Perlu Kepastian Aset Dalam Pengembangan Teknik Silin

Direktur PT Sapatim Edy Paramudja (kiri) bersama Direktur Hutan Tanaman Industri ( HTI) Isnanto berfoto besama saat sosialisasi Silvikultur Intensif di Jakarta, Foto : Istimewa
Direktur PT Sapatim Edy Paramudja (kiri) bersama Direktur Hutan Tanaman Industri ( HTI) Isnanto berfoto besama saat sosialisasi Silvikultur Intensif di Jakarta, Foto : Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Kepastian aset berupa tanaman dan belum jelasnya bentuk insentif merupakan kendala bagi dunia usaha dalam menerapkan teknik Silvikultur Intensif (Silin) dalam pengelolaan hutan alam.

Setidaknya itu yang disampaikan Edy Pramuja, Direktur PT Sarminto Parakantja Timber (Sapatim) dalam testimoni pada sosialisasi Teknik Silvikultur Intensif yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Jumat (14/6/2019).

Edy mengatakan dunia usaha sangat mengharapkan adanya kepastian kepemilikan aset tanaman, mengingat biaya investasi cukup besar dan dalam jangka panjang 20 hingga 30 tahun.

Kekhawatiran dunia usaha terhadap lahan bisnisnya ini karena terlampau seringnya perubahan kebijakan sehingga cenderung merugikan dunia usaha dan seakan tidak memberikan kepastian berusaha.

“Kami sangat beruntung mendapatkan owner yang berkomitmen penuh terhadap bisnis ini sehingga siap dengan resikonya, namun kami sebagai pelaksana di lapangan penuh dengan khawatiran akan berubahnya kebijakan,” kata direktur perusahaan yang berlokasi di Seruyan, Kalimantan Tengah ini.

Menurutnya, biaya yang dibutuhkan untuk penerapan teknik Silin ini mencapai Rp25 juta per hektare dan biaya ini belum termasuk infrastruktur.

Artinya dengan biaya sebesar itu dalam ketidakpastian kepemilikan aset maka hal ini suatu persoalan yang harus ada solusinya.

“Kita yang tanam, kita pelihara tapi saat mau panen timbul berbagai persoalan di lapangan, apakah itu datang dari masyarakat setempat atau bisa saja datang dari pemerintah dengan alasan moratorium,” ungkap Edy Pramudja.

Selain persoalan kepastian aset, masalah insentif bagi dunia usaha yang menerapkan teknik Silin juga belum ada kepastian dari pemerintah.

Kendati dunia usaha melalui asosiasi sudah melakukan berbagai pendekatan kepada pemerintah, melalui pengurangan pembayaran iuran dana reboisasi.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi membenarkan apa yang disampaikan Edy Pramudja.

“Kami tengah melakukan pendekatan kepada pemerintah agar dunia usaha bisa lebih yakin dalam mengelola konsesinya dengan menerapkan teknik Silin ini,” ucap Purwadi.

Khusus berkaitan dengan insentif, Asosiasi sudah menyampaikan proposal kepada pemerintah, paling tidak ada pengurangan pembayaran dana reboisasi (DR) sekitar 35 persen dari kewajiban bayar US$12 hingga US$16 per m3.

Memang pemerintah tidak serta merta mengabulkan itu sebab harus melakukan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Dana Reboisasi serta merevisi PP Nomor 12 tahun 2014 yang berkaitan dengan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

PT Sapatim memulai pengembangan teknik Silin sejak sembilan tahun nan silam. Diawali dengan areal seluas 800 hektare dengan target standar perkembangan riap 1,67 cm/tahun.

Kini luasan areal penerapan teknik Silin PT Sapatim telah mencapai 23 ribu hektare dari luas konsesi 216 ribu hektare.

“Awalnya kami terapkan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur namun dari hasil evaluasi ternyata perkembangan riapnya tidak optimal, tapi setelah diubah dengan sistem klaster pertumbuhan riap lebih cepat,” ucap Edy. (*)