Pungutan Ekspor Sawit Mesti Dihapus Sebagai Wujud Keberpihakan Pemerintah

Pemerintah harus menyadari bahwa pengurangan angka kemiskinan melalui pengembangan industri kelapa sawit merupakan strategi pembangunan yang sangat penting. Foto : Jos/tropis.co
Pemerintah harus menyadari bahwa pengurangan angka kemiskinan melalui pengembangan industri kelapa sawit merupakan strategi pembangunan yang sangat penting. Foto : Jos/tropis.co

TROPIS.CO, JAKARTA – Anggota Komisi VI DPR Erico Sotarduga mengingatkan, Indonesia masih punya waktu untuk menambal defisit transaksi berjalan dengan melakukan perluasan pasar CPO, bernegosiasi secara B to B dengan negara importir serta menghapus pungutan ekspor.

“Dalam kondisi seperti saat ini, pemerintah perlu fleksibel dalam menerapkan berbagai kebijakan termasuk menghapus pungutan ekspor US$50 per ton minyak sawit dan US$30 per ton produk turunan ekspor guna untuk mendorong terciptanya surplus perdagangan,” kata Erico kepada wartawan di Jakarta, Jumat (21/9/2018).

Menurut Erico, dengan posisi harga CPO yang rendah saat ini, penghapusan pungutan ekspor berpotensi mendongkrak perluasan pasar ekspor karena posisi CPO dalam peta persaingan minyak nabati dunia semakin atraktif.

“Mau diadu dengan dengan minyak nabati manapun seperti kedelai dan biji bunga matahari, CPO sebenarnya tetap menjadi pilihan bagi banyak negara importir karena dari segi harga menarik serta Indonesia punya potensi komoditas yang tidak terbatas,” ujarnya.

Menurut Erico, potensi permintaan terutama Cina diperkirakan naik 2 juta dari 3 juta menjadi 5 juta.

Belum lagi permintaan dari India dan pasar Afrika yang juga naik.

“Kesempatan ini harus dimanfaatkan, karena berpotensi meminimalkan defisit perdagangan,” tutur anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Erico menyatakan, dengan pemberlakukan B20 pada sector non public service obligation (PSO) per 1 September 2018, Indonesia bisa menghemat US$21 juta.

“Jika US$21 juta dikali 120 hari sama dengan US$2,5 miliar. Angka ini bisa menutupi sebagian defisit.”

“Apalagi jika pasar ekspor CPO bisa meningkat, maka neraca perdagangan justru berpeluang untuk surplus,” kata Erico.

Bahkan, dalam rangka perluasan pasar ekspor, Indonesia dan Malaysia bisa melakukan kampanye global bersama terkait pemanfaatan biodiesel sebagai energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.

Dari sisi kesehatan juga perlu dikampanyekan sawit sebagai minyak sehat dengan kandungan omega 3, vitamin E, dan vitamin K.

Komitmen Keberpihakan Pemerintah

Sementara Firman Subagyo, mantan wakil ketua komisi IV yang concern dengan persoalan sawit, mengingatkan, sepanjang sawit masih diandalkan sebagai penghasil devisa ekspor terbesar, pemerintah perlu menunjukkan komitmen serta keberpihakan melalui insentif serta berbagai regulasi yang mendukung peningkatan ekspor.

“Salah satu insentif yang bisa diberikan yakni berupa penundaan pemberlakukan pungutan ekspor US$50 per ton minyak sawit dan US$30 per ton produk turunan untuk mengurangi beban industri. Jika nilai tukar telah membaik, PE nantinya bisa diberlakukan kembali,” ujar Firman.

Menurut Firman, persoalan terbesar dari penurunan harga CPO adalah kampanye anti sawit yang mendorong turunnya permintaan CPO.

”Jika pemerintah bersedia menunda pembelakukan pungutan ekspor untuk sementara waktu, paling tidak ekspor CPO bisa dipertahankan dan tekanan terhadap harga bisa berkurang.”

Dalam kisaran harga wajar sebenarnya impor CPO masih mempunyai imbas positif bagi penerimaan negara, terutama penerimaan devisa,” tuturnya,

Pemerintah harus menyadari bahwa pengurangan angka kemiskinan melalui pengembangan industri kelapa sawit merupakan strategi pembangunan yang sangat penting.

“Kita punya regulasi dan kebijakan untuk penurunan kemiskinan dan pengembangan area tertinggal dengan memprioritaskan pembangunan kualitas manusia, sebagai utama produktivitas, daya siang dan ekonomi domestik,” ujar Firman.

Pernyataan senada dikemukakan Ketua Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Prof Bungaran Saragih.

Menurut Menteri Pertanian era Presiden Megawati itu, pemerintah perlu total mendukung industri sawit sebagai penghasil devisa terbesar Indonesia.

“Kalau mau fair, tidak ada komoditas di dunia dengan 43% masyarakat petani yang di dalamnya mampu menjadi pemain dunia.”

“Saat ini, hanya sawit satu-satunya sebagai komoditas yang diandalkan Indonesia.”

“Karena itu perlu dukungan pemerintah diantaranya melalui pemberian insentif,” pungkas Bungaran. (*)