Perhutanan Sosial di Tengah Pandemi Covid-19

Usmandie Andeska. Foto: Istimewa
Usmandie Andeska. Foto: Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Semua pasti tidak menyangka virus Corona bakal datang dan memporak-porandakan struktur sosial dan ekonomi global.

Andaikata para ahli atau orang orang hebat dunia tahu, tentu virus corona ini tak bakal menjadi persoalan dunia.

Semua akan cepat diantisipasi dengan memproduksi penangkalnya dan masyarakat dunia akan merasa aman aman saja, beraktivias normal dengan sejuta mimpi dan harapan.

Kenyataan mereka tak mampu memprediksi itu.

Mereka hanya mampu mengutak-atik bagaimana berinovasi teknologi di era industri 4.0.

Semua disibukan dengan urusan kemajuan teknologi yang kemudian memberikan dampak positif terhadap ekonomi negara dan dunia.

Mungkin hanya sebatas itu, hingga mereka abai terhadap kekuatan lain yang tak terdeteksi.

Baca juga: Program E-Learning Petani Hutan, The New Normal

Kini pemimpin dunia bukan hanya dirisaukan, bagaimana Covid-19 cepat berlalu, tapi juga bagaimana ekonomi global bisa bergerak.

Lalu kemudian bertumbuh, pulih pada tingkatan awal, normal sesuai dengan target pertumbuhan yang diharapkan.

Walau ini harus diakui sungguh sangat berat, mengingat Covid-19 telah mengubah garis grafik, tak lagi ke atas, melainkan ke bawah bahkan menembus angka nol.

Kebanyakan sudah mengatahui, Lebih dari sejuta masyarakat dunia dikabarkan positif terpapar Covid-19.

Ribuan meninggal, walau banyak juga yang sembuh dan Covid-19 menyerang tak mengenal kelas manusia.

Kaya miskin, tua muda, dan tak kenal profesi, ada artis, pejabat pemerintahan, politikus, bahkan dokter pun diserang.

Begitu juga Covid-19 tak mengenal wilayah maupun negara.

Negara yang selama ini super power seperti Amerika Serikat, atau yang sudah sempat takabur sudah menjadi “raja dunia” seperti Tiongkok, pun tak diserang habis.

Bahkan Tiongkok, tepatnya di Provinsi Wuhan, telah menjadi sumber mengganasnya virus ini.

Puluhan ribu rakyatnya meninggal dan semua industri yang menjadi kebanggaan atau modal menguasai ekonomi dunia pun rontok.

Amerika Serikat yang konon super power, adikuasa, pun kini menjadi salah satu negara yang terparah.

Ganasnya virus corona tak mampu mereka tangkal dengan kehebatan teknologinya.

Hal ini membuat Presiden Donald Trump, menjadi bulan bulanan rakyatnya.

Setidaknya, ada 200 negara yang terpapar, termasuk Indonesia – yang kini sebutkan sudah ratusan yang meninggal.

Covid-19 telah merontokan struktur ekonomi dan sosial hingga pertumbuhan ekonomi global anjlok dan bahkan minus.

Hingga kemudian berdampak pada ekonomi Negara, berlanjut merapuhkan struktur ekonomi rakyatnya.

Indoensia, menurut Menteri Keuangan, diprediksi minus hingga 3 persen, dari target awal tahun, naik dalam kisaran 5 hingga 6 persen.

Kondisi ini pula, kemudian yang mengakibatkan struktur ekonomi masyarakat rapuh, bila tidak bisa disebut porak poranda.

Tak ada satupun potensi yang mampu menjadi penggerak ekonomi.

Berbagai industri, aktivitas jasa dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya, dipaksa berhenti, karena keinginan memutus jaringan Covid-19 hingga segera berlalu.

Kendati pemerintah tidak memperlakukan lockdown, seperti kebanyakan negara lain untuk memutus mata rantai virus ini, namun dengan kebijakan PSBB atau Pembatasan Sosial berskala Besar, rakyat pun tak mampu berbuat apa apa dalam menggerakan semua aktivitas ekonominya.

Masyarakat perkotaan sangat merasakan dampak ekonomi lantaran ulah Covid-19.

Daya beli masyarakat anjlok drastis serta banyak diantaranya tidak lagi memiliki daya beli.

Terutama mereka yang selama ini menempatkan diri sebagai masyarakat urban.

Pekerja harian yang mengharapkan upah borongan.

Kini mereka tak lagi mampu menjadi penggerak ekonomi, kecuali tinggal di rumah, mengharapkan bantuan sembako yang bernilai Rp600 ribu untuk masa tiga bulan.

Itupun dengan catatan kalau mereka terima utuh, tidak disunat oknum.

Suasana ini sangat berbeda bila kita memantau kondisi masyarakat di pedesaan.

Kendati kebijakan PSBB, atau kebijakan lain dalam upaya mencegah beerkembangnya virus corona ini, tetap dilaksanakan namun kegairahan ekonomi pedesaan masih sangat terasa.

Terutama daerah daerah yang selama ini dikenal sebagai sentral produk pertanian dan kehutanan.

Dan juga perlu juga diketahui, dari sekian banyak desa yang menjadi sentral produk pertanian dan kehutanan, tidak semuanya masuk dalam wilayah merah.

Sebagian besar masih dalam status wilayah hijau, hingga membuat masyarakat sedikit leluasa beraktivitas taninya.

Kendati mereka masih tetap diawasi agar selalu menerapkan protokol kesehatan.

Mengevaluasi sepintas, dampak ekonomi dari kasus pandemi Covid-19, tak salah kalau ada sebagian struktur ekonomi masyarakat pedesaan, terasa mengguat.

Mungkin, ini sangat dirasakan masyarakat tani hutan yang tergabung dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial atau KUPS – yang menurut Bambang Soepriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga 22 Maret kemarin, mendekati 7000 KUPS, tersebar dihampir semua wilayah.

Petani hutan telah mampu memanfaatkan peluang ekonomi disaat struktur ekonomi nasional tak bergerak.

Produk herbal yang mereka hasilkan dari budidaya tanaman hutan ternyata sangat dibutuhkan, sebagai penangkal pandemi Covid-19.

Produk madu, jahe, kunyit, empon empon, dan berbagai produk hutan lainnya yang di kalangan ilmu kedokteran diyakini mampu meningkatkan imunitas.

Tubuh kebal dan virus diyakini enggan bersarang.

Berbagai produk herbal yang sudah kemas rapih telah memberikan kontribusi nyata, dalam mempercepat tuntasnya wabah Covid-19 ini.

Tak sebatas masyarakat kebanyakan, namun juga kalangan paramedic yang menjadi garda terdepan dalam penanggulangan pandemi Covid-19 pun sangat merasakan positifnya produk herbal yang diproduksi masyarakat tani hutan anggota program Perhutanan Sosial.

Artinya suatu kebijakan atau strategi yang sangat tepat dilakukan Siti Nurbahaya dalam mengemban misinya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Program lapangan yang dikembangkan berhasil nyata.

Mungkin, terlampau pagi, bila kita langsung berkesimpulan, masyarakat di sekitar kawasan hutan yang menerapkan program Perhutanan Sosial ini langsung sejahtera karena produknya diterima pasar.

Terlampau cepat kalau langsung berkesimpulan seperti itu. Tapi setidaknya, kita sudah dapat menarik benang merah, program Perhutanan Sosial telah mampu memperkuat struktur ekonomi masyarakat disaat kondisi ekonomi nasional, bahkan global, tak berkutik ketika diserang badai wadah seperti Covid-19 yang kini sudah berlangsung hampir tiga bulan lebih.

Baca juga: Pemerintah Tawarkan Investasi Enam Proyek Jalan Tol dan Jembatan Senilai Rp80,84 Triliun

Mungkin karena alasan ini pula, hingga kemudian anggota DPR-RI, khususnya Komisi IV, dalam rapat dengar pendapat secara virtual dengan Menteri Siti Nurbaya, pada pertengahan April ini, seperti tak keberatan untuk meng-oke-kan usulan Menteri Siti Nurbaya, mengalokasikan anggaran senilaiRp 1,1 triliun untuk kegiatan berbasis masyarakat, refocusing kegiatan dan realokasi anggaran sebagai tindak lanjut Inpres Nomor 4 Tahun 2020.

Anggaran sebesar itu, seperti disampaikan Menteri Siti saat rapat yang dipimpin Ketua Komisi IV, Sudin, antara lain akan dialokasikan untuk berkelanjutan usaha ekonomi kehutanan, konservasi dan hutan sosial, kegiatan padat karya, stimulasi ekonomi berkelanjutan, dan juga program pembinaan masyarakat dalam upaya antisipasi kebakaran hutan dan lahan, seperti Masyarakat Peduli Api dan Mitra konservasi.

Singkat kata, anggaran ini akan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memperkuat struktur ekonomi masyarakat pedesaan berbasis hutan.

Dengan harapan, menguat meningkatkan ekonomi masyarakat ini akan mampu menunjang peningkatan daya beli masyarakat sehingga bakal menjadi stimulan dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional pascva Covid-19. (Usmandie A Andeska)