Perlu Satgasus Guna Mutakhirkan Data Untuk Akselerasi Penerapan ISPO

Sekjen Apkasindo Rhino Afriano usul dibentuk satuan tugas khusus yang fokus melakukan pengumpulan dan pemutakhiran data di tiga provinsi sentra industri kelapa sawit dan sudah memiliki Foksbi, yakni Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat. Foto : Wisesa/tropis.co
Sekjen Apkasindo Rhino Afriano usul dibentuk satuan tugas khusus yang fokus melakukan pengumpulan dan pemutakhiran data di tiga provinsi sentra industri kelapa sawit dan sudah memiliki Foksbi, yakni Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat. Foto : Wisesa/tropis.co

TROPIS.CO, JAKARTA – Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Foksbi) merupakan wadah yang tepat guna menyatukan semua stakeholder industri kelapa sawit Indonesia supaya fokus pada implementasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Kendala penerapan ISPO di Tanah Air adalah ketiadaan bank data yang valid mengenai pengusaha, petani, luas lahan yang ditanami, hingga bibit yang digunakan gun

Terkait masalah pengumpulan data tersebut, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino  mengusulkan agar dibentuk satuan tugas khusus yang anggotanya merupakan perwakilan semua stakeholder, dari Kementerian Pertanian, lembaga pemerintah yang terkait, NGO, hingga asosiasi.

Satuan tugas  khusus ini fokus melakukan pengumpulan dan pemutakhiran data di tiga provinsi sentra industri kelapa sawit dan sudah memiliki Foksbi, yakni Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat.

Data yang mereka kumpulkan bisa dimanfaatkan untuk akselerasi penerapan ISPO, terutama di kalangan petani swadaya.

“Tentu saja, semua stakeholder mesti satu visi dulu mengenai hal ini. Setelah itu, baru satuan tugasnya bisa dibentuk,” kata Rino.

Dia pun menilai, hal yang paling mendesak adalah data mengenai petani swadaya yang belum terpetakan dengan baik.

“Data petani yang kami miliki lengkap, mulai dari identitas, lokasi lahan, bukti kepemilikan lahan, sampai bibit yang mereka gunakan.”

“Kami sendiri mempunyai data tapi tidak tahu mau ke mana data tersebut diberikan,” paparnya.

Rhino pun meminta agar dalam pengumpulan data ini tidak mendikotomikan petani karena yang terpenting data masuk terlebih dahulu.

“Dilihat Surat Tanda Daftar Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan (STDB) masuk kawasan hutan lantas tidak diperbolehkan.”

“Tidak boleh ada perlakuan itu sebab yang terpenting data masuk dulu. Dari situ bisa terpetakan serta tahu potret luasnya,” ucap Sekjen Apkasindo tersebut.

Dia pun mengungkapkan, selama ini masih kuat tertanam paradigma petani swadaya, yakni mereka yang bekerja dan tinggal di lahan.

Padahal realita profil petani swadaya yang mengelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia terbilang unik serta multidimensi.

“Ada petani swadaya yang tinggal di lahan. Namun, ada yang tidak menetap di situ karena punya pekerjaan sebagai aparat sipil negara, guru, dokter, hingga pensiunan.”

“Mereka tetap layak disebut sebagai petani swadaya karena mengikuti aturan, lahan mereka di bawah 25 hektare,” ucap Rino. (aby)