Penetapan Hutan Adat Harus Hati-Hati

Ketika pemerintah menetapkan Kawasan Taman Nasional (KTN) sebagai hutan adat, masyarakat adat harus tetap melakukan fungsi konservasi dan menjaga kawasan tersebut. Foto : Anadolu Agency
Ketika pemerintah menetapkan Kawasan Taman Nasional (KTN) sebagai hutan adat, masyarakat adat harus tetap melakukan fungsi konservasi dan menjaga kawasan tersebut. Foto : Anadolu Agency

TROPIS.CO, JAKARTA – Kebijakan penetapan hutan adat harus dilakukan secara berhati-hati karena hampir di sebagian besar wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan mempunyai penguasaan dan kepemilikan.

Pengamat hukum kehutanan dan lingkungan Dr Sadino berpendapat, penetapan hutan adat sebaiknya dilakukan pada kawasan hutan dengan status kepemilikan hutan yang bebas dari konflik.

Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu memperbaharui data base kehutanan, termasuk penetapan Kawasan Hutan Adat (KHA).

“Penetapan hutan adat tidak sekedar menerbitkan peraturan daerah (Perda).”

“Harus ada penyusunan peta indikatif yang terverifikasi di lapangan.”

“Jika ada kawasan yang telah menjadi hak orang lain seperti HGU sebaiknya dikeluarkan agar tidak bermasalah dikemudian hari,” ucap Sadino.

Pemegang Hak Guna Usaha (HGU) perlu dilindungi karena saat mendapat hak pelepasan, mereka punya kewajiban untuk menyelesaikan dengan pihak lain untuk pembebasan dan ganti rugi lahan.

Pemegang HGU juga dibebani dengan kewajiban untuk membayar pajak.

“Jika hak kepemilikan pemegang HGU diabaikan, konflik tenurial berpotensi semakin meruncing.”

“Persoalannya tidak hanya sebatas dalam ranah bersengketa, tapi langsung menjadi konflik di lapangan.”

“Okupansi dan sengketa lahan di lapangan akan menjadi bagian tidak akan terelakkan,” kata Sadino di Jakarta, Kamis (20/6/2019).

Sadino juga menyatakan klaim Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mencatat dari 9,6 juta hektare wilayah adat yang terpetakan dan terdaftar di pemerintah, ada 313.000 hektare tumpang tindih dengan izin-izin HGU yang tersebar di 307 komunitas adat perlu diverifikasi.

”Semua bisa berbicara dan melakukan klaim, tapi perlu ada verifikasi di lapangan,” tutur Sadino.

Sementara Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Ir Sudarsono Soedomo, menilai bahwa UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sarat penghargaan terhadap hukum adat, tetapi UU 41/1999 tentang Kehutanan cenderung mereduksinya.

Kesulitan itu akibat keterlambatan pemerintah menyelesaikan persoalan lahan yang berkaitan dengan hukum adat tersebut.

Karena itu, menurut Sudarsono, perlu keterlibatan pihak yang punya kompetensi untuk mengenali ciri-ciri masyarakat hukum adat dalam proses penetapan batas wilayahnya.

Di sisi lain, sangat dimungkinkan bahwa di tempat tertentu penetapan wilayah masyarakat hukum adat sudah tidak dimungkinkan lagi.

“Dalam situasi seperti ini sebaiknya penetapan wilayah masyarakat hukum adat jangan dipaksakan,” ujarnya.

Sudarsono menyarankan, KLHK tidak bekerja sendiri dalam penetapan hutan adat.

Peran pemerintah daerah sangat sentral karena masyarakat hukum adat perlu Perda yang memuat batas wilayah masyarakat hukum adat tersebut.

“Bantuan pakar antropologi dalam proses penentuan batas wilayah masyarakat hukum adat juga diperlukan.”

“Selain itu, peran Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam menata ruang dan meregistrasi penguasaan lahan menjadi sangat penting,” ungkapnya.

Dia mengatakan, wilayah masyarakat hukum adat sebagian bisa masuk dalam kawasan hutan dan sebagian lainnya berada di luar wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan.

Dalam penetapan wilayah, wewenang KLHK hanya terbatas pada pelepasan wilayah hukum adat yang berada di dalam areal yang diklaim sebagai kawasan hutan.

Bahkan, dalam Keputusan MK No 35-PUU-2012, disebutkan hutan adat merupakan bagian dari hutan hak dan bukan merupakan hutan negara.

Jadi, hutan hak terdiri atas hutan adat dan hutan perseorangan atau badan hukum.

Lantas Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA mengatakan, kebijakan hutan adat menjamin kepastian bagi masyarakat adat dan berpotensi memperkecil persoalan tenurial.

Hanya saja, dalam pemanfaatannya harus tetap megikuti fungsi hutan yang telah ditetapkan.

Misalnya, ketika pemerintah menetapkan Kawasan Taman Nasional sebagai hutan adat, masyarakat adat harus tetap melakukan fungsi konservasi dan menjaga kawasan tersebut.

“Sebaliknya, jika hutan adat berada di fungsi hutan produksi, hormati keinginan masyarakat untuk menanam apapun termasuk sawit,” papar Yanto Santosa.

Ia menilai, sebelumnya penetapan kawasan perlu ditetapkan peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif untuk menjamin usulan-usulan di daerah yang telah memiliki subjek dan objek masyarakat hukum adat.

“Ini agar potensi konflik antara masyarakat adat dan kelompok pendatang yang mengatasnamakan masyarakat bisa dipilah,” pungkas Yanto. (aby)