cilondong, Kampung Pasirbuntu, Kampung Lamping, dan Kampung Sordog.

Di hutan ini, tambah Dodi, terdapat zona tradisional sekitar 400 hektare.

Semula warga menanami zona tradisional ini dengan palawija, ubi, singkong, sayuran, atau tanaman yang bisa dipanen musiman.

“Setelah ada penyadaran, warga beralih ke tanah milik. Untuk masyarakat juga diberi bimbingan usaha tani dan ternak.”

“Warga diberi bibit dan dilakukan penyemaian bersama. Penyemaian itu sekitar 20 persen bisa diuangkan, sehingga masyarakat ada pendapatan,” jelasnya.

Jenis bibit tersebut ada yang berupa tanaman multi guna seperti aren, nangka, jambu, pala, rambutan, jengkol, dan petai.

Yang juga sangat penting, adanya green wall ini dapat melestarikan sumber air bersih, sehingga selanjutnya dapat dilakukan revitalisasi pipanisasi di kawasan penyangga.

Kini masyarakat tidak lagi harus berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih.

Ketersediaan air bersih juga terjamin setiap saat, sekalipun di musim kemarau panjang seperti saat ini.

Dodi menceritakan bahwa ketika kawasan taman nasional ini masih gundul, bila datang angin puting beliung akan menyapu apa saja, menerbangkan genteng-genteng rumah dan bahkan merobohkan rumah-rumah di desa itu.

“Kan dulu tidak ada penahannya, jadi angin langsung menerjang desa. Sekarang sudah banyak pohon tinggi yang kuat menahan angin,” ungkapnya. (rin)