Pidana Korporasi Dalam Perkara Kebakaran Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

Kebakaran kebun sawit berdampak terhadap korporasi.
Kebakaran kebun sawit berdampak terhadap korporasi.

TROPIS.CO – Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi yang dikeluarkan pada tanggal 21 Desember 2016.

Landasan yang diberikan adalah bahwa korporasi sebagai entitas atau subjek hukum yang keberadaannya memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya korporasi ada kalanya juga melakukan pelbagai tindak pidana (corporat crime) yang membawa dampak kerugian terhadap Negara dan masyarakat.

Selanjutnya bahwa dalam kenyataannya korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability).

Pengaturan pidana terhadap korporasi dalam Peraturan Mahkamah Agung ini menekankan, Hakim dapat menilai kesalahan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana korporasi dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Korporasi.

Persyaratan dapat diterapkannya pidana korporasi adalah: a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Terkait dengan pengaturan Tindak Pidana Korporasi dalam Perkara Kebakaran lahan perkebunan kelapa sawit telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 108; dimana setiap pelaku usaha perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Dilihat dari isi ketentuan Pasal 56 mengatur ayat (1) Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.; (2) Setiap pelaku usaha perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun; dan ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan lahan tanpa membakar diatur dengan Peraturan Menteri.

Undang-Undang tentang Perkebunan telah mengatur secara khusus adanya larangan kepada setiap pelaku usaha perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.

Ketentuan ini adalah suatu mandatory yang harus dijalankan dan siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi pidana dan denda sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang tentang Perkebunan.

Dalam penegakan hukum saat ini yang lagi dikembangkan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup adalah menggunakan instrument hukum badan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 116 dan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup.

Tindak pidana dalam ketentuan ini dapat dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. Badan Usaha dan/atau orang yang memberikan perintah. Badan usaha terdiri dari: 1). Badan usaha yang berbadan hukum (PT. Yayasan, Koperasi, BUMN, dan bentuk usaha lain yang Anggaran Dasar nya disahkan oleh Menteri dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia).

Pemimpin badan usaha dibuktikan dengan peran mereka sebagai pemimpin atau yang memerintahkan terjadinya tindak pidana (memiliki kewenangan/power, mendorong dan melakukan pembiaran/acceptance. 2). Badan usaha non Badan Hukum (UD, PD, Firma, CV, Persekutuan Perdata. b. Orang yang memberikan perintah sesuai Pasal 116.

Yang memberikan perintah atau memimpin tindak pidana bila dilakukan oleh Badan Usaha yang berbadan hukum dengan pembuktian sebagai berikut: 1). Jabatan yang sesuai dengan jenjangnya, mulai dari direksi sampai dengan operator yang didukung alat bukti SK Jabatan; 2). Pengurus/Direksi dibuktikan dengan Anggaran Dasar dan keterkaitan dengan tindak pidana yang didukung alat bukti. c. Pemimpin Badan Usaha Pasal 118 dan penjelasannya.

Pembelaan atas pertanggungjawaban pidana antara lain: 1. Direksi menerima laporan bahwa pengelolaan lingkungan hidup sudah sesuai dengan peraturan atau izin; 2. Direksi tidak menerima laporan dari operator mengenai kegiatan yang terkait dengan tindak pidana; 3. Direksi membuktikan telah melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan Standar Operasional Presedur (SOP) tetapi diabaikan oleh bawahannya; dan 4. Operator dapat membuktikan bahwa dia sudah melaporkan kepada atasan dan diteruskan kepada direksi dan tidak ditanggapi.

Pengertian korporasi, erat kaitannya dengan bidang hukum perdata. Sebab, pengertian korporasi merupakan terminologi yang erat dengan istilah badan hukum (rechtspersoon), dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata. Menurut Subekti dan Tjitrosudibio, korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum.

Sedangkan, Rudi Prasetyo menyatakan bahwa kata korporasi merupakan sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum peradata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam Bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.

Badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang bukan manusia, yang dapat menuntut atau dapat dituntut subjek hukum lain dimuka pengadilan.

Ciri-ciri dari sebuah badan hukum adalah (a) memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut, (b) memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut, (c) memiliki tujuan tertentu, (d) berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaanya tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban-kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti.

Pengertian korporasi dalam hukum perdata berdasarkan uraian sebelumnya ternyata dibatasi sebagai badan hukum. Sedangkan apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian korporasi dalam hukum pidana ternyata lebih luas.

Di Indonesia, perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana berupa “orang” (lihat Pasal 59 KUHP). Subjek tindak pidana korporasi, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1990 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 1 angka 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 1 angka 10, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang pada intinya dirumuskan: “Korporasi adalah kumpulan orang dan/ atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”

Ketentuan yang hampir sama juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 15 ayat (1), menyatakan, perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan. ”Rumusan ini hampir sama juga ditemukan dalam Pasal 51 W.v.S (KUHP Belanda) yang telah diperbarui pada tahun 1976.

Konsekuensi logis tentang kedudukan korporasi sebagai badan hukum, membawa pengaruh terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan korporasi terdapat beberapa pengecualian.

Sehubungan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, tetapi ada beberapa pengecualian, yaitu :

1. Dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya bigamy, perkosaan, sumpah palsu.
2. Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati.

Senada dengan pendapat tersebut di atas Michael J.Allen, dalam bukunya yang berjudul Textbook on Criminal Law, menyatakan lebih lanjut: “Thus a corporation cannot be tried for murder or treason the only punishments available to the court on conviction are life imprisonment or death. Where a cororation is convicted of an offence it will be punished by the imposition of a fine and/or compensation order.”

Akan tetapi , Michael J. Allen juga mangatakan pada tahun 1994. OLL Ltd, dan Managing Director, yang bernama Peter Kite, keduanya dipidana karena melakukan pembunuhan yang tidak direncanakan (manslaughter) terhadap empat orang remaja, dalam kasus canoeing tragedy di Lyme Bay.

Keberhasilan dalam Penuntutan ini disebabkan karena OLL Ltd adalah perusahaan yang kecil dan Peter Kite sudah diperingatkan oleh mantan instruktur yang bertugas dalam Canoe Expeditions, bahwa ekspedisi tersebut sangat berbahaya untuk keselamatan jiwa, karena kurangnya alat penyelamat yang memadai.

Konsekuensi logis lainnya yaitu apabila korporasi diartikan luas yaitu mempunyai kedudukan sebagai badan hukum dan non badan hukum, seperti yang dianut di Belanda dan di Indonesia (dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP), maka secara teoritis dapat melakukan semua tindak pidana, walaupun dalam proses penegakan hukumnya dilandaskan kepada praktek Pengadilan.

Kebakaran hutan dan lahan, khususnya usaha perkebunan kelapa sawit dapat terjadi di semua lahan perkebunan sawit, baik itu pada lahan non gambut (mineral) maupun pada lahan gambut.

Lailan Syaufina dalam tulisannya menyampaikan perbedaan mendasar antara kebakaran di lahan gambut dengan kebakaran di lahan non gambut adalah tipe bahan bakarnya.

Pada kebakaran yang terjadi di lahan gambut, bahan bakar terdiri atas bahan bakar bawah (ground fuel) berupa material gambut; bahan bakar permukaan (surface fuels) berupa serasah, paku-pakuan, semak belukar, dan anakan pohon; dan atau bahan bakar atas (crown fuels) berupa tajuk pohon.

Sedangkan bahan bakar di lahan mineral hanya bahan bakar permukaan dan atau bahan bakar atas. Dikaitkan dengan lahan perkebunan sawit sangat relevan karena perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia saat ini bisa terjadi kebakaran pada lahan gambut maupun pada lahan mineral.

Berdasarkan pola penyebaran dan tipe bahan bakar, kebakaran hutan dan lahan dapat digolongkan ke dalam tiga tipe, yaitu kebakaran bawah (ground fire), kebakaran permukaan (surface fire), dan kebakaran tajuk (crown fire). Umumnya api berasal dari permukaan dan menjalar ke bawah permukaan membakar bahan organic sesuai dengan kadar air yang dikandungnya.

Api kemudian menjalar secara horizontal membentuk cerobong asap dan biasanya membakar tanah gambut di daerah permukaan pohon, sehingga pohon akan tumbang akibat terbakarnya tanah yang menopang perakaran.

Kebakaran lahan, khususnya kebun kelapa sawit tidak berbeda dengan tipe kebakaran hutan dan lahan seperti diuraikan di atas. Permasalahan yag sering terjadi dalam perkara kebakaran perkebunan kelapa sawit tidak membedakan apakah perusahaan perkebunan kelapa sawit memang sengaja membuka lahan dengan cara membakar, atau karena kebunnya terbakar, atau kebunnya dibakar dengan sengaja/tidak sengaja (kelalaian), atau dibakar oleh pihak tertentu, atau terbakar karena ulah pihak lain. Dengan melihat tipologi kebaran, maka unsure pembuktian dalam perkara ini sangat penting.

Sedangkan Undang-Undang Perkebunan sejak tahun 2004 telah secara tegas mengatur larangan pembukaan lahan dengan cara membakar sebagaimana diatur dalam Pasal 26: Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup. Sanksi pidananya diatur dalam Pasal 48 dan Pasal 49.

Pasal 48: (1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); Ayat (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 49: (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah); Ayat (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Perubahan Undang-Undang Perkebunan No. 18 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juga mengatur tindak pidana korporasi dalam Pasal 108; dimana setiap pelaku usaha perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Dilihat dari isi ketentuan Pasal 56 mengatur ayat (1) Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.; (2) Setiap pelaku usaha perkebunan berkewajiban memiliki system, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun; dan ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan lahan tanpa membakar diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan hukum yang melarang perusahaan perkebunan kelapa sawit membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar adalah sesutu yang bersifat mandatori dan jika dilanggar maka diberikan sanksi pidana.

Terhadap pertanggungjawaban korporasi tentu tidak bisa dilakukan secara semena-mena karena Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, Pasal 4 ayat (2) menentukan dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain: a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Begitu juga, seandainya perusahaan perkebunan kelapa sawit disangka dengan tindak pidana korporasi, maka ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung tersebut menjadi acuannya.

Penulis : Dr “Bob” Sadino, S.H., M.H., Pakar Hukum kehutanan