Prospek Cerah Industri Oleokimia

Seminar Oleokimia bertemakan “Ragam Industri Pengguna Produk Oleokimia Indonesia” memberikan gambaran cerah prospek bisnis industri ini ke depan. Foto : Istimewa
Seminar Oleokimia bertemakan “Ragam Industri Pengguna Produk Oleokimia Indonesia” memberikan gambaran cerah prospek bisnis industri ini ke depan. Foto : Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Pemberian insentif pajak mampu mendorong pertumbuhan industri oleokimia yang bersifat padat modal dan padat teknologi.

Sampai tahun ini, sudah ada 20 perusahaan di sektor oleokimia dengan kapasitas produksi terpasang 11,326 juta ton per tahun.

“Berdasarkan pengamatan kami, kebijakan insentif tax allowance dan tax holiday yang dikombinasikan pungutan sawit sangat efektif dan mampu mendorong Industri oleokimia,” jelas Abdul Rochim, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, saat memberikan sambutan Seminar Oleokimia bertemakan “Ragam Industri Pengguna Produk Oleokimia Indonesia”.

Seminar ini terselenggara berkat kerja sama Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) dan Majalah Sawit Indonesia di Jakarta, Rabu (3/7/2019).

Kegiatan ini mendapatkan dukungan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) karena industri oleokimia sebagai produk turunan sawit yang mampu menciptakan lapangan kerja, investasi, penerimaan pajak, dan stimulus ekonomi daerah.

Pembicara yang hadir antara lain Aziz Pane, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Dr.Liandhjani (Ketua Bidang Industri Perkosmi), Lila Harsya (Kemenperin RI), dan Dr.Ir. Tatang Hernas Soerawidjaja (Ketua Ikatan Ahli Bioenergi).

Abdul Rochim menyatakan, peran industri oleokimia sangat strategis karena mampu mengolah sumber daya minyak kelapa sawit yang melimpah dan menjadi building block bagi pertumbuhan industri hilir terkait.

Pada 2019 bertambah menjadi 20 perusahaan dengan total kapasitas produksi oleokimia sebanyak 11.326.300 ton/tahun.

Penambahan investasi industri oleokimia di awal tahun 2019 mencapai Rp4,84 triliun.

“Salah satu faktornya karena peringkat EODB (Ease of Doing Business) melalui berbagai fasilitas dan kemudahan investasi dari pemerintah Indonesia.”

“Pemerintah berkomitmen mendorong dan memberikan dukungan bagi pertumbuhan industri oleokimia nasional,” tuturnya saat membuka acara.

Sektor oleokimia, dikatakan Abdul Rochim, termasuk sektor industri yang mendapatkan fasilitas perpajakan tax allowance dan tax holiday berkaitan investasi baru dan perluasan industri.

Lebih dari 10 proyek perusahaan oleokimia telah mendapatkan tax incentive.

Menurutnya, ada dua tantangan utama industri oleokimia yaitu pengamanan bahan baku industri dan inovasi menambah ragam jenis produk hilir.

“Sudah ada usulan dari APOLIN untuk menyempurnakan tarif pungutan untuk menjamin pasokan bahan baku industri.”

“Saat ini, sudah ada tim antar kementerian yang membahas persoalan ini,” papar Abdul Rochim lagi.

Industri oleokimia sebagai building block aneka produk hilir, maka aktivitas riset untuk menghasilkan inovasi terkini menjadi ujung tombak dalam penguasaan pasar global.

Diantaranya biolubricant, biosurfaktan, bioplastik, biopolymer, hingga biomaterial canggih.

“Kekuatan industri oleokimia berbasis minyak sawit ini terletak pada kemampuan substitusi produk minyak bumi, sehingga lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable),” jelasnya.

Sementara Rapolo Hutabarat, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), menjelaskan bahwa jumlah perusahaan oleokimia terus meningkat sepanjang tiga tahun terakhir.

Jumlah perusahaan oleochemical di Indonesia, pada tahun 2016, sebanyak 17 perusahaan  dengan kapasitas produksi 10.970.700 ton/tahun dengan nilai investasi mencapai Rp4,7 triliun.

Selanjutnya dari 2017-2018 terdapat 19 perusahaan dan tahun 2019 naik menjadi 20 perusahaan dengan total kapasitas produk oleokimia nasional sebanyak 11,326 juta ton/tahun.

Penambahan investasi industri oleokimia di awal tahun 2019 mencapai Rp4,84 triliun.

“Pada 2019, dari total kapasitas produksi oleokimia 11,326 juta ton terdiri dari fatty acid 4,55 juta ton, fatty alcohol 2,12 juta ton, gliserin 883.700 ton, metil ester 1,93 juta ton, dan soap noodle berjumlah 1,83 juta ton,” pungkas Rapolo. (*)