Quo Vadis Peremajaan Sawit Rakyat?

Untuk Kesejahteraan Petani

Sementara Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, menyatakan bahwa sejatinya peremajaan sawit adalah upaya peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas, sekaligus untuk memperkuat aspek sustainability kelapa sawit Indonesia dengan memaksimalkan existing plantation melalui peningkatan yield dan mencegah pembukaan lahan baru atau deforestasi.

Sampai saat ini untuk mempermudah menerima dana bantuan BPDPKS, syarat telah pula disederhakan dari 16 syarat menjadi dua syarat, mesti sudah ada kemudahan yang diberikan namun masih ada yang perlu dikritisi.

Target PSR dari tahun 2017 sampai 2022 yang mencapai 725 ribu hektare itu diukur dari mana, apalagi tiap tahun muncul target yang seolah-olah diketahui tempat dan wilayah PSR akan dilakukan.

“Tetapi sayangnya dari sisi capaian dan target, setiap tahun hampir gagal, termasuk pelibatan lembaga surveyor.”

“Belum ada sisi pencapaian dari target yang ada, bahkan dana PSR hingga 2020 hanya mencapai Rp 5,5 triliun dan berbanding jauh dengan biodiesel yang mencapai Rp 57,27 triliun,” ungkap Darto.

Menurutnya, masih banyak petani yang belum memahami program PSR.

Dampaknya, mereka melakukan peremajaan secara mandiri tanpa melalui program.

Saat ini  petani sawit swadaya masih berpencar-pencar dan tidak adanya kelembagaan tani.

“Pendampingan kurang memadai karena sumber daya manusia dan pendanaan yang minim di tingkat kabupaten atau dinas.”

“Belum ada riil data misalnya siapa, dimana, jenis lahan, dan tahun tanam berapa, di level pemerintah.”

“Lantas, beberapa pendamping desa untuk PSR  tidak dibayar, termasuk luas lahan hanya skala kecil sekitar 2 hektare, jika di remajakan akan hilang pendapatan petani,” katanya.

Sebab itu ke depan untuk Program PSR, Darto mengusulkan adanya penambahan dana PSR dari Rp 30 juta per hektare menjadi Rp 50 juta per hektare untuk menghindari hutang ke bank, kemudian pengadaan dana prakondisi PSR untuk petani swadaya murni.

Sejatinya, kelembagaan tani sebagai poin penting untuk pelaksanaan PSR, tapi dana BPDPKS tidak mendukung pembentukan kelembagaan tani.

“Apakah dimungkinkan dana BPDPKS menjadi dana desentralisasi sehingga pengelolaan dana ke kabupaten atau provinsi bukan di Jakarta,” usul Darto.