Perlu Ada Kementerian Kehutanan dan Perkebunan

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Firman  Soebgyo menilai penting keberadaan Kementerian Kehutanan dan Perkebunan. Foto : Istimewa
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Firman  Soebgyo menilai penting keberadaan Kementerian Kehutanan dan Perkebunan. Foto : Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Firman  Soebgyo mengatakan sangat ideal bila di dalam kabinet Presiden Joko Widodo periode mendatang ada Kementerian Kehutanan dan Perkebunan.

Keberadaan kementerian ini dinilai anggota DPR RI Daerah Pemilihan Jawa Tengah tersebut akan mempercepat peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional karena berbagai produknya berpotensi besar sebagai penghasil devisa.

“Kita harus mengoptimalkan potensi sumber daya alam sebagai penghasil devisa agar dapat mempercepat pembangunan bangsa dan negara ini,” tutur anggota Komisi II yang juga anggota Badan Legeslatif DPR RI ini.

Dia berpandangan, dalam membiayai pembangunan, pemerintah hendaknya jangan terlampau tergantung pada utang luar negeri.

Namun Indonesia harus segera mengoptimalkan menggali potensi ekonomi berbasis sumber daya alam.

Perkebunan sangat melekat dengan kehutanan karena tanaman perkebunan, sebut saja kelapa sawit misalnya, sangat beririsan dengan kehutanan.

Hal ini sudah ada refrensinya, seperti dilakukan Malaysia, dimana undang-undang kehutanan dan perkebunan menjadi satu.

Bahkan di Malaysia itu, kebun telah menjadi rumpun kehutanan.

“Jadi kalau Malaysia  berani, mengapa kita tidak?“

“Bila perkebunan digabung dengan kehutanan akan lebih clear.”

“Kita pun jangan terlena sebab bukan mustahil, hiruk pikuknya sorotan LSM dunia terhadap sawit Indonesia ini, juga ada peran dari malaysia,” ujar Firman.

Menurutnya, Malaysia bisa saja sengaja membuat Indonesia tidak konsentrasi terhadap produksi sebab dikacaukan terus dengan isu lingkungan.

Namun, sebaliknya, mereka terus  melakukan riset dan penelitian untuk meningkatkan produktivitas sawitnya.

“Malaysia juga  mungkin berkeinginan menguasai pasar sawit dunia.”

“Jadi jangan dikira, Malaysia ini diam,” kata Firman.

Ia meyakini, kalau kehutanan dan perkebunan ini digabungkan maka mungkin tak ada lagi isu sawit merusak lingkungan.

Indonesia pun bisa fokus pada pengembangan prdouksi sawit yang berpotensi memberikan penerimaan negara mencapai  Rp400 hingga Rp500 triliun.

“Kalau sawit terus dipandang sebagai merusak lingkungan lalu dihajar, maka pendapatan  negata kita makin lama makin turun.”

“Dampaknya pula penerimaan  fiskal kita tidak optimal dan mungkin akan memberikan beban berat pada pelaku usaha.”

“Lalu ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri akan semakin tinggi,” pungkas Firman. (*)