Dana Silin Idealnya Bisa Gunakan Dana BLU Kehutanan

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto (kiri) menilai pengusaha perlu mendapat insentif dari dana BLU Kehutanan dalam menerapkan teknik Silin. Foto : Istimewa
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto (kiri) menilai pengusaha perlu mendapat insentif dari dana BLU Kehutanan dalam menerapkan teknik Silin. Foto : Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Pemerintah idealnya dapat menggunakan dana Badan Layanan Umum (BLU) Kehutanan dalam menopang pengembangan hutan alam melalui program teknik Silvilkutur Intensif (Silin).

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, kala menjawab TROPIS.CO di Jakarta, belum lama ini.

“ Idealnya memang pemerintah bisa menggunakan dana BLU Kehutanan atau skema pendanaan lingkungan hidup,” tuturya.

Selama ini, Dana BLU Kehutanan lebih banyak diorientasikan pengembangan ekonomi masyarakat di pedesaan sebagai dana bergulir.

Mungkin akan lebih baik lagi bila ditingkatkan sebagai sumber pendanaan murah jangka panjang.

Tanpa didukung skema pendanaan yang berbunga ringan dan jangka panjang, menurut Purwadi, tampaknya pergerakan pertumbuhan pengembangan hutan alam melalui teknik Silin akan berat berat bagi dunia usaha. Menggunakan skema pendanaan komersial jelas tidak mungkin.

Di satu sisi, berusaha di hutan alam ini, membutuhkan waktu jangka panjang, 20 tahun hingga 35 tahun.

Sementara tingkat resiko cukup tinggi, terutama soal kepastian kepemilikan asset yang kurang jelas.

Dengan kondisi tampaknya lembaga keuangan komersial enggan membiayai bisnis hutan ini, bukan hanya hutan alam, hutan tanaman seperti HTI pun mereka kurang yakin.

“Kita maklumi, perubahan kebijakan berkaitan dengan pemanfaatan hutan alam, sangat tinggi, sehingga sangat mengkhawatirkan, tidak hanya bagi perbankan tapi juga pengusaha sendiri,” ucap Purwadi.

Karena itu, suatu yang cukup bijak bila pemerintah menggunakan Dana BLU Kehutanan, mengingat program Silin akan memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam menyelamatkan hutan alam.

Sekaligus, program ini membawa misi, membangkitkan kembali kejayaan bisnis kehutanan.

Cukup Prospek

Sementara itu, Guru Besar fakultas Kehutanan Gajah Mada, Prof Muhammad Na’eim mengatakan, dalam kontek bisnis, pengembangan hutan alam dengan menerapakan teknik Silin sangat prospektif kendati membutuhkan waktu lama.

Menurutnya, dengan tambahan investasi atau modal, dalam kisaran Rp11,5 juta hingga Rp15 juta hektare dengan skala luas ekonomis 100 hektare, maka dalam kurun waktu 20 tahun, bisa menghasilkan Rp16,5 miliar hingga Rp18 miliar per 100 hektare.

Dalam masa 20 tahun itu, maka produksi log-tanaman meranti, berkisar 11.000 m3 hingga 12.000 m3 dengan asumsi pertumhbuhan riap pohon dua hingga tiga cm setahun.

“Hasil yang didapatkan melalui SILIN pola Jalur dan Pola Rumpang jauh lebih tinggi ketimbang TPTI yang masa rotasinya 30 tahun,” kata Prof Na’eim.

Dengan pola TPTI dengan tambahan investasi nol, lantaran tidak ada penanaman pengayaan, produksi akhir daurnya hanya 3.000 m3 per 100 hektare.

Dengan asumsi harga log meranti per m3 Rp1,5 juta  maka pendapatan perusahaan hanya Rp4,5 miliar. (*)